Persoalan dunia pendidikan di tanah air terus menerus bertambah. Bukan saja dari perilaku para siswa yang tidak mencerminkan generasi terdidik dengan perilaku tidak terpuji seperti bolos sekolah, pergaulan bebas, tawuran, hingga peredaran narkoba. Tapi keburukan itu juga ditampilkan oleh sosok para pendidiknya. Para guru yang semestinya memberikan keteladanan dan pengasuhan kepada murid-murid mereka justru ibarat pagar makan tanaman. Beberapa oknum pengajar dan pejabat sekolah justru terbukti melakukan pelecehan seksual kepada anak-anak didik mereka.
Di awal bulan ini seorang wakil kepala sekolah merangkap guru di sebuah SMU Negeri di Jakarta dituntut oleh keluarga salah seorang siswi karena melakukan pelecehan seksual berkali-kali terhadapnya. Di Sampit, Kalimantan Tengah, seorang kepala MTsN ditangkap karena melakukan pencabulan terhadap 10 orang siswinya. Ada lagi seorang guru SD RSBI di Mataram yang mencabuli 6 orang muridnya. Bila dirunut ke belakang masih banyak laporan kasus pencabulan yang dilakukan oknum guru terhadap anak didik mereka.
Rangkaian peristiwa memalukan dan memilukan ini patut untuk dikaji karena terjadi di institusi pendidikan yang semestinya terhormat dan mulia. Kejadian ini menunjukkan ada kesalahan mendasar yakni falsafah dan tujuannya. Dunia pendidikan di tanah air berdiri di atas falsafah sekulerisme, memisahkan agama dari kehidupan sedangkan tujuannya tidak jelas. Meski dicantumkan kalimat ‘bertakwa kepada Allah’ akan tetapi semua tahu bahwa hal itu hanyalah lips service. Prakteknya tuntunan agama tidaklah dijadikan aturan dalam dunia pendidikan. Bahkan ia hanya menjadi pelengkap saja. Perhatikan saja mata pelajaran agama yang di SD hingga SMU yang hanya berjumlah 2 jam. Sedangkan di perguruan tinggi hanya ada di satu semester dengan beban 2 SKS. Suasana keagamaan (baca: keislaman) tidak tampak dalam kehidupan di sekolah apalagi di kampus-kampus. Baik dalam pergaulan antar siswa, guru dengan siswa maupun antarguru pun jauh dari aturan Islam.
Yang memprihatinkan perselingkuhan di kalangan tenaga pengajar juga kerap terjadi. Hal ini diakui oleh Direktur Aksara, lembaga pembela hak-hak perempuan Daerah Istimewa Yogyakarta (tempo.co, 24/1/ 2013). Perselingkuhan di kalangan guru terjadi terutama setelah adanya uang sertifikasi. Sedangkan pada tahun 2008, Dinas Pendidikan Bondowoso mengatakan bahwa perselingkuhan di tingkat guru meningkat 100 persen.
Kesalahan kedua adalah tidak dijadikannya kepribadian Islam sebagai salah satu syarat utama bagi para tenaga pengajar. Sekarang ini dunia pendidikan hanya mengedepankan gelar dan skill mengajar, tapi tidak menyertakan kepribadian yang baik apalagi Islami. Hal yang wajar bila bermunculanlah kasus-kasus kriminalitas yang dilakukan oleh guru baik kepada murid.
Ketiga, adalah lingkungan pendidikan yang sekuler memunculkan gaya hidup hedonisme dan amoral. Ini bisa terlihat dari terbiasanya para pelajar berpacaran atau bercanda dengan lawan jenis maupun berboncengan dengan lawan jenis, termasuk dengan guru. Gaya hidup macam ini juga tampak dari cara berpakaian para siswi yang memperlihatkan aurat, malah di sejumlah sekolah ada siswi-siswi yang berpakaian seragam ketat.
Keadaan ini berpotensi memicu dorongan seksual termasuk di kalangan para guru. Apalagi dengan kehidupan umum di masyarakat yang sudah dilanda liberalisme, khususnya kebebasan seksual. Siapapun, termasuk guru, akan terimbas berbagai informasi yang merusak cara pandang hubungan pria dengan wanita.
Dari keadaan semacam ini semakin berat rasanya mengharapkan akan bermunculan intelektual muslim yang handal dalam iptek sekaligus berkepribadian baik. Dunia pendidikan semakin tenggelam dalam berbagai skandal selain persoalan kurikulum, korupsi ditambah dengan perilaku asusila para tenaga pendidiknya. Inilah hasil menerapkan sekulerisme dan demokrasi di tanah air dengan menyingkirkan ajaran Islam yang mulia. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [IJ – LS DPP HTI]