Satu Dekade Invasi AS ke Irak, Demokrasi Yang Dijejalkan Menunjukkan Watak Aslinya

Sepuluh tahun setelah invasi AS ke Irak, pemerintah di Baghdad menggunakan demokrasi hanya untuk membuat diri mereka lebih kaya dan lebih kuat. Banyak orang Irak mengeluh bahwa setelah satu dekade pembangunan, mereka masih kekurangan pelayanan publik dasar seperti listrik dan pasokan air yang memuaskan.

Tetapi sebagaian yang lain mengatakan jalan panjang pemulihan Irak telah menghasilkan tanda-tanda kebangkitan ekonomi, yang tercermin di mal-mal baru dan showroom mobil mewah.

Ini murni cerminan dari perusahaan Barat yang berusaha mengeruk keuntungan di pasar baru.

Sudah ada investasi besar di sektor minyak sejak jatuhnya Saddam Hussein, dan sekarang Irak adalah produsen terbesar kedua di OPEC (Organisasi Negara Pengekspor Minyak).

Tapi tak satupun dari semua usaha ini membantu umat yang kini mengalami rasa ketidakamanan, menjadi pengangguran, perawatan medis miskin dan melambungnya harga semua barang.

Dan tak satupun usaha ini meningkatkan kehidupan orang-orang biasa.

Setiap dorongan dalam sistem perekonomian ini seperti dibukanya pusat perbelanjaan dan showroom yang menjual mobil mahal hanya mendukung Koperasi internasional yang ingin mengambil alih pasar luar negeri baru dan mengeksploitasi tenaga kerja yang murah yang tersedia di negeri Irak.

Warga setempat Abdul Aziz al-Kubeisi -yang merupakan seorang saksi mata pada hari bersejarah ketika patung Saddam digulingkan- memberikan komentar pedas tentang betapa sedikitnya kemajuan yang telah dicapai sejak invasi.

“Sungguh, tidak ada yang berubah,” katanya. “Semuanya berubah dariyang buruk menjadi lebih buruk lagi.”

Untuk mendukung pandangannya, al-Kubeisi menunjuk ke distrik Baghdad seperti al-Rasul, lingkungan miskin yang jalan-jalannya dipenuhi dengan lubang, dan rumah-rumah dihubungkan dengan kabel listrik kendur yang saling campur aduk.

Bahkan jauh lebih buruk di luar distrik al-Rasul di mana telah bermunculan kota kumuh di atas reruntuhan bekas pangkalan militer.

Banyak penduduk setempat berusaha untuk mencari nafkah sebagai buruh di sebuah tempat pembuangan sampah raksasa yang ada di dekatnya.

Mehdi al-Daraji, seorang ayah dari empat anak, tinggal di sebuah hunian darurat di al-Rasul.

“Sepuluh tahun telah berlalu, dan aku masih belum memiliki rumah yang layak, tidak ada layanan publik, tidak ada listrik, tidak ada air yang mengalir, tidak ada pendidikan bagi anak-anak kami, tidak ada sekolah,” keluhnya.

Al-Daraji percaya bahwa jika perekonomian warisan perang ini tidak menuju ke arah yang positif, mungkin generasi berikutnya, bukan yang satu ini yang bisa melihatnya. (english.alarabiya.net 19/03/13)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*