Pimpinan Pusat Muhammadiyah menilai, munculnya RUU Ormas ini dilatarbelakangi oleh paradigma keamanan, seperti fenomena kekerasan yang dilakukan oleh organisasi masyarakat maupun tindakan-tindakan yang diklasifikasikan sebagai aksi terorisme. Meski demikian, beberapa pasal yang ditujukan untuk menjustifikasi langkah keamanan oleh pemerintah, boleh jadi diterapkan kepada organisasi masyarakat sipil lainnya yang bersikap oposisi terhadap penguasa yang ada.
Karenanya, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin,menilai RUU ini mengandung kerancuan nalar yang serius hingga wajib ditolak. Lengkapnya, bisa dibaca pada hasil wawancaranya dengan wartawan Media Umat Joko Prasetyo di bawah ini.
Mengapa Muhammadiyah menolak RUU Ormas?
Karena RUU Ormas yang baru ini, walaupun maksudnya ingin mengubah Undang Undang No 8 Tahun 1985 tapi justru semakin represif, semakin membawa negara kepada orientasi otoritarianisme dan ini kami katakan sangat bertentangan dengan substansi Undang Undang Dasar 1945.
Pada intinya RUU tentang Ormas ini kami nilai mengandung kerancuan nalar yang cukup serius dan terdapat banyak pasal yang merugikan organisasi masyarakat itu sendiri termasuk Muhammadiyah, sebagai organisasi masyarakat yang bahkan usianya lebih tua dari negara ini.
Ini tentu nantinya akan menghambat partisipasi kami, partisipasi ormas-ormas dalam rangka ikut membangun bangsa dan negara yang kita cintai ini.
Apa saja kerancuannya itu?
Istilah Ormas misalnya. Ormas itu merupakan istilah baru pada tahun 1980-an di era Orde Baru yang dimunculkan untuk dibedakan dengan Orpol. Sebelumnya tidak ada dalam khazanah konsep maupun praktek berbangsa dan bernegara di tanah air kita.
Muhammadiyah, NU dan banyak organisasi lain sudah ada jauh sebelum kemerdekaan, ikut berjuang menegakkan kemerdekaan tidak pernah menyebut dirinya dan juga oleh negara sebagai Ormas.
Lantas mengapa Orde Baru membuat istilah Ormas?
Kategori Ormas oleh Orde Baru sesungguhnya merupakan sebuah bagian dari depolitisasi masyarakat, jadi dalam rangka depolitisasi masyarakat.
Apakah semangat depolitisasi itu juga tampak pada RUU Ormas?
Iya. Pada saat yang sama partai-partai politik di DPR sana melakukan tindakan diskriminatif; kecuali yang berafiliasi pada partai politik (Pasal 12 f), ini tidak dianggap sebagai Ormas yang diatur oleh RUU ini. Ini kan kerancuan nalar, ini sangat-sangat merugikan masyarakat dan merugikan negara.
Tapi tidakkah ada poin positif dari RUU ini?
Ya, RUU Ormas ini mendorong agar organisasi-organisasi masyarakat sipil dapat menjaga dan memperkuat akuntabilitasnya, baik akuntabilitas visi, program, finansial maupun akuntabilitas sumberdaya manusia. Serta pemerintah sudah lebih bersikap demokratis dengan mengalihkan otoritas yang dimilikinya untuk membubarkan sebuah ormas kepada pengadilan.
Meskipun demikian, RUU Ormas ini mengandung pasal-pasal yang masih kontroversial, sangat layak diperdebatkan, dan multi-interpretasi, di mata masyrakat Indonesia yang plural dan dinamis, sehingga perlu untuk dikaji lebih jauh.
Di samping itu, RUU ini terkesan semakin memberikan ruang yang sempit untuk mengekspresikan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat.
Indikasinya?
Pertama, semakin ketatnya persyaratan-persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh masyarakat dalam mendirikan dan mengelola organisasi-organisasi sosial.
Kedua, kontrol negara yang terlalu kuat terhadap organsiasi masyarakat sipil, dan dalam konteks tertentu dianggap terlalu jauh memasuki ‘dapur’ Ormas.
Ketiga, beberapa pasal dari RUU tumpang tindih dengan UU yang lain, seperti UU Yayasan No 28 Yahun 2004.
Bagaimana tanggapan Anda dengan Pasal 2 yang mengharuskan semua Ormas berasas utama Pancasila?
Substansi dan semangatnya akan mengarah pada pengaturan pada asas yang bersifat tunggal, yakni Pancasila. Kalaupun dibolehkan adanya ciri tertentu (Pasal 3) asal tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45.
Padahal selama ini, Ormas Islam khususnya, tidak ada permasalahan. Di mana letak pertentangannya? Karena itu mestinya pembuat UU berpikir jernih, yakni tidak perlu mengungkap persoalan lama yang mempertentangkan Pancasila dan agama, karena masalahnya sudah jelas dan final.
Janganlah kita kembali membuka luka lama. Betapa lelah dan energi terkuras ketika Undang Undang Ormas tahun 1985 dulu diajukan dan ada pendesakan untuk menerapkan asas tunggal Pancasila. Muhammadiyah sampai mengundurkan muktamarnya dan apalagi waktu itu muncul upaya mempertentangkan Pancasila dengan Islam.
Kalau itu nuansa pada Undang Undang tahun 1985, lalu RUU ini ingin menggantikannya, justru RUU baru ini mengungkit luka lama itu yang tidak produktif bahkan menjadi kontraproduktif.
Jadi kalau Ormas Islam hanya ingin berasas Islam dan berciri tertentunya juga Islam?
Seharusnya diapresiasi sebagai bentuk kemajemukan. Jadi kalau ada yang mau menampilkan asas Islam itu harusnya dianggap tidak bertentangan dengan Pancasila dan itulah kemajemukan. Kalau ada Ketuhanan Yang Maha Esa, maka atheisme itu bertentangan dengan Pancasila, itu yang tidak boleh.
Pasal lainnya yang bermasalah?
Wilayah Ormas (Pasal 8 dan Pasal 23, 24, 25, 26 dan 27), hanya meliputi nasional, provinsi, dan kabupaten/kota akan menyulitkan posisi Muhammadiyah dan NU yang selama ini sudah melebarkan sayapnya sampai ke luar negeri.
Bagaimana dengan pasal aliran dana?
Pada Pasal 61ayat 3, Ormas dilarang menerima sumbangan berupa uang, barang, jasa dari pihak manapun tanpa mencantumkan identitas yang jelas.
Konsep ini akan menyulitkan Ormas keagamaan, seperti Muhammadiyah yang selama ini menerima sumbangan atau wakaf dari pihak-pihak yang tidak mau disebutkan namanya dengan alasan menjaga keikhlasan dan khwatir riya berupa sumbangan dari hamba Allah yang tidak mau disebutkan namanya.
Karena itu semua, Mummadiyah menolak RUU ini?
Iya, bahkan Muhammadiyah mendesak kepada DPR untuk menghentikan seluruh proses pembuatan Undang-undang Ormas. Pembahasan UU Ormas potensial menimbulkan kegaduhan dan instabilitas politik, terutama menjelang pemilu 2014 yang memerlukan suasana yang kondusif, stabil dan dinamis.
Dalam rangka menjaga ketertiban dan kerukunan masyarakat, pemerintah hendaknya berusaha melaksanakan Undang-undang Yayasan sebagaimana mestinya dan memprioritaskan penyelesaian RUU Perkumpulan. Pembahasan RUU Ormas tidak urgent dan tidak diperlukan oleh masyarakat.
Bagaimana bila DPR keukeuh mengesahkan RUU ini?
Jadi kalau DPR, pemerintah memaksakan diri tanpa mendengar suara masyarakat untuk mengesahkan Undang Undang ini, Muhammadiyah akan memprakarsai bersama semua Ormas yang lain untuk melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. (mediaumat.com, 7/4/2013)