Islam Mengharamkan Kontrasepsi Steril
Beberapa waktu yang lalu, Bupati Mukomuko, Propinsi Bengkulu menganjurkan kepada para camat dan kepala desa untuk memberi teladan kepada rakyat dalam ber-KB dengan melakukan kontrasepsi steril. “Kalau camat dan kepala desa memilih kontrasepsi steril, bertahap warganya juga akan ikut karena dari pengalaman menggunakan steril itu dapat diceritakan kepada yang lain,” demikian kilah Sang Bupati. Ia yakin, siapa saja yang melakukan kontrasespsi itu dapat merasakan manfaatnya, tidak hanya kebutuhan biologis saja yang terpenuhi, tetapi kualitas dan kesejahteraan ekonomi keluarga juga lebih meningkat (Republika.co.id, 02/03/2013).
Seorang muslim, saat hendak melakukan sebuah perbuatan, diwajibkan untuk mencari terlebih dahulu hukum perbuatan tersebut dalam pandangan Allah, Sang Pembuat Syari’at. Ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh, al ashlu fii al af’al taqayyudu bihukmi asy-syar’iy, yakni hukum asal dari perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’. Termasuk dalam melakukan KB, harus dipahami mana yang boleh dan mana yang agama mengharamkannya.
Hukum KB dalam Islam
Islam adalah Ad- Diin yang sempurna, sebagaimana fiman Allah dalam Surat Al Maidah [5] :3 :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“ hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu dan Aku cukupkan nikmatKu untukmu dan Aku ridhoi Islam menjadi Diinmu.”
Sebagai agama yang sempurna, Islam telah mengatur segala sesuatu dalam kehidupan manusia untuk menyelesaikan semua permasalahan yang muncul dengan aturan terbaik. Tidak terkecuali lslam memiliki aturan tentang KB. Sebagai orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, kita wajib meyakini bahwa syariat Islam diturunkan oleh Allah ta’ala untuk kebaikan dan kebahagiaan hidup manusia. Karena Allah Ta’ala mensyariatkan agama-Nya dengan ilmu-Nya yang Maha Tinggi dan hikmah-Nya yang Maha Sempurna, maka jadilah syariat Islam satu-satunya pedoman hidup yang bisa mendatangkan kebahagiaan hakiki bagi semua orang yang menjalankannya dengan baik.
Dalam hal KB yang dilakukan oleh individu dalam realitanya ada 2 macam, yaitu yang bersifat sementara dan bersifat permanen.
KB yang bersifat sementara, yaitu tanzhimu nasl (mencegah kehamilan yang bersifat sementara). KB yang bersifat sementara adalah menggunakan berbagai alat dan sarana yang diperkirakan bisa menghalangi seorang perempuan dari kehamilan, seperti: al-’Azl (menumpahkan sperma laki-laki di luar vagina), mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan, memasang penghalang dalam vagina, menghindari hubungan suami istri ketika masa subur, dan yang semisalnya. KB dengan metode seperti ini diperbolehkan oleh Islam.
Kebolehan mengenai hal ini disandarkan kepada hadits tentang kebolehan melakukan azl. Azl boleh dilakukan seorang suami dengan berbagai tujuan, seperti agar tidak terjadi kelahiran anak, supaya anaknya sedikit, karena kasihan kepada istrinya yang lemah akibat hamil dan melahirkan, agar tidak terlalu memberatkan istri, atau dengan maksud-maksud yang lainnya. Kebolehan ini didasarkan pada sejumlah dalil yang menunjukkan kebolehannya secara mutlak, tidak terikat dengan kondisi apapun serta bersifat umum . Dalil tersebut tidak ditaqyid (artinya tidak diikat dengan persyaratan) dan tidak ditakhshis (tidak ada dalil yang mengkhususkannya) dengan dalil-dalil syar’i yang lain. Sehingga dalil-dalil tersebut tetap dalam keumuman dan kemutlakannya. Hanya saja Syara’ telah mensyaratkan bahwa metode itu tidak menimbulkan mudharat baik bagi suami maupun istri . (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i fi Al-Islam, hal. 148).
Dalil-dalil terkait dengan hukum KB ini diantaranya apa yang diriwayatkan oleh Jabir ra :
“Kami pernah melakukan ‘azal sedangkan Al-Qur’an masih turun (yakni dimasa Nabi Shallallahu ‘alihi wa sallam)” [Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud 1/320 ; Nasa’i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162, Baihaqi 781, Abu Nu’aim dalam Al-hilyah 3/61-62]
Seandainya perbuatan itu haram pasti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya dan tidak mendiamkan sahabat melakukannya..
Hadits yang lain berasal dari Jabir sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud :
Seorang dari kalangan Anshar pernah datang menjumpai Rasullulah SAW , ia lantas berkata kepada beliau,” Sesungguhnya saya memiliki seorang hamba sahaya wanita. Saya sering menggaulinya, sementara saya tidak suka kalau sampai dia hamil”. Rasullulah SAW kemudian bersabda, “Lakukan saja ‘azl terhadapnya jika engkau mau. Sebab, sesungguhnya akan terjadi pula apa yang memang telah ditakdirkan oleh Allah baginya.”
Dalil-dalil tentang kebolehan melakukan ‘azl di atas relevan dengan tujuan pemakaian alat kontrasepsi, yaitu hukum menyangkut kebolehan seorang suami untuk melakukan upaya pencegahan kehamilan. Dalam hal ini, apa yang telah diperbolehkan bagi seorang suami adalah berlaku juga bagi istrinya, karena hukumnya terkait dengan kebolehan mencegah kehamilan dengan menggunakan sarana atau alat apa saja.
Sedangkan pembatasan kelahiran yang bersifat permanen yang menghentikan kelahiran selamanya seperti pengebirian adalah haram karena bertentangan dengan syariat. Artinya , penggunaan alat-alat kontrasepsi atau operasi medis yang bertujuan untuk mencegah sekaligus untuk menghentikan keturunan (pemandulan) adalah tergolong perbuatan yang diharamkan, yang wajib dijauhi oleh seluruh kaum muslimin.
Vasektomi adalah memutus atau mengikat saluran sperma pada pria, sehingga tidak mampu lagi untuk melakukan proses pembuahan sel telur wanita. Sedangkan tubektomi adalah memutus atau mengikat saluran telur wanita sehingga tidak lagi menghasilkan telur untuk dibuahi. Kedua cara KB ini termasuk dalam tindakan pengebirian yang diharamkan. Sebagian orang berpendapat kalau saluran sperma atau telur tidak diputus, hanya diikat maka tidak termasuk pengebirian karena dapat dibuka kembali. Namun pada faktanya, pembukaan saluran yang telah diikat peluang keberhasilannya untuk kembali subur hanya 20 persen. Peluang yang sangat kecil ini menjadikan status hukumnya sama dengan pengebirian permanen.
Pengharaman pengebirian adalah karena Islam telah menjadikan berketurunan dan melestarikan keturunan sebagai prinsip dasar diadakannya pernikahan. Dalam QS. An Nahl [16]: 72, Allah memaparkan tujuan diadakannya pernikahan pada manusia:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُم مِّنْ أَزْوَاجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ
“Allah menjadikan bagimu istri-istri dari jenismu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istrimu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik.”
Dan juga telah ada larangan tegas terkait pengebirian ini dalam hadits:
Rasulullah SAW telah melarang Utsman ibn Mazh’un untuk hidup membujang (tabatul). Seandainya saja hal itu diizinkan, niscaya kami akan melakukan pengebirian (al-ikhtisha`)
Dalam hadis lain, Dari Ma’qil bin Yassar radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Seorang lelaki pernah datang (menemui) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Sesungguhnya aku mendapatkan seorang perempuan yang memiliki kecantikan dan (berasal dari) keturunan yang terhormat, akan tetapi dia tidak bisa punya anak (mandul), apakah aku (boleh) menikahinya? “ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak (boleh)”, kemudian lelaki itu datang (dan bertanya lagi) untuk kedua kalinya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali melarangnya, kemudian lelaki itu datang (dan bertanya lagi) untuk ketiga kalinya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Nikahilah perempuan yang penyayang dan subur (banyak anak), karena sesungguhnya aku akan membanggakan (banyaknya jumlah kalian) dihadapan umat-umat lain (pada hari kiamat nanti).”
Inilah hukum KB dalam pandangan Islam. Sekalipun mubah bagi pasangan suami-istri untuk melakukan KB, namun di satu sisi, perlu menjaga kelurusan iman kita kepada takdir Allah dan berusaha untuk meraih sebanyak-banyaknya pahala dari-Nya. (Arini, LTs)
subhanallah Allah memang Maha tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya.
saya mau tanya, ada seorang ibu, melakukan tubektomi dengan alasan karena punya penyakit wasir, menurut dokter dia hanya bisa punya anak 3 saja, karena jk lbih akan mempengaruhi penyakitnya, bagaimana hukumnya?