Kapitalisme Mengeksploitasi Puluhan Juta Kaum Lemah Sebagai Pembantu Rumah Tangga

Pada tanggal 9 Januari 2013, untuk pertama kalinya organisasi pekerja internasional (ILO) meluncurkan laporan globalnya terkait pekerja rumah tangga di seluruh dunia. Laporan yang bertajuk “Domestic workers around the world” itu menyebutkan bahwa saat ini ada sekitar 53 juta pekerja rumah tangga di dunia di mana 83 persennya adalah kaum perempuan dan anak perempuan, dan banyak di antara mereka adalah pekerja migran. Luar biasa, artinya lebih dari 43 juta perempuan telah dipekerjakan sebagai pengasuh, tukang masak, pembersih rumah, dan pembantu rumah tangga. Jumlah ini melonjak sebesar 19 juta orang selama 18 tahun terakhir dari data pertengahan 1990-an. Bahkan menurut Martin Oelz, pakar hukum perburuhan ILO, laporan yang berasal dari hasil survei 117 negara ini sebenarnya belum mewakili angka sebenarnya dari seluruh pekerja domestik seluruh dunia, angka sebenarnya bisa mencapai puluhan juta lebih besar. Laporan ini menurutnya juga tidak memasukkan data pekerja anak domestik yang berusia di bawah 15 tahun yang pernah dilaporkan ILO tahun 2008 berjumlah 7,4 juta orang.

Namun yang menyedihkan, di samping temuan jumlah yang fantastis, adalah temuan bahwa para pekerja domestik (PRT) ini sering mengalami kekerasan dan eksploitasi dari lingkungan kerjanya. Sarah Polaski, wakil direktur ILO bahkan menyatakan bahwa para PRT ini acap kali harus bekerja lebih lama dari jam kerja normal, dan di banyak negara mereka tidak memiliki hak yang sama untuk beristirahat seperti yang didapat oleh pekerja di sektor lain; di samping itu ujarnya, ketergantungan yang tinggi terhadap majikan dan karakter pekerjaan domestik yang tertutup membuat mereka menjadi sangat rawan terhadap eksploitasi dan kekerasan. Lingkungan kerja mereka tersembunyi di balik pintu, karena mereka bekerja untuk individu, rumah tangga dan keluarga, dan bukanlah di lokasi kerja biasa seperti perkantoran, pertokoan atau pabrik-pabrik. Apalagi sebagian besar para PRT ini adalah pekerja migran dimana mereka asing dengan budaya dan bahasa lokal tempat mereka bekerja. Tidak berlebihan akhirnya jika kita katakan bahwa 40 juta kaum perempuan ini sangat rentan terhadap kekerasan fisik dan seksual bahkan pembunuhan; sudah banyak cerita tentang berbagai kekerasan yang dialami para PRT migran ini – dipukuli sampai mati, dibakar dengan setrika panas, diperkosa, dikurung, dan lain sebagainya. Untuk kasus Indonesia saja, setiap tahun jumlah kekerasan dan kematian TKW di luar negeri semakin meningkat, data dari Migrant Care Indonesia menyebutkan kasus kekerasan mencapai angka 5.314 orang, di tahun 2009, sedangkan tahun 2010 kasus kematian mencapai angka 1.075 orang.

Sebagian besar orang mungkin akan bertanya dan heran apa penyebab lonjakan angka sebesar ini, kenapa puluhan juta perempuan tetap mau bekerja menjadi PRT dan bahkan bermigrasi ribuan kilometer hanya untuk profesi yang beresiko ini? Jawabannya tidak lain adalah faktor kemiskinan dan kesenjangan global. Kemiskinan dan rendahnya kesejahteraan di negerinya telah memaksa jutaan perempuan ini meninggalkan rumah dan anak-anak mereka demi sesuap nasi, dan kebanyakan mereka berasal dari kawasan negara-negara dunia ketiga yakni yang terbesar 21,4 juta jiwa dari Asia Pasifik, lalu berikutnya dari Amerika Latin dan Karibia sebesar 19,6 juta jiwa. Ya tidak salah lagi, kesenjangan global dan kemiskinan lah penyebab fenomena mengglobalnya industri pekerja rumah tangga di dunia saat ini. Penerapan Kapitalisme global di negeri-negeri muslim dan seluruh dunia dengan prinsip pasar bebas –  laissez faire-laissez passer –  dan model keuangan berbasis riba-nya yang menyebabkan kekayaan hanya terkonsentrasi pada kalangan elit sehingga telah menyebarluaskan derita kemiskinan di dunia Islam dan negara-negara dunia ketiga dimana kondisi berikutnya kemudian melahirkan eksploitasi transnasional pekerja migran domestik secara massal.

 

Eksploitasi Kaum Lemah Dalam Kapitalisme

Penerapan ideologi Kapitalisme telah menciptakan jurang kesenjangan global di antara negara maju dan negara berkembang terutama di dunia Islam dan menyebarluaskan kemiskinan di kalangan umat Islam. Lapangan kerja yang minim bagi kaum laki-laki, melambungnya harga kebutuhan pokok, dan tingginya biaya hidup di dalam negeri membuat jutaan perempuan tak punya pilihan lain selain bekerja menyambung hidup menjadi PRT di negeri orang. Ditambah cara pandang Kapitalis telah membuat kaum perempuan lebih diminati karena mereka adalah tenaga kerja tekun dan murah untuk jenis pekerjaan domestik, tanpa mempertimbangkan bahwa perempuan termasuk kalangan rentan (vulnerable people) yang berpotensi mengalami resiko kekerasan fisik maupun seksual lebih besar dari pada masyarakat umum lainnya. Apalagi perempuan acap kali hanya dilihat oleh para kuasa modal sebagai objek seksualitas dan mesin pencetak uang, dan ini semakin mendorong kejahatan eksploitasi ekonomi terhadap kaum perempuan.

Nilai-nilai dasar Kapitalisme memang berkontribusi besar membangun cara pandang yang eksploitatif pada kaum miskin dan lemah.  Kapitalisme dengan prinsip dasarnya – sekulerisme, pragmatisme dan hedonisme – serta adanya prinsip ekonomi yakni kebebasan kepemilikan; sangat berperan membentuk masyarakat yang egois dan eksploitatif. Setiap anggota masyarakat akan selalu menghitung ‘harga’ dan ‘keuntungan’ dari setiap hubungan sosial dan praktek-praktek kehidupan yang mereka jalani, mengalahkan semua nilai yang lain, apakah itu nilai kemanusiaan, moral maupun spiritual.

Maka tak heran, sistem nilai ini pun sangat mempengaruhi cara pandang masyarakat di setiap level, dari tingkat individu hingga negara.  Bisa kita lihat dari mindset pekerja wanita yang tidak ragu mengorbankan peran utama mereka sebagai ibu dari anak-anak mereka hanya demi pekerjaan meski beresiko nyawa, dan kita pun bisa menyaksikan diktatorisme kalangan majikan (pemilik modal/ pekerjaan) terhadap para pekerjanya dengan upah minimum tanpa memperhatikan dampak pada pekerja, juga tertangkap jelas bagaimana perusahaan perekrut yang mengatur bisnis ini sedemikian rupa dengan mencari keuntungan dari derita kemanusiaan, dan terakhir yang paling menyedihkan adalah pemerintah di seluruh dunia Muslim yang inkompeten menyejahterakan rakyatnya di dalam negeri sekaligus tidak peduli tentang hak-hak pekerja yang mereka kirim ke luar negeri layaknya komoditas demi sekedar angka remitansi ekonomi – kekhawatiran mereka hanya kepentingan nasional, dampak dari konsep nasionalisme yang korosif. Walhasil kaum perempuan ini menjadi korban dari dua keadaan sekaligus, yakni :

(1)     Politik perburuhan Kapitalisme yang zhalim

(2)     Absennya peran negara dalam melindungi hak-hak mereka sebagai pekerja sekaligus sebagai warga negara

 

Kondisi yang pertama, yakni perempuan sebagai korban dari politik perburuhan Kapitalisme, ditunjukkan dari pola eksploitasi yang tidak jauh dari 3 bentuk ini  : (1) Jam kerja yang sangat panjang, nyaris tanpa waktu istirahat yang cukup, (2) Gaji yang rendah dan sering tidak dibayarkan tepat pada waktunya, dan (3) Tindakan sewenang-wenang dari para majikan yang memperlakukan mereka secara kasar baik fisik maupun seksual. Semua persoalan ini sebenarnya berpangkal pada problem perburuhan yang selalu dihadapi oleh negara-negara yang menerapkan Kapitalisme. Sejak permulaan, kebijakan dan paradigma perburuhan Kapitalis telah menciptakan hubungan yang asimetrik antara pekerja dan majikannya. Pekerja dan majikan ditempatkan dalam strata/ kelas yang berbeda yang cenderung mendiskriminasikan pekerja karena posisi tawar mereka yang rendah, sementara majikan memiliki posisi tawar yang lebih kuat karena mereka memiliki modal. Selain itu, Kapitalisme juga telah menjadikan living cost sebagai standar kelayakan bagi upah pekerja. Politik buruh murah di mana ide “upah minimum” didasarkan adalah hasil dari cacatnya metode penentuan upah ala Kapitalisme. Dengan kata lain, para pekerja tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu sekadar untuk mempertahankan hidup mereka. Jadi, masalah perburuhan yang terjadi sebenarnya dipicu oleh dasar yang digunakan oleh sistem Kapitalisme, yaitu kebebasan kepemilikan dan living cost terendah yang dijadikan sebagai standar penentuan gaji pekerja. Karena itu, masalah perburuhan ini akan selalu ada selama relasi antara pekerja dan majikan dibangun berdasarkan sistem ini.

Sementara untuk kondisi yang kedua, yakni absennya peran negara –khususnya negeri-negeri Muslim – dalam melindungi hak-hak pekerja dan warganya justru inilah sebenarnya yang menjadi sebab primer terjadinya eksploitasi terhadap jutaan perempuan sebagai pekerja domestik; akibat abainya mereka dalam dua hal yakni (1) menjamin kesejahteraan rakyatnya di dalam negeri dan (2) memberi jaminan perlindungan terhadap mereka yang bekerja di luar negeri. Para pemimpin boneka ini terbukti inkompeten menyelesaikan kemiskinan di negerinya dan menyediakan lapangan kerja yang layak bagi rakyatnya. Mereka juga nyaris selalu terbukti gagal menyelesaikan problem negerinya yang dipenuhi dengan persoalan korupsi, ketergantungan terhadap Barat dan utang luar negeri, dan ketidakmampuan mengelola SDA. Pemimpin negara-negara ini juga jauh lebih peduli pada kepentingan ekonomi nasional mereka dengan menjadikan warga negaranya sendiri sebagai komoditas untuk melayani permintaan tenaga kerja domestik di luar negeri, tanpa upaya serius menjamin perlindungan hukum bagi hak-hak rakyatnya sebagai pekerja di luar negeri. Negeri-negeri Muslim juga telah terperangkap oleh ide nasionalisme korosif yang telah mendehumanisasi mereka yang bukan dari bangsanya dan melestarikan kondisi kemiskinan di negeri-negeri Muslim, ide ini jelas telah berkontribusi dalam kekerasan yang menimpa para PRT. Walhasil kondisi ini adalah penyebab utama yang membuat puluhan juta perempuan mengalami banyak penderitaan akibat eksploitasi sebagai PRT.

Dua kondisi ini, yakni zhalimnya politik perburuhan Kapitalisme dan absennya peran negara, meniscayakan berbagai upaya dan inisiatif global untuk menyelesaikan problem ini selalu menemui jalan buntu. Dua keadaan tadi telah membentuk sistem yang kuat dan mengakar sehingga berbagai upaya di semua level seperti revisi UU perburuhan, perjanjian antara negara pengirim dan penerima PRT, dan pembentukan serikat pekerja selalu gagal dan tidak pernah menyentuh akar persoalan sebenarnya. Termasuk inisiatif ILO melalui konvensi tentang pekerja domestik no. 189 tahun 2011 yang mengatur aspek kelayakan pekerjaan bagi PRT di seluruh dunia, jelas terlihat konvensi ini menghadapi tantangan yang begitu berat dari tata dunia yang multipolar karena sejauh ini baru sekitar 4 negara di dunia yang bersedia meratifikasinya, padahal problem pekerja domestik ini melanda setidaknya di 117 negara berdasarkan survei ILO. Inisiatif global ini jelas tidak akan membuahkan hasil karena kebanyakan negara tentu akan selalu mengedepankan kepentingan ekonomi nasionalnya melebihi hak-hak pekerja domestik. Selama ideologi Kapitalis, sistem nilai dan prinsip-prinsip ekonominya terus berlaku diterapkan di negara-negara ini, maka semua upaya ini nyaris tiada artinya karena tidak akan mampu mengimbangi derasnya arus ekonomi global Kapitalisme yang diadopsi oleh ratusan negara hari ini.

Politik Perburuhan di Dalam Islam

Islam berbeda secara diametral dengan ideologi Kapitalisme, bahkan berlawanan dan bertentangan. Karena itulah Islam sebagai ideologi menentang keras nilai-nilai materialisme, hedonisme yang  berasal dari pandangan hidup Kapitalisme. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang dibangun berdasarkan ideologi Islam yang memiliki fokus utama pada misi penciptaan dan pelaksanaan hukum-hukum Allah, sebagaimana firman Allah SWT :

 

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku.“ (QS. Al-Dzariyyat:56).

 

Berbeda 180 derajat dengan Kapitalisme, Islam membangun masyarakatnya dengan landasan Aqidah Tauhid, konsep kehidupannya berjalan untuk menaati perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya, dan makna kebahagiaannya adalah Ridho Allah SWT. Sistem nilai Islam menciptakan identitas khas dalam masyarakatnya, yang memandang kemuliaan manusia itu dari ketaqwaannya bukanlah dari materi ataupun atribut fisik lainnya. Nilai-nilai hidup Islam tidak akan pernah menempatkan materi di atas moralitas, atau uang di atas harkat manusia, meski mereka miskin sekalipun. Hal ini juga akan mematahkan gambaran kepribadian materialistik yang fokus hanya pada uang dan materi tanpa peduli konsekuensinya pada orang lain apalagi masyarakat, sehingga akan meminimalisir eksploitasi dan kezhaliman terhadap orang lain.

Sistem nilai Islam akan memberi warna yang khas pada masyarakatnya di semua level, dan warna ini akan terlihat dari bagaimana Islam menumbuhkan mentalitas tanggung jawab kaum perempuan sebagai ibu dari anak-anak dengan memberi mereka pemahaman bahwa itulah letak kemuliaan terbesar kaum perempuan, hingga mereka tidak akan dengan mudahnya meninggalkan keluarga dan anak-anak mereka. Begitu pun kita bisa melihat nilai dan hukum-hukum Islam membuat dunia bisnis berjalan dalam jalur prinsip halal dan haram tanpa mengambil keuntungan dari penderitaan orang lain. Dan negara pun akan fokus membangun sistem yang menempatkan prioritas utamanya untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya, menciptakan kesejahteraan dan membangun kemuliaan peradaban masyarakat berdasarkan Aqidah dan Syariah Islam. Optimalnya tanggung jawab negara ini hanya akan terwujud dalam sebuah sistem pemerintahan ideologis bagi umat Islam, yakni sistem Khilafah yang memiliki visi politik untuk mengimplementasikan SELURUH prinsip-prinsip dan hukum Islam pada masyarakat.

Dalam konteks ketenagakerjaan, Islam memiliki sentuhan khas yang tidak dimiliki oleh ideologi manapun di dunia ini. Dengan prinsip-prinsip yang dimilikinya, menjadikan Islam tidak pernah memiliki apalagi dihantui oleh problem perburuhan. Beberapa prinsip terpenting politik perburuhan di dalam Islam yang mampu menjawab persoalan eksploitasi pekerja domestik ini, antara lain :

  1. Hubungan setara yang unik antara pengusaha dan pekerja
  2. Pekerjaan yang ditransaksikan hanyalah pekerjaan yang halal
  3. Tidak ada stratifikasi pekerja dalam Islam
  4. Penentuan Upah yang adil

 

Prinsip pertama politik perburuhan/ ketenagakerjaan dalam Islam tercermin dari komposisi masyarakat  Islam yang tidak pernah terpecah dalam dua kelas, yaitu kelas pekerja dan kelas pengusaha, kelas proletar dan kelas borjuis, patron dengan klien, dan lain-lain. Tidak. Islam tidak mengenal itu semua. Yang justru terbangun adalah hubungan setara yang unik di antara pihak pekerja dan majikan, yakni rasa tanggung jawab untuk saling menjaga hak dan kewajiban masing-masing seperti yang diperintahkan Islam. Menurut pandangan Islam kemitraan antara majikan dengan pekerja adalah hubungan kemitraan yang harusnya saling menguntungkan. Tidak boleh satu pihak menzalimi dan merasa dizalimi oleh pihak lainnya. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, Allah SWT. berfirman:

 “Tiga orang yang Aku musuhi pada hari kiamat nanti adalah orang yang telah memberikan (baiat kepada khalifah) karena Aku, lalu berkhianat; orang yang menjual (sebagai budak) orang yang merdeka, lalu dia memakan harga (hasil) penjualannya; serta orang yang mengontrak pekerja, kemudian pekerja tersebut menunaikan pekerjaannya, sedangkan orang itu tidak memberikan upahnya” (HR Ahmad, Bukhari, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Agar hubungan kemitraan tersebut dapat berjalan dengan baik dan semua pihak yang terlibat saling diuntungkan, maka Islam mengaturnya secara jelas dan terperinci dengan hukum-hukum yang berhubungan dengan ijaratul ajir (kontrak kerja). Islam menegaskan bahwa transaksi ijarah yang masih kabur poin-poin kesepakatannya adalah transaksi yang fasad (rusak), oleh karena itu dalam transaksi ijarah, hal-hal berikut harus jelas ketentuannya secara rinci yakni yang menyangkut: (a) bentuk dan jenis pekerjaan, (b) masa kerja; (c) upah kerja; serta (d) tenaga yang dicurahkan saat bekerja. Dengan jelas dan terperincinya ketentuan-ketentuan dalam transaksi ijaratul ajir tersebut, maka diharapkan setiap pihak dapat memahami hak dan kewajiban mereka masing-masing, hal ini akan mampu mencegah zhalimnya majikan mempekerjakan pekerja di luar jam kerjanya seperti kasus pekerja domestik ini.

Prinsip kedua bahwa pekerjaan yang ditransaksikan hanyalah pekerjaan yang halal,  karena Islam tidak mengenal konsep kebebasan bekerja yang membebaskan manusia untuk bisa melakukan pekerjaan apapun, tanpa melihat apakah pekerjaan tersebut halal atau haram. Karena itu jenis pekerjaan yang boleh ditransaksikan hanyalah yang dibenarkan oleh Islam.

Prinsip ketiga Islam tidak pernah membuat strata/ kelas antara pekerja terhormat dengan pekerja kasar. Sebab, dalam Islam seluruhnya disebut dengan ajir (pekerja/pekerja/karyawan). Baik ajir itu dari kalangan terpelajar dan terhormat, seperti konsultan, dosen, editor, maupun jurnalis ataupun ajir yang mengeluarkan tenaga fisik dan tidak terdidik, seperti pembantu rumah tangga dan pekerja pabrik. Sebagaimana yang disebutkan dalam draft konstitusi Khilafah yang disusun oleh partai politik Islam, Hizbut Tahrir, pasal 154 :

“Pegawai yang bekerja pada seseorang atau perusahaan, kedudukannya sama seperti pegawai pemerintah -ditinjau dari hak dan kewajibannya-. Setiap orang yang bekerja dengan upah adalah karyawan/pegawai, sekalipun berbeda jenis pekerjaannya atau pihak yang bekerja. Apabila terjadi perselisihan antara karyawan dengan majikan mengenai upah, maka ditetapkan upah yang sesuai dengan standar kebiasaan masyarakat. Apabila perselisihannya bukan menyangkut upah, maka kontrak kerja (dijadikan patokan dan) disesuaikan dengan hukum-hukum syara’.”

 

Prinsip keempat yakni penentuan upah yang adil, Islam memiliki metode yang khas dalam masalah ini karena standar yang digunakan oleh Islam adalah manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan oleh pekerja di pasar, bukan living cost terendah. Karena itu tidak akan terjadi eksploitasi pekerja oleh para majikan, sang majikan akan tunduk pada aturan Islam untuk memberikan upah yang layak dan membayarnya tepat waktu sesuai perjanjian. Jika terjadi sengketa antara pekerja dan majikan dalam menentukan upah, maka pakar (khubara’)-lah yang menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.

Sementara apa yang sering dituntut oleh pekerja saat ini terkait jaminan kesehatan, pendidikan, berbagai tunjangan hari tua, imbalan pensiun dan lainnya, semua itu tidak dimasukkan dalam transaksi ijarah, sebab definisi ijarah itu hanya berkait dengan manfaat yang diberikan oleh ajir, serta dihargakan dengan upah yang disepakati oleh dua belah pihak, tidak lebih. Tanggung jawab ini sesungguhnya tidak dibebankan kepada para majikan, tetapi kepada negara. Adapun berbagai tuntutan tunjangan yang terus terjadi hari ini sebenarnya hanya terjadi pada sistem Kapitalis di mana negaranya berlepas tangan dalam menjamin kebutuhan pokok serta kesejahteraan rakyatnya.

Khilafah Melindungi Perempuan dan Kaum Lemah

Bertolak belakang dengan sistem Kapitalis yang meminimalisir peran negara dan mengutamakan peran pasar, Islam justru sebaliknya. Sesuai dengan sabda Nabi (saw), “Imam adalah penggembala (ro’in), dan ia bertanggung jawab untuk orang-orang yang digembalakannya”. Peran negara sangatlah vital di dalam Islam, tugas utamanya adalah melayani dan mengurusi kebutuhan rakyat, melindungi kaum lemah dan mencegah terjadinya kezhaliman. Prinsip mendasar ini meniscayakan bahwa Khilafah tidak akan pernah menghadapi problem perburuhan apalagi problem perburuhan migran yang mengorbankan jutaan kaum perempuan. Karena Khilafah adalah negara yang menerapkan sistem ekonomi yang sehat yang menolak model keuangan cacat Kapitalis yang berbasis bunga, melarang penimbunan kekayaan atau privatisasi sumber daya alam dan melarang asing berinvestasi besar dalam pembangunan infrastruktur, pertanian, industri dan teknologi. Pondasi kebijakannya diarahkan untuk mengupayakan distribusi kekayaan yang efektif dalam menjamin kebutuhan pokok semua warga negaranya, di saat yang sama juga meletakkan produktivitas ekonomi yang sehat untuk mengatasi pengangguran massal dan memungkinkan individu untuk mendapat kemewahan.

Khilafah dengan visi politiknya yang lurus akan mampu mengatasi berbagai persoalan perburuhan dengan langkah-langkah sistemik dan antisipatif, yang fokus dengan tanggung jawab terhadap rakyat, seperti yang diulas sebagai berikut :

  1. Khilafah melindungi kaum perempuan dan kaum lemah. Islam adalah ideologi yang sangat fokus pada perlindungan kaum lemah, Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya, dan siapa saja yang, meninggalkan ‘kalla’, maka dia menjadi kewajiban kami.” (HR. Imam Muslim); yang dimaksud kalla adalah orang yang lemah, tidak mempunyai anak, dan tidak mempunyai orang tua. Begitu juga dalam pasal 156 draft konstitusi Khilafah yang berbunyi : “Negara menjamin biaya hidup bagi orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan, atau tidak ada orang yang wajib menanggung nafkahnya. Negara berkewajiban menampung orang lanjut usia dan orang-orang cacat.” Selain itu kaum perempuan di dalam Islam juga harus dipandang sebagai kehormatan yang wajib dijaga, diperlakukan layaknya sebagai manusia yang bermartabat dan BUKAN dipandang hanya sebagai pekerja murah rendahan. Islam menggariskan bahwa perempuan harus selalu dijamin nafkahnya oleh kerabat laki-laki mereka, dan jika mereka tidak memiliki kerabat laki-laki maka negara yang akan menjamin kebutuhan finansialnya, seperti firman Allah SWT : “Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seorang tidak dibebani selain menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan ahli waris pun berkewajiban demikian…” (QS al-Baqarah [2]:233).
  2. Khilafah menempatkan basis utama kebijakan ekonominya untuk pemenuhan kebutuhan hidup rakyat. Khilafah akan menjalankan apa yang disebut dengan Politik Ekonomi Islam, yakni penerapan berbagai kebijakan yang menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) tiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan yang mereka. Dalam kitab Al-Amwaal karangan Abu Ubaidah, diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khathab pernah berkata kepada pegawainya yang bertugas membagikan shadaqah: “Jika kamu memberikan, maka cukupkanlah”, selanjutnya berkata lagi: “Berilah mereka itu sedekah berulang kali sekalipun salah seorang di antara mereka memiliki seratus unta”. Masya Allah beliau menerapkan politik ekonomi yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyat. Beliau mengawinkan kaum Muslim yang tidak mampu; membayar hutang-hutang mereka, dan memberikan biaya kepada para petani agar mereka menanami tanahnya.
  3. Khilafah bertanggung jawab mencegah kezhaliman dalam segala bentuknya. Khusus dalam bidang ketenagakerjaan, maka Islam memberlakukan hukum-hukum yang tegas kepada siapa saja yang melakukan kezaliman, baik itu pengusaha maupun pekerja. Termasuk menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi para pekerja ini juga merupakan tanggung jawab negara. Hukum-hukum itu diberlakukan agar tidak boleh ada kezaliman satu pihak terhadap pihak lainnya. Di sinilah letak keadilan Islam, yang tidak berpihak kepada para pekerja saja, melainkan juga terhadap para majikan. Negara wajib mengatasi dan menyingkirkan bentuk dan tindakan zalim, baik yang dilakukan oleh majikan terhadap pekerja atau sebaliknya. Membiarkan kezaliman berlangsung adalah perbuatan dosa dan maksiat, dan ini diharamkan oleh Allah Swt. Apabila negara membiarkan kezaliman berlangsung, maka seluruh rakyat (kaum Muslim) harus melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mengkritik penguasa, dan meluruskannya. Jadi, bukan kewajiban para pekerja semata, akan tetapi sudah menjadi kewajiban seluruh rakyat (kaum Muslim) menyingkirkan kezaliman. Jika rakyat tidak mampu meluruskan penguasanya, persoalan ini dilimpahkan kepada mahkamah mazhalim. Keputusan mahkamah mazhalim wajib dijalankan, sehingga pembangkangan penguasa atas keputusan ini membolehkan kaum Muslim memaksa penguasa tersebut tunduk pada keputusan mahkamah mazhalim, meski dengan fisik/senjata.

 

Dengan demikian, Khilafah akan memberikan sebuah jaminan nafkah yang menyeluruh bagi kaum lemah, termasuk kaum perempuan; termasuk juga memberikan perlindungan penuh bagi seluruh rakyat dari eksploitasi dan kezhaliman. Jutaan perempuan dan kaum lemah hari ini yang menghadapi eksploitasi ekonomi di seluruh dunia Muslim akan memiliki kisah yang sama sekali berbeda di bawah naungan sistem Khilafah yang sangat kredibel dan telah teruji oleh waktu dalam menangani kemiskinan, melindungi kaum lemah sekaligus tetap menjaga kehormatan perempuan.

 

Fika M. Komara, M.Si

Member of Central Media Office, Hizb ut Tahrir

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*