Soal:
Banyak kelompok yang mengklaim dirinya Ahlus Sunnah wal Jamaah karena klaim kebenaran dan ahli surga, sementara yang lain bukan. Sebenarnya siapakah Ahlus Sunnah wal Jamaah? Apakah mazhab atau kelompok tertentu? Bagaimana ciri-cirinya?
Jawab:
Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah sebenarnya merupakan istilah baru. Pada zaman Nabi saw, istilah ini belum dikenal. Demikian juga pada zaman Khulafaur Rasyidin, Khilafah Umayyah dan permulaan zaman Khilafah ‘Abbasiyyah. Pada zaman itu, satu-satunya istilah yang digunakan adalah “Muslimûn”.1
Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini baru digunakan dan berkembang pada pertengahan zaman Khilafah ‘Abbasiyah untuk membedakannya dengan “Syî’ah”, yang mulai digunakan setelah terbunuhnya Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib di tangan kaum Khawarij. Istilah Syî’ah mulai digunakan, khususnya setelah peristiwa tersebut, dan setelah ‘Am al-Jamâ’ah (Tahun Rekonsiliasi) terjadi pada masa Khalifah al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Namun, pemilahan antara Syî’ah dan Ahlus Sunnah wal Jamaah ini sudah mulai mengerucut. Orang yang menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini pertama kalinya adalah Muhammad bin Sirin (w. 110 H), sebagaimana yang dituturkan oleh Muslim dalam Muqaddimah kitab Shahîh-nya dengan sanad dari Ibn Sirin, bahwa dia berkata, “Dulu mereka tidak mempertanyakan tentang isnâd, namun setelah terjadi fitnah, mereka mengatakan, ‘Sebutkanlah tokoh-tokoh [perawi] kalian kepada kami.’ Kemudian ditunjukkanlah Ahlus Sunnah, lalu hadis mereka pun diambil. Ditunjukkan pula ahli bid’ah, lalu hadits mereka pun ditolak.”2
Ahlus Sunnah wal Jamaah sendiri artinya adalah orang-orang yang mengikuti sunah Nabi saw., dan menjaga kesatuan jamaah (Khilafah) kaum Muslim. Ini sebagaimana sabda Nabi saw. yang menyatakan:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ بَعْدِيْ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Kalian harus berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah para Khulafaur Rasyidin setelah aku. Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah dengan gigi geraham (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah, at-Tirmidzi dan dinyatakan sahih oleh al-Hakim. Dia berkata, “Berdasarkan syarat dua kitab Shahih [Bukhari dan Muslim]”).
Orang yang berpegang teguh pada Sunnah Nabi saw. dan Sunnah Khulafaur Rasyidin—yaitu mengikuti, mengamalkan dan menjaganya—inilah yang disebut Ahlus Sunnah. Adapun al-Jamâ’ah adalah sebagaimana dinyatakan dalam hadis Nabi saw.:
مَنْ خَلَعَ يَداً مِنْ طَاعَةٍ، لَقِيَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لاَ حُجَّةَ لَهُ. وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّة
Siapa saja yang melepaskan diri dari ketaatan (kepada Imam/Khalifah), maka dia pasti menghadap Allah pada Hari Kiamat tanpa hujjah (yang mendukungnya). Siapa saja yang mati, sementara di atas lehernya tidak ada baiat (kepada Imam/Khalifah), maka dia mati dalam keadaan mati Jahiliah (HR Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra.).
Konotasi hadis ini diperkuat oleh hadis lain:
مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَكَأَنَّمَا خَلَعَ رِبْقَةَ اْلإِسْلاَمِ مِنْ عُنُقِهِ
Siapa saja yang memisahkan diri dari Jamaah kaum Muslim (Khilafah) sejengkal saja, maka dia seperti melepaskan diri ikatan Islam dari lehernya (HR Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra.).
Ini menunjukkan kewajiban untuk menjaga Jamaah (Khilafah) yang menyatukan kata/suara kaum Muslim. Sebaliknya, haram memisahkan diri dari jamaah tersebut. Konotasi ini juga diperkuat oleh hadis Nabi saw., yang dituturkan oleh Hudzaifah al-Yaman.3
Inilah makna Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja), yang berarti manhaj (jalan/tuntunan); bukan kelompok atau mazhab akidah, sebagaimana yang kemudian digunakan oleh Mutakallimin, dengan konotasi Asy’ariyyah, Mâturidiyyah dan Thahâwiyyah. Dengan konotasi yang sama, yaitu mazhab, maka istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini kemudian dijadikan sebagai doktrin organisasi, yang kemudian disebut Doktrin Aswaja, singkatan dari Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Doktrin ini lebih sempit lagi, karena membatasi pandangan keagamaan di bidang akidah berdasarkan Asy’ariyyah dan Mâturidiyyah; di bidang fikih mengikuti Madzâhib al-Arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali); di bidang tasawuf mengikuti Junaid al-Baghdadi (w. 297 H) atau Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H). Di luar itu, dianggap tidak sama dengan kelompoknya, atau bukan Aswaja. Sebut saja, Ibn Taimiyyah (w. 728 H) dengan murid-muridnya, seperti Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) dan Ibn Katsir (w. 774 H), dengan Salafi-nya, yang notabene mengikuti mazhab Hanbali. Ibn Hazm al-Andalusi (w. 456 H), dengan Dhâhiri-nya. Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1977 M) dengan Hizb at-Tahrîr-nya. Semuanya, oleh penganut Doktrin Aswaja ini, tidak dianggap sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah karena dianggap berbeda dengan mereka.
Ini akibat penyempitan konotasi Ahlus Sunnah wal Jamaah berdasarkan kelompok atau mazhab mereka. Padahal istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini sebenarnya memiliki cakupan yang lebih luas, meliputi siapa saja yang mengikuti sunah Nabi saw., dan menjaga Jamaah (Khilafah) kaum Muslim, bukan hanya kelompok atau mazhab tertentu.
Dalam akidah, mereka mengikuti manhaj al-Quran, bukan ahli kalam. Karena itu akidah mereka kokoh, jauh dari perdebatan. Mereka menggunakan dalil qath’i, bukan dalil zhanni. Mereka juga meninggalkan pendetilan cabang yang tidak dinyatakan oleh dalil, baik dengan menggunakan mantik maupun dalil zhanni. Karena itu, dalam konteks ini, mazhab Ahlus Sunnah, dianggap tidak berbeda dengan Muktazilah dan Jabariah karena sama-sama menggunakan manhaj Mutakallimin. Ahlus Sunnah juga membahas hal yang sama sebagaimana ahli kalam yang lain. Misalnya, membahas sifat Allah, apakah sama atau berbeda dengan zat-Nya. Padahal, ini tidak pernah dibahas oleh Nabi saw., para Sahabat dan generasi sebelumnya.
Karena itulah, baik al-Iji (w. 756 H)4 maupun Ibn Hazm (w. 456 H), sepakat menyebut Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H), sebagai Jabariyyah Mutawasithah (Jabariyah Moderat).5 Dengan demikian, istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mereka gunakan itu hanya klaim belaka; termasuk klaim mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal dalam berakidah,6 padahal Imam Ahmad tidak pernah menyatakan apa yang mereka katakan. Misal, kemungkinan melihat Allah di dunia, jelas tidak pernah dinyatakan oleh Imam Ahmad.
Lebih parah lagi, Doktrin Aswaja ini juga digunakan untuk mendukung penguasa yang menerapkan paham dan hukum kufur. Doktrin ini pernah digunakan untuk mendukung Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme), dengan justifikasi taat pada perintah ulî al-amri bi ad-dharûrati as-syaukah. Doktrin yang sama juga digunakan untuk mempertahankan rezim otoriter, demokrasi dan negara sekular. Di sisi lain, doktrin ini digunakan untuk menyerang perjuangan menerapkan syariah Islam dan menegakkan Khilafah.
Harus dicatat, bahwa ciri Ahlus Sunnah wal Jamaah memang menjaga Jamaah kaum Muslim, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis Nabi saw. di atas. Namun, jamaah yang dimaksud di sini adalah Khilafah yang menerapkan syariah Islam secara kaffah. Meski namanya Khilafah, dan penguasanya disebut Khalifah, kalau terbukti melanggar hukum syariah, tetap wajib dikoreksi. Tindakan Sayidina Husain bin ‘Ali (w. 65 H) ketika berjuang mengembalikan Khilafah agar sesuai dengan tuntunan kakeknya, Nabi Muhammad saw., saat melawan Yazid bin Mu’awiyah adalah contoh. Hal yang sama dilakukan oleh ‘Abdullah bin Zubair (w. 73 H).
Pertanyaannya, jika benar Doktrin Aswaja ini tidak boleh melakukan perlawanan terhadap penguasa yang melanggar hukum syariah, bahkan kalau dia terbukti telah menerapkan hukum Kufur, berarti Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi saw, dan Sayyidina ‘Abdullah bin Zubair, cucu Abu Bakar as-Shiddiq ra., bukan Ahlus Sunnah wal Jamaah karena jelas-jelas mereka mengangkat senjata untuk mengembalikan Khilafah saat itu agar sesuai dengan Minhaj an-Nubuwwah.
Karena itu umat Islam harus mewaspadai penyesatan opini (tadhlîl fikrî) yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu, baik yang menggunakan baju intelektual, ulama maupun organisasi, demi mempertahankan rezim dan negara sekular, serta menghalangi dan memusuhi perjuangan untuk mengembalikan Khilafah berdasarkan Minhaj an-Nubuwwah.
Ketika upaya ini sudah terbongkar, dan dukungan pada perjuangan untuk mengembalikan Khilafah ini pun telah menjadi opini umum, maka serangannya pun mereka arahkan bukan pada gagasan Khilafahnya, tetapi kepada para pengembannya. Karena itu mereka pun mengatakan, “Kami setuju dengan Khilafah. Menegakkan Khilafah adalah wajib. Namun, kami tidak setuju dengan Hizbut Tahrir.” Dengan berbagai dalih, bahwa Hizbut Tahrir itu begini dan begitu.
Pernyataan seperti ini sesungguhnya sama tujuannya, meski tampak berbeda. Karena orang-orang Kafir dan antek-antek mereka tahu, bahwa Hizbut Tahrirlah yang mengembalikan kesadaran umat tentang Khilafah. Hizbut Tahrirlah yang mempunyai konsep (master plan) dan peta jalan (road map) yang jelas menuju ke sana. Jadi, kalau dukungan umat kepada Hizbut Tahrir berhasil mereka tarik, maka Khilafah yang mengancam kepentingan mereka itu pun tidak akan pernah ada.
Dengan kata lain, keberhasilan melumpuhkan Hizbut Tahrir berarti keberhasilan mengaborsi lahirnya kembali Khilafah. WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Lihat: QS al-Baqarah [02]: 132, 133 dan 136; Ali ‘Imran [03]: 52, 64, 80, 84, 102; al-Maidah [05]: 111; Hud [11]: 14; al-Anbiya’ [21]: 108; an-Naml [27]: 81; al-Ankabut [29]: 46; ar-Rum [30]: 53; al-Jinn [72]: 14..
2 Lihat: Muslim, Shahîh Muslim, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1992, I/79; Ahmad bin Hanbal, al-‘Ilal wa Ma’rifati al-Rijâl, al-Maktab al-Islâmi, Beirut, II/559; as-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Cet. I, 1994, I/53.
3 Lihat: Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, hadits No. 4065, Dâr Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut, t.t., II/1317.
4 Nama lengkapnya adalah Abu al-Fadhl ‘Adhuddin ‘Abdurrahman bin Ahmad al-Iji as-Syirazi as-Syafi’i. Lahir di kampung Ij, wilayah Siraz. Dia menimba ilmu dari Zainuddin an-Nahki, murid Imam Nashiruddin al-Baidhawi. Dia menjadi qadhi di Irak, pada masa Sultan Abi Sa’id ad-Darqandi Bahadur (736 H). Menjadi qadhi di beberapa wilayah Timur Khilafah ‘Abbasiyah, yang meliputi Mousul, Sanjar, Jazirah, Diyar Bakr dan Raha. Tinggal di Sulthaniyyah kemudian Siraz. Sempat dipenjara pada masa pemerintahan Bani Mudhaffar, ketika wilayah Kirman dijabat oleh Mubarizuddin Muhammad (713 H). Dia mempunyai beberapa karya monumental, seperti al-Mawâqif fî ‘Ilm al-Kalâm.
5 Lihat: Ibn Hazm, Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. II, 1999, II/86 dan 142; Mohamad Maghfur Wachid, MA, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, Penerbit al-Izzah, Bangil, cet. I, 2002, 43.
6 Al-Asy’ari, Al-Ibânah, hlm. 14.