SEJARAH dunia telah menunjukkan perut dan nasib bangsa ialah dua hal yang erat. Negara-negara berperekonomian baik ialah negara dengan ketersediaan pangan dan fasilitas kesehatan memadai. Hanya dengan perut terisi, anak bangsa bisa hidup sehat dan dapat berpikir cerdas.
Namun, rumusan historis itu tampak belum sepenuhnya mendapat tempat dalam alam pikiran dan tindakan para pemangku kebijakan di negeri ini. Kematian akibat gizi buruk terus terjadi.
Awal minggu ini terungkap bahwa sejak November 2012 hingga kini telah 95 orang tewas di Distrik Kwor, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, akibat gizi buruk. Jumlah itu bukan tidak mungkin bertambah karena 500 warga lainnya kini menjalani hari-hari dengan perut kerontang.
Lebih menyedihkan, itu bukan peristiwa pertama. Artinya, kematian 95 warga Distrik Kwor semestinya bisa diantisipasi.
Bulan lalu, misalnya, masyarakat Kabupaten Nduga, Papua, sudah dinyatakan terancam kelaparan karena gagal panen. Di Kabupaten Yahukimo, pada Desember 2005 ada 39 orang tewas. Sementara itu, di Kabupaten Paniai 16 orang meninggal pada 2007. Semuanya karena kelaparan.
Berulangnya kasus gizi buruk di Bumi Cenderawasih menunjukkan kealpaan besar dalam tata kelola negeri ini. Dengan kekayaan alam yang berlimpah semestinya kelaparan menjadi hal yang ganjil di sana.
Celakanya, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan persoalan itu menjadi urusan pemerintah daerah. Padahal, pemerintah pusat ikut menikmati kekayaan Papua.
Dari Freeport saja, misalnya, pada sembilan bulan pertama 2011, pemerintah Indonesia telah mendapat bagian pajak, royalti, dan dividen dengan nilai total US$52 miliar atau sekitar Rp468 triliun.
Di sisi lain, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No 22 Tahun 2013 tentang Perkiraan Alokasi Bagi Hasil Sumber Daya Alam Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi dalam Rangka Otonomi Khusus di Provinsi Papua Barat ditetapkan perkiraan bagi hasil sebesar Rp415 miliar lebih.
Jika dikelola dengan baik, pendapatan yang mengalir ke pemerintah pusat dan provinsi semestinya mampu mencegah kasus gizi buruk.
Persoalan gizi buruk dan minimnya fasilitas kesehatan semestinya menjadi persoalan bersama, baik pemerintah pusat maupun daerah. Tidak boleh saling lempar tanggung jawab antara pusat dan daerah.
Pemerintah harus memiliki desain jitu untuk menanggulangi persoalan gizi buruk di Papua. Penanggulangannya tidak sekadar dengan membagikan makanan, tetapi juga pemenuhan kebutuhan tenaga medis.
Angka kematian diperparah akibat sulitnya akses layanan kesehatan. Seorang warga Papua Barat bahkan bisa harus berjalan empat hari untuk bertemu petugas medis. Itu pun butuh keberuntungan agar tidak mendapati puskesmas yang kosong melompong ditinggal pergi tenaga medis.
Papua kekurangan dokter sebanyak 16 ribu orang. Pemerintah harus mengirim anak-anak Papua belajar ilmu medis ke universitas-universitas di Indonesia, bahkan mancanegara. (metrotvnews.com, 3/4)