Oleh: Hafidz Abdurrahman (Ketua Lajnah Tsaqafiyyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia)
Pro-kontra soal dana talangan haji telah menjadi wacana publik. Adalah Dirjen Urusan Haji, Anggito Abimanyu, yang mula-mula memunculkan wacana perlunya dana talangan haji ini dihentikan (Republika, 5/10/2012). Ada tiga pertimbangan, yaitu antrean panjang calon jamaah haji, yang sesungguhnya belum memenuhi syarat istitha’ah. Ketidakmampuan (‘adam istitha’ah) mereka ini dibuktikan dengan meminjam dana bank yang mereka lakukan untuk mendapatkan nomer porsi haji yang dikeluarkan Kementerian Agama RI. Dan, tentu, status hukum dana talangan haji itu sendiri yang dianggap bermasalah.
Wacana inipun kemudian mendapat tanggapan yang tidak proporsional, karena tulisan Dirjen Urusan Haji itu hanya separo halaman, kemudian ditanggapi dengan satu halaman penuh (Republika, 11/2/2013). Masing-masing oleh Agustianto, dengan judul, “Menyoal Dana Talangan Haji”, Irwan Kelana dengan judul, “Perlukah Dana Talangan Haji Dihapuskan?” dan “Pendapat Ulama Soal Berutang Biaya Haji”. Ketiga tulisan terakhir ini tentu menyanggah seluruh argumen yang dibangun oleh Anggito Abimanyu, baik terkait dengan syarat istitha’ah, antrean panjang calon jamaah haji hingga status hukum dana talangan haji.
Mengenai antrean panjang yang menjadi reasoning Anggito, hingga sampai pada kesimpulan, bahwa dana talangan haji ini harus dihentikan, kemudian disanggah dengan data antrean panjang di Malaysia yang terjadi bukan karena dana talangan haji. Menurut saya, sanggahan ini jelas tidak nyambung. Karena ini merupakan dua fakta yang berbeda. Memang benar, antrean panjang calon jamaah haji di Malaysia tidak disebabkan oleh dana talangan haji, karena secara ekonomi rakyat Malaysia income per kapitanya di atas rakyat Indonesia, dan kondisi perekonomian rakyatnya lebih baik ketimbang rakyat Indonesia. Selain itu, biaya haji di negeri jiran itu juga lebih murah ketimbang di Indonesia. Dengan begitu, kemampuan mereka untuk menunaikan ibadah haji sangat besar, sementara kuota yang ditetapkan oleh pemerintah Saudi Arabiyah untuk Malaysia jauh lebih kecil dibanding dengan tingkat kemampuan rakyatnya.
Sementara di Indonesia, dengan hampir separo penduduknya terkategori hidup di bawah garis kemiskinan, dan tingkat income perkapita yang lebih rendah, serta kondisi perekonomian yang tidak lebih baik, ditambah ongkos biaya hajinya yang lebih mahal di banding negeri jiran itu jelas memiliki tingkat kemampuan untuk menunaikan ibadah haji yang lebih rendah. Namun, karena jumlah penduduknya banyak, maka Indonesia mendapatkan kuota haji yang lebih besar, ketimbang Malaysia. Nah, potensi inilah yang sebenarnya dilirik oleh lembaga keuangan syariah (LKS) sebagai potensi bisnis yang luar biasa. LKS kemudian mengajukan fatwa kepada DSN-MUI untuk mengeluarkan fatwa tentang dana talangan haji ini. Faktanya, setelah produk ini dijalankan oleh LKS, lonjakan calon jamaah haji pun meningkat luar biasa. Jadi, dalam kasus Indonesia, jelas sekali, bahwa terjadinya antrean panjang jamaah haji disebabkan karena produk LKS yang berupa dana talangan haji.
Soal fatwa DSN-MUI tentang dana talangan haji yang menggunakan akad ijarah, menurut hemat kami, jelas tidak tepat. Karena fakta dana talangan haji adalah fakta hutang-piutang (qardh), dimana LKS memberikan dana talangan (qardh) kepada calon jamaah haji, agar bisa mendapatkan nomer porsi haji. Dengan begitu, posisi calon jamaah haji di sini jelas berhutang kepada LKS. Karena itu, di sana ditetapkan syarat, agar calon jamaah yang bersangkutan sudah harus melunasi hutangnya sebelum berangkat ke tanah suci. Ini membuktikan, bahwa akad dana talangan ini jelas merupakan akad hutang-piutang (qardh), bukan akad ijarah. Apalagi nilai nominalnya jelas dan bersifat fixed, dimana oleh para fuqaha’ disebut qardh, bukan dain, sehingga harus dibayar dengan nilai nominal yang sama, tidak boleh lebih.
Memang benar, bahwa LKS mempunyai jasa menghutangi calon jamaah haji, tetapi jasa menghutangi di sini tidak bisa disamakan dengan jasa mengajar, mengobati pasien dan sebagainya. Karena motif akad hutang-piutang (qardh) adalah ta’awun (tolong-menolong), bukan bisnis. Fatwa yang menyatakan, bahwa jasa menghutangi berhak mendapatkan ujrah adalah pendapat yang syadz (aneh). Bahkan, ini bisa disebut hilah (akal-akalan) yang diharamkan dalam hadits Nabi. Karena benefit (manfaat) dari hutang adalah riba, dan riba adalah haram, maka bagaimana caranya supaya tidak dianggap sebagai riba. Inilah hilah.
Perlu dicatat, bahwa cakupan akad ijarah di dalam kitab-kitab fikih meliputi tiga kategori: Pertama, ijarah terhadap orang (ijaratu as-syakhs), seperti mengontrak pembantu; Kedua, ijarah terhadap pekerjaan (ijaratu al-‘amal), seperti mengontrak jasa dokter dan insinyur; Ketiga, ijarah terhadap barang (ijaratu al-‘ain), seperti menyewa mobil, rumah dan sebagainya (an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz II/). Dari ketiga kategori ini, kegiatan yang dilakukan oleh LKS untuk meminjami calon jamaah haji jelas tidak termasuk di dalamnya. Istilah “jasa meminjami” yang digunakan sebagai justifikasi untuk menyamakan jasa ini dengan jasa (al-manfa’ah) yang menjadi obyek akad ijarah ini jelas tidak tepat, dan menyesatkan. Karena fakta “jasa” ini adalah fakta hutang-piutang (qardh). Bukan fakta ijarah.
Karena itu, selain akad ijarah dalam kasus dana talangan ini menyalahi hukum syara’, juga memicu terjadinya antrean panjang daftar calon jamaah haji. Berangkat dari kedua realitas ini, semestinya pemerintah sebagai pemegang otoritas harus menghentikan “dana talangan haji” ini. Selain jelas diharamkan dan menimbulkan mudarat yang besar bagi calon jamaah haji, dana talangan haji ini juga menjadi ajang bisnis LKS. Bahkan, boleh dianggap inilah lahan bisnis yang sangat menggiurkan, hanya hampir bisa dipastikan, dananya tidak akan macet. Jadi, dana talangan haji ini hanya menguntungkan lembaga tertentu. Wallahu a’lam..[]