Oleh: Roni Ruslan
Pengawasan atas pelaksanaan peraturan dan perundangan merupakan faktor krusial dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan pengawasan, berbagai bentuk penyimpangan dan pelanggaran aturan akan dapat diantisipasi. Hasilnya, kedhaliman dan tindakan merugikan orang lain dapat dicegah. Untuk itulah sejak awal, Islam telah mewajibkan amar ma’ruf nahyi munkar sebagai bentuk pengawasan (QS Ali Imran[3]:104).
Rasulullah SAW adalah orang pertama yang membentuk sistem pengawasan dalam sejarah peradaban Islam. Dari Abu Hurairah ra, Ia berkata: ”Suatu saat Rasulullah SAW melewati ash Shubra, tumpukan dari beberapa jenis makanan. Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan makanan tersebut hingga jari-jemarinya basah. Lalu beliau bertanya: ”Wahai pemilik makanan, apa ini?” sang pemilik menjawab: ”Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah”. Kemudian beliau bersabda, ”Mengapa engkau tidak meletakkan ini (yang basah dan rusak) di atas makanan yang lain sehingga orang-orang dapat melihatnya. Barang siapa yang melakukan penipuan, maka ia tidak termasuk golonganku.” (Shahih Muslim).
Sa’id bin Al Ash adalah orang pertama yang diangkat menjadi pengawas di masa Rasulullah SAW. Dia bertugas mengawasi aktivitas pasar di Makkah pasca futuh. Tidak hanya laki-laki, Rasulullah SAW pun pernah mengangkat seorang pengawas dari kalangan wanita yaitu Samura binti Nahik Al Asadi. Ia tetap menjabat sebagai pengawas pasar hingga masa kekhilafahan Umar Ibnu al Khatthab ra.
Pada masa kekhilafahan Abbasyiyah tugas pengawas semakin berkembang dan luas. Di samping mengontrol timbangan dan takaran, mencegah terjadinya monopoli, amar ma’ruf nahyi munkar, mereka juga mengawasi kebersihan pasar-pasar dan masjid, mengawasi para pekerja panggul agar mereka konsisten dengan pekerjaan mereka. Bahkan ia juga bertugas mengawasi para muadzin agar tepat waktu dan tidak telat dalam mengumandangkan azan untuk shalat.
Bukan hanya itu, pengawas di masa Khilafah juga bertugas menerapkan hukuman dan menjatuhkan sanksi- sanksi terhadap para pemimpin dan penguasa yang melanggar hukum. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh seorang pengawas terhadap Ali bin Nusytakin. Ali bin Nusytakin adalah seorang komandan senior yang membawahi seratus anggota pasukan berkuda (kavaleri). Ia juga termasuk kolega dekat Sultan Mahmud bin Malik Shah, dari Bani Saljuk. Setelah semalaman menemani Sultan Mahmud meminum khamer, Ali pulang memacu kudanya dengan diikuti kawalan seratus anggota pasukan di belakangnya. Seorang pengawas kekhalifahan yang melihat tanda-tanda mabuk pada Ali kemudian memberhentikan dan menurunkannya dari kuda seraya memerintahkan anak buahnya untuk memegangi kepala dan kaki Ali dan menderanya sebanyak empat puluh kali hingga gigi Ali patah. Sementara para pengawal dan pasukan militernya hanya bisa memandanginya tanpa berani berucap kata sedikitpun. Pengawas ini memberlakukan sanksi kepada seorang komandan di hadapan anak buahnya sendiri secara terbuka, agar menjadi pelajaran bagi orang yang mau mengambil pelajaran.
Untuk itulah, para khalifah dan wali serta para penguasa yang lainnya berupaya mencari para pengawas yang memiliki ketrampilan, pengetahuan dan tekad yang kuat.
Tidak diragukan lagi bahwa sistem pengawasan dalam Islam merupakan puncak objektivitas dalam pemerintahan Khilafah untuk menjaga ketertiban masyarakat dan ketenangan mereka, menciptakan keamanan dan kenyamanan mereka, menjauhkan mereka dari segala hal yang dapat menimbulkan keresahan dan penderitaan, melindungi masyarakat baik materi maupun spiritual.
Demikianlah strategi perlindungan Khilafah terhadap warganya melalui sistem pengawasan yang dikenalkan Islam. Wallahu ‘alam bi ash shawab. []