Tolak SJSN : Komersialisasi Layanan Kesehatan

Oleh : Dr. Arim Nasim, M.Si.,Ak. (LM DPP HTI)

Pada tanggal 1 Januari 2013 pemerintah mengeluarkan   Perpres No. 12 tahun 2013 tentang jaminan kesehatan untuk melengkapi PP 101/2012  tentang Penerima Bantuan Iuran sebagai Implementasi UU SJSN .  Berdasarkan kedua peraturan tersebutpelaksanaan Sistem Jaminan Sosial secara bertahap mulai diberlakukan pada 1 Januari 2014.Ditargetkan pada tahun 2019 seluruh penduduk sudah menjadi peserta SJSN.Kedua aturan tersebut kalau kita perhatikan secara seksama semakin jelas menunjukkan  kejahatan SJSN  yang selama ini menjanjikan  akses pelayanan sosial khususnya masalah kesehatan bagi masyarakat miskin ternyata bohong.  SJSN esensinya adalah privatisasi atau komersialisasi layanan publik dalam bentuk asuransi dengan kedok jaminan social. Sedangkan BPJS adalah turunan atau implementasi dari UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN yang keberadaannya, BPJS ini merupakan institusi independen yang akan mengelola dana jaminan social atau iuran premi asuransi yang di pungut dari rakyat  secara paksa  termasuk dana APBN untuk masyarakat miskin. Dana dari 250 juta rakyat Indonesia itu nanti disetor ke BPJS lalu dikuasakan ke segelintir orang yang namanya wali amanah.

Komersialisasi Layanan Kesehatan : Pesanan Para Kapitalis Asing

Konsep SJSN ini sebenarnya meniru konsep jaminan sosial yang muncul di Eropa .  Saat memasuki Abad 19, sistem kapitalis hampir roboh baik karena kerusakan yang ia timbulkan maupun karena kemunculan ideologi Sosialisme-Marxisme. Beberapa pemikir kapitalis kemudian memunculkan ide sosialisme-negara untuk mengalihkan perhatian publik dari ide Sosialisme-Marxisme.Namun, ide sosialisme-negara itu tidak berhasil.Malah sistem kapitalis justru makin tampak kebangkrutannya.Kemudian muncullah ide tambahan yaitu keadilan sosial, yang intinya negara menjalankan beberapa pelayanan sosial dalam sistem Kapitalisme.Dengan dua ide ini, yaitu sosialisme-negara dan keadilan sosial, sistem Kapitalisme bisa bertahan di Eropa sampai saat ini.Keadilan sosial inilah yang menjadi dasar bagi adanya jaminan sosial.

Keadilan sosial yang dimaksud dalam sistem kapitalis sebenarnya adalah sebuah kezaliman.Keberadaannya hanya memperpanjang umur sistem kapitalis dan menutupi kebusukannya. Keadilan sosial seperti memberikan jaminan pensiun atau jaminan hari tua kepada para pegawai swasta maupun negeri, memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi orang-orang miskin dan pendidikan gratis kepada orang-orang tidak mampuâ sebenarnya bukan keadilan sosial, tetapi justru  kezaliman sosial, karena jaminan tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Kesalahan mendasar dari paradigma Barat tentang jaminan sosial ituadalah :Pertama: Mengalihkan tanggung jawab negara dalam masalah jaminan sosial dalam hal ini jaminan hari tua, jaminan pemenuhan kesehatan dan pendidikan kepada individu atau swasta melalui iuran yang mereka bayar. Karyawan swasta dibayar oleh perusahaan, sementara pegawai negara dibayar oleh pemerintah yang sebagiannya dipungut dari prosentase gaji para pegawai dan karyawan itu sendiri.Kedua: Jaminan tersebut hanya diberikan kepada orang-orang tertentu saja, misalnya pensiunan pegawai negara, karyawan swasta yang mengikuti iuran jaminan sosial atau asuransi dan orang miskin yang teregistrasi untuk mendapat bantuan dari negara. Bagi mereka yang tidak terdaftar atau dianggap bukan orang miskin, jaminan tersebut tidak akan mereka dapatkan.Ketiga: Jaminan tersebut bersifat parsial hanya pada kebutuhan tertentu, misalnya kesehatan. Jadi tidak memberikan jaminan dalam pemenuhan semua kebutuhan pokok individu baik berupa barang (papan, sandang dan pangan) maupun berupa jasa (kesehatan, pendidikan dan keamanan).

Konsep SJSN yang ditetapkan di Indonesia, ini merupakan bagian dari Konsesus Whasington dalam bentuk program SAP (Structural Adjustment Program) yang diimplemetasikan dalam bentuk LoI antara IMF dan Pemerintahan Indonesia untuk mengatasi krisiS .Sebelum membantu negara-negara yang terkena krisis, sesuai dengan isi dari Konsensus Washington, IMF menyarankan negara-negara tersebut mengimplementasikan 10 elemen sebagai berikut: (1) disiplin fiskal; (2) prioritas pengeluaran publik; (3) reformasi pemungutan pajak; (4) liberalisasi finansial; (5) kebijakan luar negeri yang mendorong persaingan; (6) liberalisasi perdagangan; (7) mendorong kompetisi antara perusahaan asing dan domestik untuk menciptakan efisiensi; (8) mendorong privatisasi; (9) mendorong iklim deregulasi; (10) pemerintah melindungi hak kekayaan intelektual. Jika dipersingkat dari 10 elemen di atas adalah, liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi.Dan ketiga syarat tersebut harus dilakukkan bagi negara yang ingin dibantu oleh IMF.Program penyesuaian struktural ini meliputi liberalisasi impor dan pelaksanaan sumber-sumber keuangan secara bebas (liberalisasi keuangan), devaluasi mata uang, pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter dengan pembatasan kredit untuk rakyat, pengenaan tingkat suku bunga yang tinggi, penghapusan subsidi, peningkatan harga-harga public utilities (kebutuhan rakyat), peningkatan pajak, menekan tuntutan kenaikan upah, liberalisasi investasi terutama investasi asing dan privatisasi.

Program SAP inilah yang diterapkan IMF kepada negara-negara pasiennya di seluruh dunia termasuk Indonesia . Delapan kali penandatangan Letter of Intent (LoI) oleh Indonesia dan IMF selama periode 1997-2002, merupakan implementasi SAP ini, hasilnya adalah undang-undang justru semakin membuat rakyat menderita dan semakin kokohnya penjajahan sosial dan ekonomi di Indonesia melalui liberalisasi dan swastanisi pengelolaan sumberdaya alam serta komersialisasi layan publik. Di Bidang Ekonomi lahirlah  UU PMA , UU Migas, UU Minerba, UU SDA yang semuanya merugikan rakyat dan mengokohkan penjarahan kekayaaan milik rakyat oleh para kapitalis baik lokal maupun asing, sedang dibidang Pendidikan muncul UU Sisdiknas dan UU BHP yang melahirkan swastanisasi dan komersialisasi layanan  pendidikan. Dalam bidang kesehatan ini lahirlah UU SJSN dan BPJS sebagai pelengkap komersialisasi dan swastanisai layanan publik di bidang kesehatan.

Hampir semua undang-undang yang disahkan oleh DPR adalah pesanan asing bahkan kebanyakan Draftnya sudah dibuat oleh mereka dan DPR hanya bertugas untuk mensahkan saja.  Pembuatan UU tersebut merupakan bagian dari paket reformasi jaminan sosial dan keuangan pemerintah yang digagas oleh ADB pada tahun 2002 pada masa pemerintahan Megawati. Hal tersebut terungkap dalam dokumen Asian Development Bank (ADB) tahun 2006 yang bertajuk, “Financial Governance and Social Security Reform Program (FGSSR).” Dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan: “Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain.” Nilai pinjaman program FGSSR ini sendiri sebesar US$ 250 juta atau Rp 2,25 triliun dengan kurs 9.000/US$.  Dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan bahwa ADB terjun langsung dalam bentuk bantuan teknis :  “ADB Technical Assistance was provided to help develop the SJSN in line with key policies and priorities established by the drafting team and other agencies.” (Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain).  Dalam Dokumen Tahap I FGSSR disebutkan : Untuk mengembangkan sistem jaminan sosial , Phase I akan (i) mengalihkan institusi tertkait dengan pelaksanaan asuransi soisial wajib dan program sosila dibawah pengawasan otoritas jasa keunagn (ii) menigkatkat tata kelola dan pengawasan system asuransi sosial yang wajib dan system jaminan sosila yang ada ….(vii) membangun UU baru dan Badan Baru untuk menyelengggrakan jaminan sosial.  Akhirnya Tahun 2004 ditetapkan UU SJSN dan Tahun 2011 dibentuk BPJS. Setelah  UU SJSN disahkan ILO Jakarta yang hampir tidak terdengar kiprahnya di bidang jaminan sosial selama 7 tahun terakhir pasca pengesahan UU SJSN, kini bangkit membantu pemerintah Indonesia dan para pemangkunya dengan mengusung isu “social security and social protection floor”-  perlindungan sosial universal untuk seluruh penduduk.  Dari pertemuan ILO tersebut, terungkap pula bahwa World Bank Jakarta tengah mempersiapkan skenario implementasi program jaminan pensiun SJSN.  Mitchell Winner, pakar jaminan pensiun World Bank Jakarta, menyampaikan desain reformasi program jaminan pensiun dan perluasan kepesertaan jaminan pensiun

 

SJSN : Asuransi berkedok Jaminan Sosial

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ini konsepnya mengikuti paradigma Barat atau sistem kapitalis dalam masalah jaminan social yaitu sistem asuransi.Namanya sih terdengar bagus, Jaminan Sosial Nasional, tetapi isinya ternyata hanya mengatur tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Artinya, itu adalah swastanisasi pelayanan sosial khususnya dibidang kesehatan.Hal ini bisa kita lihat dari isi UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN itu.Dalam  Pasal 1 berbunyi: Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Lalu Pasal 17 ayat (1): Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala.

Dari dua pasal itu bisa kita pahami. Pertama: terjadi pengalihan tanggung jawab negara kepada individu atau rakyat melalui iuran yang dibayarkan langsung bagi rakyat yang mampu, atau melalui pemberi kerja bagi karyawan swasta, atau oleh negara bagi pegawai negeri, dan sebagai tambal sulamnya, negara membayar iuran program jaminan sosial bagi yang miskin. Pengalihan tanggung jawab negara kepada individu dalam masalah jaminan sosial juga bisa dilihat dari penjelasan undang-undang tersebut tentang prinsip gotong-royong, yaitu: Peserta yang mampu (membantu) kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat; peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang sehat membantu yang sakit.Jadi, jelas undang-undang ini justru ingin melepaskan tanggung jawab negara terhadap jaminan sosial atau kesehatan.

Kedua: Yang akan menerima jaminan sosial adalah mereka yang terregister atau tercatat membayar iuran.Ketiga: Jaminan sosial tersebut hanya bersifat parsial, misalnya jaminan kesehatan, tetapi tidak memberikan jaminan kepada rakyat dalam pemenuhan kebutuhan pokok sandang, pangan dan papan maupun pendidikan.

Penjelasan lengkap tentang pasal-pasal yang ada dalam UU SJSN yang membahayakan kepentingan rakyat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan dapat dilihat dalam Tabel 1 di bawah ini :

Tabel 1

PASAL – PASAL MAUT   UU SJSN NO. 40 TAHUN 2004

No. Pasal (isi) Interprestasi dan Dampaknya
1.

Pasal 1 ayat  3 :

 Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya

 

Katanya Jaminan Sosial tapi teryata Asuransi yang mewajibkan setiap individu rakyat membayar Premi

2.

Pasal 3

Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya.

 

 

Bohong ! yang sebenarnya terjadi adalah pemalakan oleh Swasta (Perusahaan Asuransi) yang didukung penuh oleh Pemerintah.

3

Pasal 4

Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan pada prinsip

a. kegotong-royongan;

 

 

Bahasanya manis sesuai dengan istilah “gotong royong “ tapi esensinya Negara berlepas tangan atau tidak bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat.

4

Pasal 17

(1)   Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.

 

 

Inilah bentuk asuransi bukan jaminan, maka setiap orang bahkan bayi yang baru lahir wajib bayar (lebih kejam dari pada Pajak)

5

Pasal 22

( (2)     Untuk jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, peserta dikenakan urun biaya.

 

 

Sudah bayar Premi, masih ada kemungkinan diminta bayar lagi.

6

Pasal 24

(1)   Besarnya pembayaran kepada fasilitas kesehatan untuk setiap wilayah ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan asosiasi fasilitas kesehatan di wilayah tersebut.

 

Pasien masih ada kemungkinan nombok walupun sudah membayar premi !!!

7

Pasal 26

Jenis-jenis pelayanan yang tidak dijamin Badan Penyelenggara Jaminan Sosial akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.

 

 

Ada celah untuk berlepas diri dari BPJS untuk tidak memenuhi kewajiban (Klaim)

8

Pasal 47

(1)   Dana Jaminan Sosial wajib dikelola dan dikembangkan oleh Badan Penyelenggara jaminan Sosial secara optimal dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai.

 

 

Dana Iuran bisa di Investasikan dan ini sangat berpeluang mengalami kerugian, maka kalau rugi pasti nasabah (rakyat) yang dirugikan !

 

Sedangkan BPJS adalah lembaga yang dibentuk  berdasarkan  UU Nomer 24 Tahun 2011 Tentang BPJS, yang merupakan amanat dari UU No 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).  BPJS akan menjadi lembaga superbody yang memiliki kewenangan luar biasa di negara ini untuk merampok uang rakyat. Tidak hanya kepada para buruh, tapi sasaran UU ini adalah seluruh rakyat Indonesia.  Kedua UU tersebut  mengatur tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh BPJS. Hal ini ditegaskan oleh UU 40/2004 pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Juga Pasal 29, 35, 39, dan 43. Semua pasal tersebut menyebutkan secara jelas bahwa jaminan sosisal itu diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial.                                                                                             Tentang prinsip asuransi sosial juga terlihat dalam UU Nomer 24 Tahun 2011 tentang BPJS dimana pada Pasal 1 huruf g) dan Pasal 14 serta Pasal 16 disebutkan bahwa BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip kepesertaan yang bersifat wajib. Bila ini asuransi, dan bersifat gotong royong (huruf a Pasal 4), mengapa peserta diwajibkan.Juga disebutkan dalam huruf b) prinsip nirlaba. Tapi mengapa dibolehkan adanya investasi dan pencarian manfaat (istilah lain dari keuntungan), yang tentu saja terbuka kemungkinan terjadi kerugian.                                                                                                          Inilah fakta sebenarnya dari bahaya UU BPJS bagi rakyat. Rakyat dipalak sedemikian rupa atas nama kepentingan negara dalam menjamin layanan kesehatan dan sosial lainnya. Bagaimana tidak memalak, karena UU itu menyiapkan seperangkat sanksi bagi rakyat yang tidak mau membayar premi.Maka bohong jika dikatakan bahwa UU ini akan membawa kesejahteraan bagi rakyat. Sebaliknya rakyat akan terbebani oleh kewajiban yang ditetapkan oleh UU tersebut. Sama sekali rakyat tidak untung. Kedua undang-undang tersebut  sangat mengokohkan hak social rakyat yang berubah menjadi komoditas bisnis. Bahkan dengan sengaja telah membuat aturan untuk mengeksploitasi rakyatnya sendiri demi keuntungan pengelola asuransi.Artinya, apabila hak sosial rakyat didekati sebagai komoditas bisnis, maka posisi rakyat yang sentral substansial direduksi menjadi marjinal residual.Sementara kepentingan bisnis justru ditempatkan menjadi yang sentral substansial.Ini tentu sangat berbahaya karena berarti negara telah mempertaruhkan nasib jutaan rakyatnya kepada kuasa pasar, di mana dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini pasar mengemban semangat kerakusan yang predatorik yang dikendalikan oleh kekuatan kapitalis global yang bakal merongrong hak sosial rakyat melalui badan-badan usaha asuransi.                                        Hal ini sudah terbukti di mana-mana, termasuk di Indonesia di mana institusi bisnis asuransi multinasional saat ini tengah mengincar peluang bisnis besar di Indonesia yang dibukakan antara lain oleh UU 40/2004, Pasal 5 dan Pasal 17, juga UU 24/2011 Pasal 11 huruf b di mana disebutkan bahwa BPJS berwenang untuk menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi. Ini merupakan bukti nyata dari pengaruh neoliberalisme yang memang sekarang sedang melanda Indonesia.                                                                                                                        Melihat hal tersebut, UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Negara (SJSN) dan UU Nomer 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) memang layak ditolak oleh rakyat. Maka sudah seharusnya, pemerintah dan DPR membatalkan kedua UU tersebut karena bila diberlakukan akan makin memberatkan kehidupan ekonomi rakyat disamping itu transaksi  asuransi merupakan transaksi yang diharamkan menurut syariat Islam. (lihat pasal-pasal lain dalam UU BPJS yang membahayakan  dalam table 2 dibawah ini) .

Tabel 2

PASAL – PASAL BERBAHAYA dan ANEH dari UU BPJS

No.

Pasal (isi)

Interprestasi dan Dampaknya

1.

Pasal 1 ayat 6

Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.

 

Yang tidak membayar Iuran sudah pasti tidak akan mendapatkan pelayanan jaminan social.

 

2.

Pasal 3

BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap Peserta dan/atau anggota keluarganya.

 

Yang benar tujuannya untuk mencari keuntungan dari  penderitaan rakyat yang difalak melalui “ iuran premi “

3.

Pasal 7

(1)    BPJS sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 5 adalah badan hukum publik berdasarkan Undang-Undang ini.

 

Badan Hukum Publik adalah bahasa lain dari Swastanisasi Pengelolaan Jaminan Sosial atau asuransi yang selama ini di kelola BUMN. Badan Hukum Publik juga digunakan dulu untuk beberapa universitas yang disebut dengan BHMN yang akhirnya dibatalkan oleh MK.

4.

Pasal 10

Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, BPJS bertugas untuk:

a. melakukan dan/atau menerima pendaftaran Peserta;

b. memungut dan mengumpulkan Iuran dari Peserta dan Pemberi Kerja;

c. menerima Bantuan Iuran dari Pemerintah;

d. mengelola Dana Jaminan Sosial untuk kepentinganPeserta;

 

Akan terkumpul dana yang cukup besar dan itu dikelola oleh swasta (perusahaan asuransi baik lokal maupun asing dalam bentuk reasuransi yang sudah menunggu perusahaan asuransi dari eropa ), kalau asumsi premi terrendah yg wajib dibayar Rp.20.000 per bulan per orang dengan jumlah penduduk 240 jutaan akan terkumpul dana sekitar 4,8 Trilyun per bulan, maka wajar ADB dan World Bank berani membiayai agar UU BPJS ini disahkan dengan dana Rp. 2,25 Trilyun.

5.

Pasal 11

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, BPJS berwenang untuk:

a. menagih pembayaran Iuran;

b. menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai;

c. melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan Peserta dan Pemberi Kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan social nasional;

d. membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah; mengenakan sanksi administrative kepada Peserta atau Pemberi Kerja yang tidak memenuhi kewajibannya;

 

 

Penagihan pembayaran iuran bersifat memaksa dan yang telat bayar didenda 1 % dan bisa kerja sama dengan Pemerintah utk meminta mereka yg tidak membayar premi (iuran) tidak mendapat pelayanan kepentingan public seperti bikin Akta dll.

 

Penempatan Investasi dalam bentuk surat-surat berharga sangat rentan terkena krisis (inilah yang sekarang terjadi di eropa), akhirany rakyat menjadi korban.

 

Pasal 14

Setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi Peserta program Jaminan Sosial.

 

Inilah pemaksaan dan kejahatannya sebenarnya melebihi Kewajiban  membayar pajak, karena semua orang wajib membayar premi asuransi.

 

Pasal 17

(1)Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dan setiap orang yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. teguran tertulis;

b. denda; dan/atau

c. tidak mendapat pelayanan public.

 

 

Inilah bentuk pemaksaan yg sangat dzolim

 

Pasal 24

(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direksi berwenang untuk:

f. melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dengan persetujuan Dewan Pengawas;

g. melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) sampai dengan Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dengan persetujuan Presiden; dan

h. melakukan pemindahtanganan aset tetap BPJS lebih dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

 

Sangat mudah untuk mengkorupsi dana ini utk  tujuan dan kepentingan pribadi direksi, Dewan Pengawas, Presiden dan DPR

 

Pasal 41

(1) Aset BPJS bersumber dari:

a. modal awal dari Pemerintah, yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham;

b. hasil pengalihan aset Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan program jaminan sosial;

c. hasil pengembangan aset BPJS;

d. dana operasional yang diambil dari Dana Jaminan Sosial; dan/atau

e. sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

BPJS dengan mudahnya mendapatkan dana ratusan trilyun dari BUMN yg selama ini mengurusi masalah asuransi seperti Jamsostek, Taspen, Askes, dan Asabri.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pasal 47

BPJS tidak dapat dipailitkan berdasarkan ketentuanperundangan-undangan mengenai kepailitan.

 

Ini yang lucu, BPJS bisa menghindar atas kewajibannya membayar utang-utangnya baik kepada nasabah atau pihak ke 3 .

              

               Sistem Jaminan Sosial Nasional ini akan mulai diberlakukan mulai tahun 2014 ini, untuk itu pemerintah telah mengeluarkanpetunjuk teknis untuk operasionaldalam bentuk Peraturan Pemerintah dan Keputusan presidenyaitu PP no. 101 Tahun 2012 tentang penerima bantuan iuran (PBI) dan   Perpes no. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, kedua peraturan tersebut semakin memperjelas bahwa jaminan sosial yang selama ini adalah pemalakan kepada rakyat untuk kepentingan perusahaan asuransi.  Maka sangat wajar kedua peraturan tersebut juga ditolak oleh mereka yang selama ini sangat mendukung dan menuntut segera dilaksanakan UU SJSN  seperti Komite Aksi Jaminan sosial dan  Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI). Beberapa aturan teknis yang ada dalam PP tersebut menunjukkan bahwa SJSN adalah privatisasi atau komersialisasi layanan publik adalah :

  1. Dalam  PP itu disebutkan bentuk badan hukum saja bukan badan hukum publik, dengan bentuk badan hukum publik saja seperti Perguruan Tinggi nuansa komersialisasi tidak bisa dihindarkan apalagi kalau badan hukumnya selain badan hukum publik misalnya Perseroan Terbatas (PT). Kalau bentuknya PT jangan berharap mengutamakan pelayanan karena  PT orientasinya adalah profit atau keuntungan.
  2.  Masyarakat yang akan mendapat pelayanan kesehatan adalah mereka yang membayar iuran premi asuransi. Dalam kedua PP tersebut tidak disebutkan besarnya iuran tapi berdasarkan draft PP dan Usulan Pokja BPJS ada 3 kelompok kepesertan yaitu Kelompok miskin atau Penerima Bantuan Iuran  dengan premi yang harus dibayar sebesar Rp.22.500 dan berhak mendapat pelayanan kesehatan kelas 3, Kelompok yang mengingkan pelayanan kelas 2 membayar Rp.40.000 per bulan sedangkan Kelompok yang menginginkan Pelayanan Kelas 1 harus membayar premi Rp.50.000 perbulan.
  3. Dalam Pasal 17 UU SJSN disebutkan yang akan menerima jaminan sosial adalah mereka yang terregister atau tercatat membayar iuran. Jadi implikasinya kalau yang tidak tercatat atau tercatat tapi belum membayar atau punya tunggakan kemungkinan besar  akan ditolak atau tidak akan mendapat layanan dari rumah sakit.
  4. Tim Pokja BPJS mengajukan  Penerima  Bantuan Iuran untuk rakyat Miskin sebesar  Rp 22.200 per orang per bulan dengan jumlah rakyat miskin 96,4 juta sehingga  total sekitar  Rp 25, 5 Trilyun tapi  Menkeu hanya menyetujui Rp.15.500 per orang dengan orang miskin yang ditanggung sebesar 86 juta atau total Rp. 16 Trilyun. Artinya rakyat miskin yang selama ini dijanjikan gratis ternyata harus membayar sebesar Rp.6.700 karena pemerintah hanya menanggung premi Rp.15.500. Artinya kalau nunggak atau tidak membayar jelas tidak akan mendapatkan layanan kesehatan. Yang juga perlu diperhatikan Penerima Bantuan Iuran bentuknya adalah subsidi yang sifatnya sementara dan setiap saat bisa dihapuskan, sehingga rakyat miskin harus membayar secara penuh.
  5. Walaupun sudah membayar iuran premi belum tentu orang miskin ini akan mendapat pelayanan kesehatan yang memadai karena menurut Ikatan Dokter Indonesia Iuran sebesar Rp. 22.200 itu dinilai belum mencukupi nilai keekonomian pelayanan kesehatan. Hal itu dikhawatirkan bisa menurunkan mutu layanan medis karena tidak cukup untuk membiayai tenaga medis, obat-obatan, investasi, dan biaya lain. Ikatan Dokter Indonesia mengusulkan, besaran iuran setidaknya Rp 60.000 per orang per bulan.
  6. Yang cukup menarik untuk diperhatikan juga penentuan besarnya orang miskin yang akan mendapat bantuan Tim POKJA  BPJS mengajukan 96 juta orang  dan yang disetujui 86 juta Orang. Sementara selama ini pemerintah menyatakan berdasarkan data BPS misalnya tahun 2012 orang miskin itu sekitar 30 juta orang. Ini menunjukkan data orang miskin yang sebenarnya atau untuk menjadi lahan korupsi baru dengan mengkorupsi  dana APBN dengan alasan untuk orang miskin ?

Itulah sebagian  keburukan-keburukan SJSN yang selama ini dianggap akan memberikan jaminan sosial bagi masyarakta ternyata hanya akan menambah beban atau penderitaan baru bagi masyarakat. Selain itu, ternyata tidak semua jenis layanan kesehatan dijamin oleh sistem tersebut. Salah satunya adalah pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa tanggap darurat, kejadian luar biasa atau wabah (lihat pasal 25 ayat a sampai n PERPRES No, 12 Tahun 2013) . Dengan demikian, jika seorang pasien yang dirawat akibat wabah tertentu seperti DBD maka ia tidak berhak mendapatkan layanan gratis alias harus bayar. Ini merupakan strategi agar BPJS terhindar dari pembayaran klaim yang membengkak tajam.

Tolak Kapitalisasi Layanan Kesehatan  dan Wujudkan Sistem Islam

Berdasarkan hal di atas jelas bahwa sistem jaminanan sosial khususnya dalam bidang kesehatan akan mengalihkan sebagian tanggungjawab pelayanan kesehatan oleh pemerintah kepada rakyat. Selain membebani rakyat, sistem pelayanan kesehatan tersebut bersifat diskriminatif sebab yang ditanggung oleh pemerintah hanyalah orang miskin saja.Sementara yang dianggap mampu harus membayar sendiri.Tragisnya lagi, pelayanan kesehatan terhadap rakyat dibedakan berdasarkan status ekonomi dan jabatannya.                                                                   Hal tersebut jelas bertentangan dengan Islam. Pasalnya pelayanan publik merupakan tugas pemerintah yang tidak boleh dialihkan kepada pihak lain. Lebih dari itu, pelayanan tersebut harus bersifat menyeluruh dan tidak bersifat diskriminatif. Rasulullah saw bersabda: “Imam adalah pelayanan yang bertanggungjawab atas rakyatnya.” (H.R. Muslim). Hadits tersebut setidaknya menunjukkan dua hal yaitu pemimpin saja yang berhak melakukan aktivitas pelayanan (riayah) dan pelayanan tersebut bersifat umum untuk seluruh rakyat.Pasalnya kata rakyat (ra’iyyah) dalam hadits tersebut berbentuk umum.                                                          Adapun wajibnya pemenuhan pelayanan kesehatan dan pengobatan oleh negara Khilafah telah ditunjukkan oleh sejumlah dalil syara’.Pelayanan kesehatan sendiri merupakan bagian dari urusan rakyat, bahkan merupakan perkara yang amat penting bagi mereka.Sementara pelayanan urusan rakyat– sebagaimana hadits di atas–merupakan kewajiban negara. Selain itu, jika pelayanan tersebut tidak dipenuhi maka akan menyebabkan mudharat. Padahal menghilangkan dharar merupakan kewajiban negara. Dalil lainnya adalah ketika Rasulullah saw ketika dihadiahkan seorang tabib maka beliau menjadikannya untuk kaum muslim dan bukan untuk dirinya pribadi (al-Maliky, as-siyâsah al-iqtishâdiyyah al-mutslâ. hal. 80). Dalil lainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah saw pernah mengirim tabib kepada Ubay bin Kaab. Kemudian tabib tersebut membedah uratnya dan menyundutnya dengan kay (besi panas). Demikian pula dalam riwayat Al-Hakim disebutkan bahwa Zaid bin Aslam dari bapaknya ia berkata: Di masa Umar bin Khattab saya menderita sakit parah. Lalu Umar memanggilkan tabib untukku.Tabib itu menjagaku dimana saya harus menghisap biji kurma untuk berdiet.”Kedua riwayat ini menunjukkan bahwa penyediaan layanan kesehatan dan pengobatan wajib disediakan oleh negara secara gratis bagi yang membutuhkannya (An-Nabhâny, Muqaddimah ad-Dustûr, hal.19).                                                                 Itulah sistem jaminan pelayananan kesehatan dalam Islam dan sistem tersebut hanya bisa dijalankan dalam ketika syariat Islam dijalan secara Kafah dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyyah.Wallahu a’lam bisshawab

Rujukan :

An Nabhani, Taqiyyudin. 1963. Muqaddimah Dustur. Tanpa Tempat Penerbitan. Tanpa Penerbit.

Al-Wa’ie. Motif Busuk di balik UU SJSN, . No. 92, Tahun VIII, 1-30 April 2008.

Al-Maliki, Abdurrahman, Politik Ekonomi Islam, Bogor: Penerbit Al Azhar, 2009

Draft Peraturan Presiden  per 7 September 2012   Tentang Jaminan Kesehatan

Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran

Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan

Sjamsul Arifin, Wibisono, Charles P. R Joseph, dan Shinta Sudrajat (eds), IMF dan Stabilitas Keuangan Internasional: Suatu Tinjauan Kritis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004,

Undang-undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

Undang-undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial

www.rockinews.com/2012/05/adb-di-balikuusjsn-dan-uubpjs.html

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*