Agar Ditolong Allah SWT (Al-Arba’un an-Nawawiyah, Hadis ke-36)

« مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ »

Siapa saja yang menghilangkan satu kesusahan seorang Mukmin di antara kesusahan-kesusahan dunia niscaya Allah akan menghilangkan dari dirinya satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan pada Hari Kiamat. Siapa saja yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya Allah memudahkan bagi dirinya di dunia dan akhirat. Siapa saja yang menutupi aib seorang Muslim niscaya Allah menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah SWT menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya. Siapa saja yang menempuh jalan mencari ilmu niscaya Allah mudahkan untuknya jalan ke surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu Baitullah, mereka membaca Kitabullah dan dan mempelajarinya di antara mereka niscaya ketenteraman turun atas mereka, mereka diliputi oleh rahmat dan dikelilingi oleh para malaikat serta Allah menyebutkan mereka kepada para malaikat yang ada di sisi-Nya. Siapa saja yang lambat amalnya maka nasabnya tidak bisa mempercepatnya (HR Muslim, Ibn Majah, at-Tirmidzi dan Ahmad).

Imam an-Nawawi menjelaskan,  ini adalah hadis yang agung, yang menghimpun berbaga jenis ilmu, kaidah dan adab.  Di dalamnya ada keutamaan menghilangkan kesusahan kaum Muslim dan memberi mereka manfaat yang memudahkan baik berupa ilmu, harta, bantuan atau menunjukkan suatu kemaslahatan atau nasihat atau lainnya.

Yassara ‘ala mu’sirin dari sisi harta bisa dilakukan dengan: memberi tangguh dan ini hukumnya wajib jika orang yang berutang itu mu’sir, yaitu kesulitan hingga dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok; atau dengan menggugurkan utangnya, sebagian atau keseluruhan, dan ini sunnah; atau dengan memberi dirinya harta yang bisa menghilangkan kesusahannya.  Rasul saw. bersabda:

 

« مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِراً، أَوْ وَضَعَ عَنْهُ، أَظَلَّهُ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ »

Siapa saja yang memberi tangguh orang yang kesusahan atau menggugurkan (utangnya), Allah akan menaungi dirinya pada hari saat tidak ada naungan kecuali naungan-Nya (HR Muslim).

 

Man satara muslim[an]… (Siapa saja yang menutupi aib seorang Muslim…).  Imam an-Nawawi menjelaskan, yaitu menutupi kesalahan/kekhilafan, yakni terhadap orang yang tidak dikenal dengan kerusakan. Ini dalam hal menutupi kemaksiatan yang telah terjadi dan telah berlalu. Adapun jika diketahui kemaksiatanya dan ia sedang melakukannya maka wajib segera mengingkari dan melarangnya. Jika tidak mampu, pelakunya harus diadukan ke waliyul amri jika hal itu tidak mendatangkan mafsadat. Dalam hal ini, kemaksiatannya tidak ditutupi sebab jika ditutupi maka itu memberi dirinya energi melakukan kerusakan, pelanggaran dan keharaman dan lainnya.  Bahkan pelakunya wajib diadukan kepada imam jika tidak khawatir akan mendatangkan mafsadat yang lebih besar.  Begitu pula yang harus dilakukan dalam jarh (menyatakan cacat kepribadian) perawi, saksi, orang yang diamanahi memegang uang zakat, wakaf, harta anak yatim dan semisalnya. Mereka wajib disebutkan cacatnya sesuai kebutuhan dan tidak boleh ditutupi jika dipandang dari mereka ada sesuatu yang bisa mencederai kelayakan mereka. Ini bukan termasuk ghibah yang haram, bahkan merupakan nasihat yang wajib.

Allah SWT menjelaskan bahwa Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba-Nya menolong saudaranya.  Jika kita ingin ditolong Allah hendaknya kita menolong saudara Muslim.  Ini sekaligus mengisyaratkan bahwa siapa saja yang ingin menolong saudaranya, hendaknya ia tidak takut mengatakan kebenaran atau melakukan pertolongan itu dengan benar, sebab ia yakin Allah akan menolong dirinya.

Sabda Nabi saw., man salaka tharîqan yaltamisu bihi al-ilma (Siapa saja yang menempuh jalan mencari ilmu). Menempuh jalan di sini mencakup yang hakiki yaitu melakukan perjalanan dengan jalan kaki atau dengan kendaraan; juga mencakup menempuh jalan maknawi yang mengantarkan pada perolehan ilmu seperti menghapal, mempelajari, mengkaji, mengulang, mendiskusikannya, menulis atau memahami ilmu dan semisalnya yang bisa mengantarkan pada perolehan ilmu.

Sahhalallah tharîqan ilâ al-jannah (Allah memudahkan jalannya ke surga).  Maksudnya, Allah memudahkan untuk dirinya ilmu yang dia cari dan Allah mudahkan dia menempuh jalan ilmu itu.  Bisa juga, Allah memberi kemudahan kepada orang yang mencari ilmu jika ia lakukan untuk mendapat keridhaan Allah, yakni Allah mudahkan dia untuk memanfaatkan ilmunya dan beramal sesuai ilmu itu, sehingga menjadi sebab ia tertunjuki.  Bisa juga untuk orang yang mencari ilmu itu, Allah mudahkan ilmu-ilmu lainnya dan pemanfaatannya. Hal itu sebagaimana dikatakan di Faydh al-Qadîr, “Man amila bimâ ya’lam awratsahuLlâh ilman mâ lam ya’lam (Siapa yang beramal dengan apa yang dia ketahui, Allah akan mewariskan kepada dia ilmu yang belum dia ketahui).

Hadis ini juga menunjukkan, adalah sunnah sekelompok orang berkumpul di masjid, membaca dan mengkaji al-Quran di antara mereka.   Hal itu sebab terhadap mereka akan diturunkan as-sakînah (ketenteraman), diliputi oleh rahmat dari segala sisi seperti air yang meliputi badan seseorang ketika dia mandi, dikeliliingi para malaikat dan Allah menyebutkan kepada para malaikat yang ada di sisi-Nya.

Adapun sabda Rasul, man batha`a bihi ‘amaluhu lam yusri’ bihi nasabuhu (siapa yang amalnya lambat tidak akan dipercepat oleh nasabnya), maksudnya siapa saja yang amalnya kurang maka nasabnya tidak akan berguna untuk meninggikan derajatnya.  Jadi orang harus berlomba dalam amal dan tidak boleh bersandar pada nasab atau orangtua.

WalLâh a’am bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*