Orang sering mengatakan, apapun sistem politiknya, yang penting rakyat sejahtera. Dari sekian sistem politik yang ada, demokrasi dipercaya sebagai sistem politik terbaik yang akan mewujudkan misi itu. Bukan benar-benar terbaik, tetapi terbaik di antara yang buruk (the best among the worst).
Dengan kemampuan memberikan ruang cukup luas pada aspirasi rakyat, penghargaan pada keragamaan atau pluralitas dengan tetap memberikan kebebasan, baik kebebasan berpendapat dan berkelompok, maupun kebebasan berekspresi, demokrasi dipercaya bisa mengakomodasi kepentingan seluruh anggota masyarakat, termasuk dalam memperlakukan kelompok rakyat miskin dan kaya sehingga kesejahteraan bersama bisa diwujudkan. Namun, dalam kenyataannya justru demokrasilah dengan Kapitalismenya itu yang menjadi penyebab utama terjadinya konsentrasi kekayaan dan timbulnya ketimpangan serta proses pemiskinan di tengah masyarakat. Bagaimana bisa?
++++
Seperti telah banyak dipahami, inti dari demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat (sovereignty belongs to people), yang perwujudannya tampak pada dua perkara. Pertama, dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Kedua, dalam pemilihan pemimpin. Dengan kewenangan (wakil) rakyat menyusun peraturan perundang-undangan dan memilih pemimpin, diyakini bahwa peraturan perundangan yang dihasilkan akan selaras dengan kepentingan rakyat, dan pemimpin yang terpilih akan benar-benar bekerja demi rakyat. Namun, yang terjadi tidaklah demikian.
Untuk bisa menjadi anggota parlemen dan menjadi penguasa baik di level negara maupun di level distrik (propinsi dan kota/kabupaten) diperlukan biaya yang tidak sedikit. Nah, kebutuhan akan dana yang besar inilah yang kemudian menjadi pangkal timbulnya masalah. Ambil contoh Amerika Serikat. Di negara yang dianggap sebagai kampiunnya demokrasi, dalam Pemilu baru lalu, untuk biaya kampanye, Obama dikabarkan menghabiskan paling sedikit 800 juta USD (sekitar Rp 7,2 triliun). Rivalnya, Mitt Romney juga menghabiskan jumlah kurang lebih sama. Keadaan serupa terjadi di Indonesia. Pasangan Sukarwo dan Saifullah dalam Pilkada Jawa Timur pada tahun 2008 lalu, misalnya, secara resmi menyatakan telah menghabiskan dana Rp 1,3 triliun untuk pencalonannya sebagai gubernur Jawa Timur. Bila untuk pencalonan gubernur saja dihabiskan dana segitu besar, yang dikeluarkan oleh calon presiden tentu lebih besar lagi. Disebut-sebut paling sedikit sekitar Rp 1,5 triliun.
Lalu untuk calon anggota legislatif (caleg), biaya yang dikeluarkan juga tak sedikit. Wakil Ketua DPR dari PDI Perjuangan, Pramono Anung, dalam penelitian untuk disertasi doktoralnya mendapati fakta, untuk Pemilu paling sedikit caleg mengeluarkan dana minimal Rp 600 juta. Ada juga yang menghabiskan dana hingga Rp 6 miliar. Biaya itu dari Pemilu ke Pemilu cenderung meningkat. Biaya caleg tahun 2009, misalnya, naik 3,5 lipat dibanding tahun 2004. Untuk Pemilu 2014 mendatang biaya pencalegkan pasti menyentuh angka miliaran.
Pertanyaannya, darimana semua dana itu diperoleh? Di AS, hampir 80% dana sebanyak itu disumbang oleh para pengusaha. Di Indonesia tidaklah berbeda. Kondisi ini tentu memberikan implikasi serius. Pertama, kebijakan pemerintah yang dibentuk melalui proses politik seperti itu pasti kemudian akan cenderung mengutamakan kepentingan pengusaha yang telah mendukungnya. Kedua, peraturan perundangan yang dihasilkan oleh anggota parlemen, terutama yang berkaitan dengan ekonomi, juga akan cenderung berpihak kepada pemilik modal. Itu dilakukan sebagai kompensasi atau sebagai jalan untuk mendapatkan dana guna mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan. Akhirnya, mereka menjadikan kedudukan dan kewenangan yang mereka miliki itu sebagai alat untuk memperoleh uang karena gaji resmi yang diterima jauh dari kebutuhan.
Oleh karena itu, bisa dimengerti bila kemudian banyak kepala daerah dan anggota parlemen tersangkut perkara korupsi. DPR bahkan dinilai sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan, sebanyak 69,7 persen anggota DPR terindikasi korupsi. Sepanjang tahun 2004 hingga 2012, ada 431 orang anggota DPRD provinsi dan 998 orang anggota DPRD Kabupaten/Kota tersangkut kasus korupsi. Lalu 17 dari 33 Gubernur yang ada, dan 148 walikota/bupati juga menjadi tersangka korupsi.
Akhirnya, demokrasi semakin jauh dari realisasi politik “demi kepentingan rakyat.” Para pemilik modal itulah yang akhirnya secara efektif memiliki akses dan kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Tak heran bila kemudian kebijakan yang diambil oleh pemerintah lebih cenderung menguntungkan para pemilik modal atau kelompok kaya yang tidak lain adalah mereka yang telah mendukung rezim naik ke tampuk kekuasaan sehingga yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin makin tersisihkan.
Keadaan inilah yang menimbulkan ketimpangan ekonomi di berbagai negara di dunia. Di Amerika Serikat, misalnya, dari tahun 1980 hingga 2005, 80% kekayaan AS hanya dimiliki oleh 1% penduduk. Dari tahun 1979 hingga tahun 2007 pendapatan rata-rata 1% terkaya orang naik 272% dari 350.000 USD ke 1.300.000 USD. Pada kurun waktu yang sama, pendapatan rata-rata 20% penduduk AS termiskin hanya naik 13% dari 15.500 USD ke 17.500 USD.
Di Indonesia, kesenjangan serupa juga terjadi. Indeks Gini, yang mengukur tingkat kesenjangan ekonomi, meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, tingkat kesenjangan ekonomi pada 2011 menjadi 0,41. Padahal pada tahun 2005, gini rasio Indonesia masih 0,33.
Data lain memperlihatkan, total pendapatan 20 persen masyarakat terkaya meningkat dari 42,07 persen (2004) menjadi 48,42 persen (2011). Sebaliknya, total pendapatan 40 persen masyarakat termiskin menurun dari 20,8 persen (2004) menjadi 16,85 persen (2011). Kekayaan 40 ribu orang terkaya Indonesia sebesar Rp 680 Triliun (71,3 miliar USD) atau setara dengan 10,33% PDB, dan itu setara dengan kekayaan 60% penduduk atau 140 juta orang.
Dalam konteks global, terjadi pula kecenderungan peningkatan ketimpangan kekayaan. Hingga tahun 2010, sebanyak 0,5% penduduk terkaya (24 juta orang) memiliki 35,6% kekayaan global; 8% penduduk terkaya (358 juta) memiliki 79,3 kekayaan global. Sebaliknya, 68,4% penduduk miskin (3,038 miliar) hanya memiliki 4,2% kekayaan global. Maka tak heran, dalam demo yang marak terjadi di berbagai negara Barat menyusul krisis ekonomi yang tak kunjung surut, mereka membawa poster atau spanduk berbunyi: “Capitalism is not working”, “Capitalism is merely for 1%, we are the 99%”.
Konsentrasi kekayaan hanya pada kelompok kecil itu tentu saja mengakibatkan melajunya proses pemiskinan dan peningkatan jumlah orang miskin di dunia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan juga naik 200% sejak 1980-an. Kemiskinan adalah pembunuh massal yang sangat kejam. Dilaporkan 22.000 anak-anak di dunia meninggal tiap hari akibat tidak cukup mendapatkan makan, air bersih dan layanan kesehatan. Belum lagi mereka yang terpaksa hidup seadanya, tanpa tempat tinggal yang layak, nutrisi yang mencukupi dan layanan pendidikan dan kesehatan yang semestinya.
++++
Jadi, mengharap dari sistem demokrasi lahir kesejahteraan bersama adalah sebuah ilusi besar. Ketimpangan ekonomi di berbagai belahan dunia, termasuk di negeri ini, membuktikan hal itu. Oleh karena itu, mestinya kita tidak ragu untuk meninggalkan demokrasi yang telah tampak jelas kebusukannya, dan berjuang dengan sungguh-sungguh untuk tegaknya syariah. Yakinlah, hanya dengan penerapan syariah secara kaffah di bawah naungan Daulah Khilafah saja kesejahteraan rakyat akan benar-benar terwujud. Bukan hanya sekadar sejahtera, melainkan juga kesejahteraan yang mulia karena hal itu dilahirkan dari kegiatan ekonomi halal saja dan kegiatan ekonomi haram sama sekali tidak mendapat tempat dalam sistem ini.
WalLahu’alam bi ash-shawwab. [Bersambung]