[Al-Islam 651] Minggu-minggu ini sesuai apa yang direncanakan oleh para anggota DPR bisa dikatakan sebagai detik-detik menentukan pembahasan RUU Ormas. Ironisnya, RUU Ormas draft mutakhir yang sudah jauh berbeda dari draft RUU Ormas versi paling awal yang dipublikasikan di situs DPR, telah memancing reaksi keras dari masyarakat khususnya dari kalangan ormas.
Memang dikatakan ada yang mendukung, namun itu sebagian kecil saja. Seperti diberitakan Republika.co.id, 24/3, Mendagri menyatakan ada 13 Ormas yang tergabung dalam LPOI (Lembaga Pesahabatan Ormas Islam) mendukung segera disahkannya RUU Ormas termasuk keharusan Ormas mencantumkan asas Pancasila.
Sebaliknya sebagian besar atau kebanyakan Ormas mengkritisi bahkan menolak RUU Ormas. Malahan beberapa ormas di LPOI justru membantah dukungan itu, yaitu DDII, Majelis az-Zikra, Persis, al-Ittihadiyah, Sarekat Islam Indonesia dan Rabithoh al-Alawiyah. Kalangan ulama pun juga banyak yang menolak RUU Ormas. Jika seperti itu, akankah RUU Ormas itu tetap dipaksakan?
Jangan Hambat Kewajiban dari Allah
Keberadaan organisasi di tengah masyarakat jelas disyariatkan dalam Islam. Allah SWT berfirman:
﴿ وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴾
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (TQS Ali Imran [3]: 104)
Imam ath-Thabari menjelaskan makna ayat tersebut, yakni ”hendaknya ada di antara kalian”, wahai kaum Mukmin ”ummah” yakni jama’ah; yang ”menyeru” manusia menuju al-khayr (kebaikan), yakni Islam dan syariat Islam yang telah Allah syariatkan atas hamba-hambaNya; dan melakukan amar ma’ruf; yakni memerintahkan manusia untuk mengikuti Nabi Muhammad saw, dan agamanya yang beliau bawa dari sisi Allah SWT; dan ”mencegah kemungkaran”; yakni mencegah dari kekufuran kepada Allah dan dari mendustakan Nabi Muhammad saw serta apa (agama) yang beliau bawa dari sisi Allah …” (Imam ath-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân (Tafsîr ath-Thabarî), juz 7/90).
Imam Ibnu Katsir juga menjelaskan, “maksud dari ayat ini adalah; hendaknya ada firqah (kelompok) dari umat Islam siap sedia untuk (melakukan) urusan ini (yakni mengajak kepada al-khayr (Islam) dan melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar), walaupun urusan itu adalah kewajiban bagi setiap individu dari kalangan umat ini… (Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-’Azhîm, Juz 2/91).
Di dalam ayat tersebut Allah memerintahkan agar di tengah kaum Muslimin ada umat yakni kelompok atau jamaah dan dalam bahasa sekarang bisa juga diartikan organisasi. Tapi bukan sembarang jamaah atau organisasi, melainkan jamaah/organisasi yang Allah jelaskan karakternya. Yaitu jamaah atau organisasi yang mengajak manusia kepada Islam dan syariahnya; serta melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar.
Perintah ini bermakna wajib sebab di akhir ayat tersebut terdapat pujian bahwa jamaah atau organisasi yang memenuhi karakter itu, maka mereka termasuk orang-orang yang beruntung. Dengan demikian, dalam pandangan Islam adanya jamaah atau organisasi di tengah masyarakat yang memenuhi karakter itu bukan saja boleh tetapi justru wajib.
Tentu saja jamaah atau organisasi yang mengajak kepada Islam dan melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar itu haruslah berasaskan Islam, tidak yang lain. Begitu pula Ormas Islam pada umumnya tentu haruslah berasas Islam, bukan yang lain, sebab merupakan Ormas Islam, bukan Ormas selain Islam.
Keberadaan jamaah atau organisasi seperti yang dideskripsikan ayat tersebut tidak boleh dihalangi atau dihambat oleh siapapun. Terhadap keberadaan jamaah atau organisasi yang justru diwajibkan oleh Allah itu, seorang Muslim tentu tidak akan pernah terlintas dalam pikirannya niyat untuk menghambat apalagi menghalanginya melalui sesuatu yang dicari-cari baik dengan mengharuskan asas tertentu selain asas Islam; menjadikan Islam sebagai asas pelengkap atau opsional saja; atau menghambatnya dengan serangkaian persyaratan administratif seperti yang terlihat dalam RUU Ormas. Sebab jika hal itu dilakukan, artinya dia telah menentang Allah SWT sebab menghambat atau bahkan menghalangi atau mempersulit pelaksanaan kewajiban yang telah Allah wajibkan. Perbuatan itu juga berarti menghalangi manusia dari jalan Allah, satu perbuatan yang dilakukan oleh setan, orang kafir dan orang munafik.
Aktifitas amar ma’ruf dan nahi mungkar itu mencakup pula amar ma’ruf dan nahi mungkar terhadap penguasa. Itu merupakan aktivitas politik, mengurusi urusan umat. Jamah atau organisasi tidak selayaknya dipersempit atau bahkan dihalangi untuk melakukan aktifitas politik itu. Justru mestinya diberikan keleluasaan, ruang dan kemudahan untuk melakukan semua itu. Niscaya hal itu akan dicatat di sisi Allah sebagai andil untuk terealisasinya kewajiban dari Allah SWT.
RUU Ormas yang sedang dibahas sekarang ini berpotensi akan bisa menjadi pintu untuk menghambat dan mempersulit aktivitas dakwah Islam atau khususnya aktivitas Ormas Islam yang ingin berasaskan Islam saja, melakukan aktivitas politik meski dengan damai; dan sebagainya. RUU Ormas ini bisa menjadi pintu terjadilah tindakan represif, aniaya dan zalim terhadap masyarakat. Jadilah masyarakat merasakan kesempitan dan kesusahan. Rasulullah SAW memperingatkan siapa saja yang menyempitkan atau menyusahkan masyarakat itu:
« اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ»
Ya Allah, siapa saja yang memiliki kekuasaan mengatur suatu urusan umatku, lalu ia menyempitkan/menyusahkan mereka, maka sempitkan atau susahkan dia; sebaliknya siapa saja yang memiliki kekuasaan mengatur suatu urusan umatku, lalu ia berlaku lemah lembut atau baik kepada mereka, maka perlakukan dia dengan lembut/baik.(HR. Imam Ahmad dan Imam Muslim)
Awas Dosa Menumpuk
RUU yang berpotensi jadi pintu represif itu nantinya akan menjadi warisan keburukan bagi para legislator dan siapa saja yang ikut andil mendukung atau bahkan mendesaknya. Allah mengingatkan dalam firman-Nya:
﴿ إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُّبِينٍ ﴾
Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh). (TQS Yasin [36]: 12)
Imam al-Alusi menjelaskan, ”yakni kami hidupkan orang-orang mati seluruhnya dengan membangkitkannya pada Hari Kiamat kelak (dan kami tulis apa yang telah mereka kerjakan) berupa amal saleh dan thâlih yang telah mereka kerjakan, (dan bekas-bekas mereka) yang mereka tinggalkan setelah mereka dalam bentuk kebaikan seperti ilmu yang mereka ajarkan atau kitab yang mereka gubah, atau wakaf yang mereka wakafkan atau bangunan di jalan Allah yang mereka bangun dan kebaikan lainnya; dan juga berupa bekas keburukan seperti pembentukan undang-undang zalim dan aniaya, pengaturan prinsip-prinsip buruk dan kerusakan diantara hamba dan seni-seni keburukan yang mereka buat dan contohkan kepada orang-orang merusak sesudah mereka” (Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Husaini al-Alusi, Rûh al-Ma’âniy).
Artinya, RUU Ormas itu jika disahkan dan menjadi pintu terjadinya tindakan represif, zalim, aniaya, menghambat dan mempersulit dakwah Islam amar ma’ruf dan nahi mungkar, maka itu akan menjadi investasi keburukan terutama bagi pembuatnya, juga bagi siapa saja yang turut mendukungnya. Investasi keburukan yang akan bisa terus mendatangkan dosa sesudah kematian mereka. Tentu saja itu akan menjadi kerugian besar bagi mereka.
Wahai Kaum Muslimin
Dari ayat itu jelas, sikap apa saja yang kita tunjukkan terhadap RUU Ormas yang berpotensi jadi pintu represif dan kezaliman ini akan menjadi bagian dari bekas-bekas yang kita tinggalkan, bekas-bekas yang bisa terus berbuah kebaikan dan pahala, atau sebaliknya terus mendatangkan keburukan dan dosa. Karena itu kita harus membangun sikap yang benar sesuai yang dituntunkan oleh Islam.
Karena berpotensi mendatangkan kezaliman maka kita tidak boleh cenderung kepada RUU ini apalagi mendukung kezaliman itu. Allah SWT melarang hal itu sekaligus memperingatkan akibatnya.
﴿ وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ ﴾
Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan. (TQS Hud [11]: 113)
Selain itu kita umat Islam harus berusaha untuk mengubah kemungkaran itu dengan segenap kekuatan dan daya upaya kita. Sebab jika tidak, maka seperti yang dijelaskan dalam hadits Rasul, akibatnya akan dapat menimpa semua orang dan dapat menjadi dharar bagi masyarakat secara keseluruhan.
Lebih dari itu, sesungguhnya ini semua terjadi akibat diambil dan diterapkannya demokrasi kapitalisme yang berlandaskan sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan dan negara, yang menjadikan manusia sekutu Allah dalam hal membuat aturan hukum. Sementara syariah yang berasal dari sisi Allah yang Maha Adil dan Bijaksana justru dilalaikan dan ditinggalkan. Saatnya kita sudahi kelalaian ini dengan segera kembali kepada ketaatan, segera menerapkan syariah islamiyah di bawah naungan al-Khilafah ’ala minhaj an-nubuwwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar:
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) masih saja mendapatkan beragam penyimpangan yang diduga merugikan negara triliunan rupiah. Kerugian berasal dari dugaan pidana, kekurangan penerimaan negara, hingga penyimpangan administrasi. (Kompas.com, 2/4)
- Bukti bahwa perilaku korup telah bersifat sistemik, dimana sistem menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Bukti bahwa sifat amanah makin hilang dalam penyelenggaraan negara.
- Perlu upaya sistemik untuk mengatasinya dengan mengubah sistem kapitalisme demokrasi sekuler yang sedang eksis saat ini menjadi sistem syariah dalam naungan khilafah.