“Kita telah mengalami hidup yang panjang dan menyakitkan akibat pertumpahan darah dan kekacauan selama 10 tahun belakangan,” kata Abu Ali, beberapa hari sebelum peringatan 10 tahun serbuan pimpinan AS ke negerinya.
“Janji Amerika bagi hidup yang lebih baik tak lebih dari sekedar khayalan belaka,” kata pria Irak itu, saat berbincang dengan temannya di satu kedai kopi di Kabupaten Mansour, Baghdad barat.
Satu dasawarsa setelah pasukan koalisi pimpinan AS menyeru Irak dan menggulingkan presiden Saddam Hussein, banyak orang Irak mengatakan mereka tak melihat demokrasi dan hidup yang lebih baik sebagaimana dijanjikan. Buat mereka, kemajuan dalam pembangunan kembali negeri mereka, yang diporak-porandakan perang, telah berjalan sangat lambat dan Iran yang stabil serta makmur masih jauh dari jangkauan.
“Bagaimana bisa seseorang di dunia membayangkan pemerintah dapat membangun kembali negeri ini, ketika mereka menghabiskan miliaran dolar dan memperoleh hasil yang bernilai hanya beberapa juta,” kata Abu Taha, salah seorang teman Abu Ali, di kedai kopi tersebut.
“Korupsi. Ini lah penyakit utama di Irak sekarang ini,” kata lelaki itu setelah menghirup tegukan terakhir tehnya, sebagaimana dikutip Xinhua –yang dipantau ANTARA di Jakarta, Selasa pagi.
Namun seorang pria lain di meja tersebut, Abu Ahmed, mengatakan Irak telah menikmati sangat banyak kebebasan dan demokrasi selama 10 tahun belakangan, meskipun ada laporan luas mengenai pelanggaran hak asasi manusia di negeri itu.
“Menurut pendapat saya, kita telah menyaksikan kebebasan yang lebih besar dan sedikit demokrasi setelah 2003, tapi negeri ini tetap terperangkap di dalam lingkaran mengerikan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk serangan terhadap warga sipil, penyiksaan tahanan dan pengadilan yang tidak adil,” kata Abu Ahmed.
Tapi Abu Ali menyelak perkataan temannya, “Berikan saya keadilan dan keamanan, dan ambil lah demokrasi kamu.”
“Sebenarnya buat saya, saya tak mengharapkan yang lebih baik dari itu, sebab sejak awal saya selalu mengatakan hidup yang lebih baik ialah apa yang kita ciptakan buat diri kita, bukan menunggu orang asing membawanya ke sini,” kata Abu Ali.
Meskipun sebagian kehidupan telah bangkit di berbagai kota besar Irak 10 tahun setelah perang, Ammar Hussein, insinyur yang berusia 48 tahun, mengatakan kepada Xinhua ia merasa kecewa dengan segelintir hasil dalam pembangunan kembali dibandingkan dengan banyaknya uang yang telah dikeluarkan pemerintah sejak 2003.
“Saya benar-benar kecewa bahwa pemerintah pasca-serbuan menghabiskan lebih dari 600 miliar dolar melalui anggaran tahunan sejak 2003 untuk membangun kembali negeri ini, tapi kami hanya memperoleh segelintir hasil,” kata Hussein.
Seperti Hussein, banyak orang Irak telah dengan tegas mengecam pemerintah mereka dan sebagian dari mereka seringkali turun ke jalan guna menuntut layanan masyarakat yang lebih baik dan memprotes korupsi yang tersebar luas, pengangguran yang tinggi dan kenaikan tajam harga makanan pokok.
Pada pertengahan 2012, satu komite Irak menyatakan pemerintah gagal memperbaiki pasokan listrik di negeri itu meskipun pemerintah telah mengeluarkan sebanyak 27 miliar dolar AS pada sektor listrik sejak 2003.
“Kami masih menghadapi kekurangan listrik secara akut. Musim panas akan segera tiba, dan kami biasanya menyaksikan pemadaman barangkali lebih dari 10 jam per hai,” kata Hussein. [] (sumber; Antaranews.com)