Berbagai komentar dari lawan bicara yang resmi setelah pertemuan rezim Iran dengan Kelompok P5 + 1 (yakni Amerika Serikat, Inggris, Cina, Rusia, Prancis + Jerman) di Almaty, Kazakhstan pada akhir Februari memberikan sikap optimisme bahwa kompromi di Iran atas masalah nuklir bisa tercapai sejak pertama kali muncul di panggung dunia politik pada tahun 2002. Iran menggembar-gemborkan pembicaraan itu sebagai “titik balik hubungan” sementara kelompok P5 +1 menunjukkan munculnya kepercayaan kembali sebelum perundingan yang dijadwalkan pada bulan April.
Namun, sebaliknya, dan setelah diamati lebih lanjut bahwa masalah nuklir Iran sebenarnya merupakan bahan bakar dari suatu ‘krisis’ yang telah terselesaikan, yang tidak ada rincian final dan pengumuman resminya. Para pelaku sesungguhnya dari ‘kesepakatan’ itu telah jelas untuk sementara waktu dan akan melibatkan suatu kesepakatan dengan Iran yang akan membatasi kemampuan pengayaan nuklirnya, menyimpan kelebihan bahan bakar nuklirnya ke negara-negara lain, mengizinkan inspeksi dari IAEA atas fasilitas-fasilitas nuklirnya dengan imbalan pencabutan sanksi terhadap perekonomian Iran dari Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Perhatian internasional pertama muncul terhadap Iran pada tahun 2002 setelah ditemukannya aktivitas pengayaan nuklir yang memicu kekhawatiran IAEA karena dipandang sebagai hal yang melanggar kewajiban Iran sebagai negara penandatangan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Sejak itu media AS, Uni Eropa dan global telah memicu narasi bahwa Iran akan membawa dunia ke puncak krisis nuklir.
Keterlibatan Iran dengan Amerika Serikat
Apa yang tidak banyak diketahui adalah bahwa bersamaan dengan ditemukannya aktivitas pengayaan nuklir Iran, Iran dan AS telah melakukan kontak-kontak yang hampir permanen dan melakukan dialog untuk membahas isu ini dan isu-isu lainnya. Bukti atas adanya ‘Pembicaraan Rahasia II’ [1] pertama muncul 10 tahun yang lalu, yakni pada tahun 2003, antara para diplomat dan penasehat dari kedua belah pihak sebagai bagian dari upaya AS untuk terlibat dengan masalah Iran pasca invasi ke Irak dengan maksud untuk memadamkan perlawanan di Irak dan mengkonsolidasikan kehadiran Amerika di wilayah tersebut.
Diplomasi rahasia itu tidak pernah goyah termasuk yang dilakukan para pejabat pemerintahan terkemuka dan mantan Dubes AS seperti Thomas Pickering yang dilakukan selama bertahun-tahun [2]. Pada tahun 2003, kedua pemerintahan menggunakan perantara pihak ketiga untuk berbagi informasi yang lebih luas setelah adanya dukungan diam-diam Iran atas AS dalam mengalahkan Taliban dan sisa-sisa Al Qaeda. Pada tahun itu, komunike rahasia atau roadmap itu diperdebatkan di mana Iran akan meninggalkan penggunaan Senjata Pemusnah Massal (WMD) sebagai bagian dari kerangka kepentingan bersama dan berbagi yang lebih luas antara AS-Iran [3].
Dalam banyak kasus, kesesuaian antara para pejabat Iran dan para pejabat AS, terlepas dari permusuhan yang ditampilkan di publik dan retorika adanya serangan dalam waktu dekat, adalah dilakukan atas perintah Iran oleh banyak rezim pemerintahan secara berturut-turut. Para mantan pejabat AS yang dikutip pada tahun 2008 berkomentar;
“Sejumlah pejabat Iran-yang mencerminkan berbagai perspektif politik yang menduduki berbagai posisi selama masa pemerintahan Presiden Rafsanjani, Khatami, dan Ahmadinejad -telah mengatakan kepada kami bahwa mereka mengantisipasi kerjasama taktis dengan Amerika Serikat akan menyebabkan terbukanya pembukaan hubungan yang lebih luas dan strategis antara kedua negara … ” [4]
Dalam beberapa tahun terakhir telah terlihat terkikisnya kepercayaan yang merupakan rintangan yang pertama kali disebutkan oleh pemerintah AS dalam penentangannya terhadap program nuklir Iran dan potensi untuk dikembangkan menjadi senjata nuklir. Sejak awal, Iran tidak bertujuan untuk hal itu, dalam keadaan apapun, untuk mengembangkan senjata nuklir atau bom nuklir, namun untuk mendapatkan energi nuklir untuk tujuan sipil dan untuk mematuhi Perjanjian NPT. Presiden Ahmadinejad kemudian menegaskan bahwa Iran tidak akan membangun senjata atom [5] dan Ayatollah Ali Khaemeni telah menyatakan pada berbagai kesempatan atas larangan kepemilikan dan penggunaan senjata nuklir. [6]
Pada tahun 2009, Iran mengatakan setuju adanya inspeksi IAEA terhadap situs-situs nuklirnya seperti yang ada di kota Qom, sehingga menimbulkan preseden bahwa pemeriksaan atas situs dan fasilitas nuklirnya itu pada prinsipnya tidak ditentang [7]. Pada tahun berikutnya, Ahmadinejad mengatakan rezim bahkan bersedia menurunkan uranium yang diperkaya tingkat rendah (LEU) menjadi sebesar 20% (sejenis senjata dengan menggunakan uranium dibutuhkan uranium sebesar 90%) asalkan negara itu mendapatkan kepastian untuk mendapatkan pasokan bahan bakar nuklir dari tempat lain [8].
Selain itu, untuk lebih meredakan kekhawatiran AS dan Uni Eropa bahwa stok uranium yang dimiliki tidak akan dikembangkan lebih lanjut menjadi senjata nuklir, Iran setuju untuk menyimpan uranium yang diperkaya tingkat rendah (Low Enriched Uranium-LEU) di negara-negara lain sehingga sama sekali tidak ada kesempatan untuk dilakukan pengayaan lebih lanjut [9]. Baru-baru ini, Menteri Luar Negeri Ali Akbar Salehi menunjukkan posisi Iran untuk memperkaya uranium maksimal hanya sampai 5%, bahkan jauh lebih sedikit dari 20% LEU, serta mengulangi konsesi-konsesi Iran sebelumnya [10].
Memperpanjang Kebuntuan Nuklir
Dengan pragmatisme Iran untuk menyetujui hampir setiap permintaan Barat, ditambah dengan kerjasama di balik layar dengan AS, adalah alasan mengapa, mungkin seseorang bertanya, mengapa masalah nuklir ini mengalami kebuntuan berlarut-larut selama bertahun-tahun.
Jawaban atas hal ini adalah bahwa sementara para pembuat kebijakan AS telah diuntungkan selama dekade terakhir dari bantuan yang diberikan Iran di Afghanistan dan kemudian pasca Irak tahun 2003, AS secara cekatan telah menggunakan program nuklir Iran untuk meningkatkan ketakutan atas konflik nuklir dan proliferasi di wilayah itu untuk lebih mempererat hubungannya sendiri dengan negara-negara Teluk lainnya dan negara Timur Tengah.
Hal ini telah dilakukan dengan penjualan dan penyebaran senjata dan persenjataan terbaru (di Israel dan Turki) atau dengan meningkatkan kehadiran pasukan di wilayah itu (di Saudi dan Teluk). Sebagai contoh, selama dua tahun terakhir AS telah meningkatkan kehadiran militernya di Kuwait (memperluas pangkalan militer), UAE (pesawat siluman F22), helikopter tempur, kapal selam, senjata-senjata canggih dan pesawat pembawa kelompok tempur kedua (Teluk Persia). Singkatnya, latar belakang dari kebuntuan nuklir antara Iran dan kekuatan-kekuatan Barat telah menjadi alat yang berguna bagi berlanjutnya hegemoni AS.
Pada saat yang sama, faktor rumit lainnya juga muncul dan telah lebih menjadi penghalang dari keinginan AS untuk memformalkan kesepakatan nuklir dengan Iran. Desakan Israel agar Amerika Serikat melakukan serangan pre-emptive terhadap Iran telah menjadi gangguan yang konstan bagi pemerintah AS dan telah menyebabkan sanksi terus menerus terhadap Iran. Sama halnya, retorika dari para pejabat dan ketidakpercayaan masyarakat pada kedua belah pihak seperti George W Bush yang menempatkan Iran yang terkenal dengan istilah ‘axis of evil’ (poros kejahatan) dalam pidatonya dan penggambaran oleh para pejabat terhadap Ahmadinejad sebagai tokoh satiris ‘headcase’ yang berarti bahwa dibutuhkan waktu yang lama bagi perjanjian tersebut untuk bisa disajikan kepada publik.
Faktor-faktor yang menunjukkan kesepakatan nuklir akan diumumkan segera:
1. Upaya Israel selama tahun 2009- 2012 untuk merekayasa serangan dan menarik AS ke dalam rencana perangnya tampaknya telah surut dengan kemenangan Presiden Obama yang kedua sementara posisi Netanyahu di dalam negeri. Upaya Israel untuk menetapkan batas waktu pembatasan program nuklir Iran telah habis, berlalu dan seringkali berubah sehingga mengurangi dampaknya [11]
2. Kepentingan AS yang lebih luas untuk berbicara mengenai ancaman nuklir Iran sekarang telah melayani tujuan mereka melalui peningkatan kehadiran AS dan penjualan senjata di kawasan Teluk Persia
3. Pemilihan Presiden Iran pada bulan Juni akan mengantar seorang pemimpin baru yang akan bebas dari hiperbola dan retorika anti Barat dan yang dikaitkan dengan Ahmadinejad, hal membuat semua prospek kesepakatan nuklir menjadi lebih mungkin
4. Dukungan yang diberikan oleh rezim Iran bagi rezim brutal Assad di Suriah telah melemahkan posisinya dan meningkatnya tekanan untuk menyerah pada setiap pembatasan aktivitas nuklir lebih lanjut
5. Keinginan Obama untuk mendapatkan kesuksesan kebijakan luar negeri adalah yang dicari oleh sang presiden, yang digunakan untuk memperkuat warisannya di arena politik global dan akan berarti bertambahnya fokus untuk menyelesaikan isu-isu yang beredar dan menyatakan suatu kesepakatan.
Dalam analisis akhir, semua komponen suatu penyelesaian bagi masalah nuklir Iran dengan memuaskan. Penyerahan Iran pada tuntutan AS dan Uni Eropa untuk meninggalkan senjata nuklir dan keuntungan strategis yang diberikan dari hal ini adalah hal yang konsisten sementara AS bertujuan untuk memperpanjang krisis untuk mengamankan kepentingan-kepentingan lainnya sekarang berakhir.
Tampaknya mungkin setelah terjadi pemilihan presiden Iran tahun ini pemegang jabatan yang baru akan dibebani dengan sebutan ‘moderat’ yang sebelumnya diberikan pada rezim Khatami dan Rafsanjani.
Namun, bahkan dengan kesepakatan atas isu nuklir disimpulkan bahwa rezim Iran yang diam-diam berhubungan dengan AS dalam berbagai masalah tidak bisa merasa tenang. Bagi Amerika, pergantian rezim di Iran masih menjadi aspirasi sebuah generasi di mana kebijakan para perencana dan pemikir menginginkan berakhirnya rezim yang atau mirip berdasarkan aturan agama di dunia Islam, apalagi hingga menjadi rezim yang mapan dalam benak umat dan mempercepat seruan yang lebih luas bagi penegakkan total atas Islam dan Khilafah. (rz)
Referensi:
[1] http://www.independent.co.uk/news/world/politics/us-and-iran-holding-secret-talks-on-nuclear-programme-808647.html [2] http://www.independent.co.uk/news/world/politics/us-and-iran-holding-secret-talks-on-nuclear-programme-808647.html [3] http://www.raceforiran.com/ [4] http://www.raceforiran.com/ [5] http://www.bbc.co.uk/news/world-middle-east-11709428 [6]http://www.thenational.ae/news/world/middle-east/ayatollah-ali-khameneis-fatwa-should-end-nuclear-weapons-debate-says-iran [7] http://www.guardian.co.uk/world/2009/oct/04/iran-nuclear-weapon-inspection?INTCMP=SRCH [8] http://www.guardian.co.uk/world/2010/aug/20/ahmadinejad-iran-uranium-enriching?INTCMP=SRCH [9] http://news.bbc.co.uk/1/hi/8685846.stm [10] http://www.worldpolicy.org/journal/winter2012/chatroom-ali-akbar-salehi [11] http://www.guardian.co.uk/world/julian-borger-global-security-blog/2012/jan/25/israel-iran?INTCMP=SRCH