Menjelang perhelatan pesta demokrasi, Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kota Bogor, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Kota Bogor menggelar acara Workshop Tokoh Bogor. Acara yang mengakat tema “Mahar Politik, Biaya Politik dan Budaya Korupsi” ini membahas lebih dalam tentang Euforia kegiatan Pemilukada di Kota Bogor yang sudah terdengar gaungnya.
Acara yang dilaksanakan di RM. Gili Gili, Jalan Raya Pajajaran, Kota Bogor ini menghadirkan narasumber Keta DPP HTI, Ustad. Rokhmat S. Labib. Nampak tokoh bogor memenuhi meeting room tersebut, seperti Budayawan Bogor, Eman Sulaeman, dari unsur pengamat, advokat, LSM, Ormas Islam dan unsur kepemudaan, perwakilan Aisyiah, serta kaum ibu.
Ketua DPD II HTI Kota Bogor, Dwi Henri Cahyono atau akrab disapa Gus Uwik ini menjelaskan, banyak orang yang sudah mencalonkan menjadi Walikota dan Wakil Walikota. Dilihat dari track record dari para calon walikota, dari segi biaya untuk “nyalon” walikota itu sangat besar sekali. Seperti diketahui minimal antara 60 sampai 100 miliar.
“Sedangkan gaji dari walikota sendiri jika ditotal secara agregat itu sebesar dua miliar. Yang menjadi pertanyaan, jika modal bisa sampai 100 miliar terus si calon ini dan gaji yang didapatkan nanti hanya total dua miliar, nah itu menutup modalnya darimana?” ujarnya kepada bogorplus.com.
Diworksop tersebut, lanjut Gus Uwik, menyoroti lebih lanjut ternyata memang ada hal yang tidak beres dari kondisi di atas. Tidak beresnya berarti dia harus mendapatkan uang besar artinya dia harus mendapatkan investor. Investor tersebut tidak lain adalah pengusaha. Ketika dia sudah bekerja sama dengan pengusaha, nantinya yang akan terjadi adalah adanya “selingkuh” antara penguasa dan pengusaha.
Gus Uwik menambahkan, karena tidak mungkin pengusaha tersebut memberikan modal tanpa memberikan imbalan, minimal dia mengamankan kegiatan bisnisnya. Untuk itu banyak terjadi jual beli proyek, banyaknya korupsi dan sebagainya.
HTI melihat bukan hanya sekedar dari sisi orangnya yang menjadi masalah, tapi kemudian juga sistemnya, sehingga orang tersebut berbuat seperti itu. Trnyata pemilukada itu biayanya besar, disitulah diidikasikan akan menimbulkan korupsi yang begitu luar biasa hingga ujungnya akan kembali kepada rakyat yang jadi sengsara.
“Kalau memang yang menjadikan permasalahan tersebut adalah Demokrasi yang menimbulkan korupsi, maka kemudia HTI menyodorkan sistem yang baik, yaitu khilafah itu sendiri,” paparnya.
Masih dikatakan Gus Uwik, sebenarnya ini tentang perubahan, bagaimana kita merubah negeri ini menjadi lebih baik. Ada beberapa mainstream yang berjalan di masyarakat yakni parlemen atau melalui kudeta. Padahal sebenarnya ada satu mainstream lagi yang dilakukan oleh Rasulullah SAW untuk melakukan perubahan itu, yakni dengan metode perubahan melalui umat.
Perubahan itu dilakukan dengan menyadarkan betul kepada umat bahwa sistem ini sudah bobrok. Harus ada perubahan yang mendasar, bukan hanya orang yang dirubah tapi juga sistem. HTI sadar betul bahwa tidak hanya orang memang korup tetapi juga sistemnya yang memang mondorong untuk itu.
“Setelah terjadi proses kesadaran di tingkat masyarakat, dititik itulah HTI yakin masyarakat itu akan bergerak untuk menuntut perubahan. Dan HTI akan memandu proses perubahan itu kearah perubahan yang hakiki,” pungkasnya. (bogorplus.com, 23/3)