Prosedur Pengangkatan Dan Pembaiatan Khalifah Baru

Muhammad Bajuri

Pengantar

Islam adalah agama yang paling sempurna. Kesempurnaan Islam ini tampak jelas dari syariah yang dibawanya. Syariah Islam tidak hanya berisi fikrah (konsep) tetapi juga tharîqah (metode penerapannya). Sehingga, ketika syara’ mewajibkan umat Islam mengangkat seorang Khalifah, maka syara’ juga menetapkan tharîqah baku yang harus ditempuh dalam proses pengangkatan Khalifah.

Telaah kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 34 tentang prosedur hingga terjadinya proses pengangkatan dan pembaiatan Khalifah baru, yang berbunyi: “Metode untuk mengangkat Khalifah adalah baiat. Adapun tata cara praktis untuk mengangkat dan membaiat Khalifah adalah sebagai berikut: (a) Mahkamah Mazhalim mengumumkan kosongnya jabatan Khilafah; (b) Amir sementara melaksanakan tugasnya dan mengumumkan dibukanya pintu pencalonan seketika itu; (c) Penerimaan pencalonan para calon yang memenuhi syarat-syarat in’iqad dan penolakan mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat in’iqad yang ditetapkan oleh Mahkamah Mazhalim; (d) Para calon yang pencalonannya diterima oleh Mahkamah Mazhalim dilakukan pembatasan oleh anggota Majelis Umah yang Muslim dalam dua kali pembatasan. Pertama, dipilih enam orang dari para calon menurut suara terbanyak. Kedua, dipilih dua orang dari enam calon itu dengan suara terbanyak; (e) Nama kedua calon terpilih diumumkan. Kaum Muslim diminta untuk memilih satu dari keduanya; (f) Hasil pemilihan diumumkan, dan kaum Muslim diberitahu siapa calon yang mendapat suara lebih banyak; (g) Kaum Muslim langsung membaiat calon yang mendapat suara terbanyak sebagai Khalifah bagi kaum Muslim untuk melaksanakan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya; (h) Setelah proses baiat selesai, Khalifah kaum Muslim diumumkan ke seluruh penjuru sehingga sampai kepada umat seluruhnya. Pengumuman itu disertai penyebutan nama Khalifah dan bahwa ia telah memenuhi sifat-sifat yang menjadikannya berhak untuk menjabat Khilafah; dan (i) Setelah proses pengangkatan Khalifah yang baru selesai, masa jabatan amir sementara berakhir.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 137-138).

 Baiat Tharîqah Baku Pengangkatan Khalifah

Terkait dengan baiat sebagai tharîqah baku satu-satunya dalam pengangkatan Khalifah, sangat jelas dari baiat kaum Muslim kepada Rasulullah Saw. Sebab, baiat kaum Muslim kepada Rasulullah Saw, bukan baiat atas kenabian, melainkan baiat atas kekuasaan. Jadi, Rasulullah Saw itu dibaiat adalah dalam kapasitasnya sebagai seorang penguasa, bukan sebagai Nabi dan Rasul, karena pengakuan atas kenabian dan kerasulan itu adalah keimanan bukan baiat; juga perintah Rasulullah Saw kepada kami agar membaiat seorang Khalifah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 139).

Dari Ubadah Bin Shamit yang berkata:

«بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لاَ نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ»

Kami telah membai’at Rasulullah Saw. untuk setia mendengarkan dan mentaati perintahnya, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun tidak kami senangi; dan agar kami tidak merebut kekuasaan dari seorang pemimpin; juga agar kami menegakkan atau mengatakan yang haq di manapun kami berada dan kami tidak takut karena Allah terhadap celaan orang-orang yang mencela.” (HR. Bukhari).

Dan juga sabdanya:

«وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»

Siapa saja yang mati, sementara di pundaknya tidak ada baiah (kepada khalifah), maka dia mati (dalam keadaan berdosa), seperti mati jahiliyah.” (HR. Muslim).

Nash-nash tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa tharîqah baku satu-satunya dalam pengangkatan Khalifah adalah baiat. (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 140).

Sehubungan dengan hal ini, Imam an-Nawawi berkata: “Akad khilafah itu dinyatakan sah hanya dengan baiat.” (An-Nawawi, Nihâyah al-Muhtâj ila Syarhi al-Minhâj, VII/390).

 Prosedur Pembaiatan Khalifah

Di saat jabatan Khilafah kosong—karena wafatnya atau dipecatnya seorang Khalifah—, maka Mahkamah Mazhalim mengumumkan tentang kosongnya jabatan Khilafah. Dan seketika itu pula amir sementara—yang tugas pokoknya adalah melangsungkan pemilihan Khalifah baru dalam jangka waktu tiga hari—mulai melaksanakan tugasnya serta mengumumkan dibukanya pintu pencalonan. Kemudian Mahkamah Mazhalim memverifikasi para calon untuk menetapkan siapa-siapa dari mereka yang telah memenuhi syarat-syarat in’iqad dan yang tidak. Selanjutnya dilakukan pembatasan hingga menjadi dua orang calon saja, dan diumumkan kepada masyarakat untuk memilih salah satu dari keduanya.

Prosedur tersebut dipahami dari apa yang terjadi pada proses pembaiatan Khulafa’ur Rasyidin sesudah wafatnya Rasulullah Saw. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali—semoga Allah meridhai mereka semua. Sementara terkait pembatasan hingga menjadi dua calon saja, maka hal itu terlihat jelas dalam mekanisme pembaiatan Khulafa’ur Rasyidin. Di Saqifah bani Saidah calonnya adalah Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah dan Sa’ad bin Ubadah. Namun Umar dan Abu Ubaidah mengundurkan diri karena merasa tidak level bersaing dengan Abu Bakar. Sehingga praktis calonnya tinggal dua, yaitu Abu Bakar dan Sa’ad bin Ubadah. Kemudian  ahlul hall wal ‘aqd di Saqifah memilih Abu Bakar sebagai Khalifah dan membaiatnya dengan baiat ‘iniqâd (baiat pengangkatan), dan keesokan harinya baiat taat (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 42).

Ibnu Qutaibah berkata: “Pada hari yang sama ketika Rasulullah Saw wafat, Abu Bakar dibaiat—sebagai baiat ‘iniqâd—di Saqifah Bani Sa’idah bin Ka’ab bin al-Khazraj, kemudian besoknya, pada hari Selasa, ia dibaiat dengan baiat umum, yakni baiat taat (Ibnu Qutaibah, al-Ma’ârif, hlm. 74).

Abu Bakar mencalonkan Umar sebagai Khalifah bagi kaum Muslim, dan tidak ada calon lain selain beliau. Dengan kata lain, Umar ketika itu merupakan calon tunggal. Kemudian kaum Muslim membaiatnya dengan baiat ‘iniqâd (baiat pengangkatan), lalu baiat taat.

Sementara Umar mencalonkan enam orang dan membatasi mereka saja untuk dipilih di antara mereka menjadi Khalifah. Kemudian  Abdurrahman bin Auf berdiskusi dan menanyakan lima orang lainnya, siapa di antara mereka yang lebih pantas menjadi Khalifah, hasilnya ditetapkan dua orang, yaitu Ali dan Utsman. Setelah itu dilakukan polling (pemungutan suara), dan Utsman pun diangkat menjadi Khalifah.

Sedangkan Ali, maka beliau merupakan calon tunggal, karena tidak ada calon lain selain beliau untuk jabatan Khilafah. Kemudian mayoritas kaum Muslim di Madinah dan Kufah membaiatnya, sehingga beliau menjadi Khalifah yang keempat (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 142-143; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 31-32).

Dengan demikian, beberapa perkara berikut wajib diambil sebagai ketentuan saat pencalonan Khalifah setelah kosongnya jabatan Khilafah, baik karena Khalifah sebelumnya meninggal atau dipecat, yaitu:

  1. Aktivitas di seputar pencalonan hendaknya dilakukan sepanjang malam dan siang hari selama hari-hari yang telah ditentukan.
  2. Seleksi para calon dari segi terpenuhinya syarat-syarat in’iqad. Hal ini dilakukan oleh Mahkamah Mazhalim.
  3. Pembatasan jumlah calon yang telah memenuhi kelayakan dilakukan dua kali: Pertama, dibatasi sebanyak enam orang. Kedua, dibatasi menjadi dua orang. Sementara pihak yang melakukan dua kali pembatasan ini adalah Majelis Umat dalam kapasitasnya sebagai wakil umat. Sebab, umat telah mendelegasikan pencalonan itu kepada Umar, lalu Umar menetapkan calon sebanyak enam orang. Keenam orang itu kemudian mendelegasikan pencalonannya kepada Abdurrahman. Setelah melalui diskusi, kemudian Abdurrahman membatasi pencalonan pada dua orang. Rujukan atas semua ini, seperti yang sudah dijelaskan, adalah umat atau pihak yang mewakilinya.
  4. Setelah selesainya pemilu dan pembaiatan, maka diumumkan kepada seluruh rakyat, orang yang telah menjadi Khalifah kaum Muslim, sehingga berita pengangkatannya sampai pada seluruh umat, dengan menyebutkan namanya, dan sifat-sifat yang dimilikinya yang menjadikannya layak untuk menduduki jabatan Khilafah.
  5. Wewenang amir sementara berakhir dengan berakhirnya proses pengangkatan dan pembaiatan Khalifah, bukan dengan pengumuman hasil pemilihan Khalifah. Sebab kepemimpinan Suhaib belum berakhir dengan terpilihnya Utsman, tetapi berakhir dengan sempurnanya pembaiatan Utsman (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 145; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 34).

 

Untuk Fakta Sekarang

Prosedur di atas adalah apabila telah ada Khalifah, lalu Khalifahnya meninggal atau dipecat, dan hendak mengangkat Khalifah baru untuk menggantikannya. Namun apabila belum ada Khalifah sama sekali, sementara kaum Muslim wajib mengangkat Khalifah untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia, seperti halnya sekarang, sejak dihapusnya institusi negara Khilafah pada tanggal 28 Rajab 1342 H, yang bertepatan dengan 3 Maret 1924, oleh Attaturk—seorang agen loyalis kaum kafir najis, Inggris—, maka setiap negeri dari seluruh dunia Islam berhak untuk membaiat Khalifah dan mengadakan akad khilafah. Apabila suatu negeri telah membaiat Khalifah dan mengadakan akad khilafah, maka kaum Muslim yang berada di negeri-negeri lainnya wajib membaiatnya dengan baiat taat, yakni baiat ketundukan. Syaratnya bahwa negeri itu telah memenuhi empat perkara berikut:

  1. Kekuasaan negeri itu merupakan kekuasaan yang hakiki (otonomi penuh, sulthân[an] dzâtiy[an]), yang hanya bersandar kepada kekuasaan kaum Muslim saja, dan tidak bergantung pada negara kafir manapun, atau tidak di bawah pengaruh orang (negara) kafir.
  2. Keamanan kaum Muslim di daerah atau negeri itu haruslah dengan keamanan Islam, bukan keamanan kufur. Artinya, perlindungan daerah atau negeri itu, baik keamanan dalam negeri maupun luar negerinya merupakan perlindungan Islam, yakni berasal dari kekuatan kaum Muslim—yang dipandang sebagai kekuatan Islam—saja.
  3. Negeri itu harus memulai penerapan Islam secara total, revolusioner (sekaligus) dan menyeluruh, serta langsung melakukan tugas mengemban dakwah Islam.
  4. Khalifah yang dibaiat harus telah memenuhi syarat-syarat in’iqad (legalitas Khilafah), meskipun belum memenuhi syarat afdhaliyah (keutamaan), sebab yang wajib dipenuhi hanyalah syarat-syarat in’iqad (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 146; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 35; Rodhi, Hizb at-Tahrir Tsaqofatuhu wa Manhajuhu fi Iqomah Daulah al-Khilafah al-Islamiyah. Hlm. 233; Hizbut Tahrir, Ajhizah Daulah al-Khilâfah (fi al-Hukm wa al-Idârah), hlm. 25).

Dengan demikian, apabila suatu negeri telah memenuhi empat syarat tersebut, dan penduduk negeri itu telah membaiat khalifah sesuai ketentuan syara’, maka khilafah benar-benar telah terwujud, dan selanjutnya tidak boleh membaiat khalifah lain. Apabila ada negeri lain yang membaiat khalifah lain setelah itu, maka baiatnya batal dan tidak sah. Rasulullah saw bersabda:

« إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا الآخَرَ مِنْهُمَا »

Apabila dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah khalifah yang lain (terakhir) dari keduanya.” (HR. Muslim).

Jadi, apabila khilafah telah tegak di suatu negeri, dan khalifah telah terwujud, maka wajib bagi kaum Muslim di seluruh dunia untuk bergabung di bawah panji khilafah dan membaiat khalifah tersebut sebagai baiat taat. Sebab, jika tidak, maka semuanya berdosa di sisi Allah SWT (Rodhi, Hizb at-Tahrir Tsaqofatuhu wa Manhajuhu fi Iqomah Daulah al-Khilafah al-Islamiyah. Hlm. 234; Hizbut Tahrir, Ajhizah Daulah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 26). WalLâhu a’lam bish-shawâb.

Daftar Bacaan

Hizbut Tahrir, Ajhizah Daulah al-Khilâfah (fi al-Hukm wa al-Idârah), (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.

Ibnu Qutaibah, Abdullah ad-dainuri, al-Ma’ârif, (Mesir: al-Maktabah al-Husainiyah), 1934.

An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.

An-Nawawi, Yahya bin Syaraf, Nihâyah al-Muhtâj ila Syarhi al-Minhâj, (Syirkah Mustafa al-Halabi), 1933.

Rodhi, Muhammad Muhsin, Hizb at-Tahrir Tsaqofatuhu wa Manhajuhu fi Iqomah Daulah al-Khilafah al-Islamiyah, (Departemen Pendidikan Tinggi dan Kajian Keilmuan Universitas Islam Baghdad), 2006.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*