Oleh Dr Muhammad (Malaysia)
The Star Online melaporkan bahwa delapan orang ada di antara sekelompok orang bersenjata suku Sulu yang terlibat dalam serangan yang terus berlanjut terhadap pasukan keamanan Malaysia, yang didakwa pada hari Rabu dengan tuduhan terorisme dan berperang melawan Yang Di-Pertuan Agong. Tidak tercatat adanya pembelaan dari delapan orang itu, yang berasal dari Filipina selatan, setelah masing-masing dari mereka didakwa dengan Pasal 130 KA dari KUHP Malaysia atas tuduhan melakukan tindakan terorisme dan dengan Pasal 121 KUHP itu dengan tuduhan melancarkan perang terhadap Raja. Pasal 130 KA memberikan hukuman penjara hingga 30 tahun sementara Pasal 121 memberikan hukuman mati terhadap pelanggarnya.
Dengan mengenakan baju seragam warna ungu, kedelapan orang itu dikenakan dakwaan sebelum dihadapan Majlis Hakim Pengadilan Amelati Parnell, pada sidang yang dimulai sekitar jam 1 siang. Para tersangka dibawa ke pengadilan dengan pengawalan ketat polisi, hari Rabu. Penasehat Senior Federal Datuk Nordin Ahmad memimpin tim jaksa penuntut. Tuduhan lalu dibacakan dalam Bahasa Malaysia sementara para penterjemah menterjemahkan kedalam bahasa Suluk dan Bajau di sidang yang digelar di ruang sidang darurat di markas polisi distrik baru dengan pengamanan yang ketat sejak pagi hari. Setelah permohonan Nordin, Amelati kemudian memindahkan kasus tersebut ke Pengadilan Tinggi Tawau untuk sesi dengar pendapat. Segera setelah sidang selesai pada pukul 1:45, kedelapan terdakwa itu terlihat naik empat truk dengan pengawalan ketat polisi untuk dibawa ke Tawau. Para awak media dilarang memasuki ruang sidang dan tidak dapat segera memperoleh rincian mengenai terdakwa, termasuk nama dan usia mereka.
Pada awal bulan ini, Malaysia tiba-tiba bangkit karena kebuntuan antara polisi Malaysia, angkatan bersenjata dan sebuah kelompok Muslim Sulu (Filipina Selatan) yang bersenjata yang menyebut diri mereka “Pasukan Keamanan Kerajaan Kesultanan Sulu dan Borneo Utara” di Lahad Datu, Sabah. Kebuntuan ini diberitakan dimulai dengan klaim Sultan Sulu terhadap Sabah, namun berakhir dengan pertumpahan darah dan pembunuhan terhadap kalangan umat Islam. Sembilan anggota pasukan keamanan Malaysia dan sekitar 70 ‘anggota militer’ Sulu tewas. Satu pertanyaan yang ada di benak banyak orang Malaysia adalah kenyataan bahwa tragedi ini terjadi ketika Pemilu Malaysia yang ke-13 sangat dekat. Dengan meningkatnya kasus-kasus korupsi, kronisme dan segala macam skandal yang belum pernah terjadi sebelumnya, kebuntuan ini telah digambarkan sebagai sebuah konspirasi untuk menutupi semua kekurangan dan kelemahan dalam pemerintahan selama bertahun-tahun. Sejalan dengan semua tuduhan pencemaran nama baik, fitnah dan politik yang berkembang dalam sistem demokrasi seperti yang ada di Malaysia, Tragedi Lahad Datu tidak dapat dihindari. Media pro-media, seperti Utusan Malaysia dan TV3, telah mengkaitkan keterlibatan pemimpin oposisi, Datuk Seri Anwar Ibrahim dalam tragedi ini. Di sisi lain, Wakil Presiden Partai Keadilan Rakyat (PKR), Tian Chua, juga menuduh pemerintah menciptakan drama politik. Apakah fitnah-fitnah ini benar ada atau tidak, kenyataannya adalah tetap banyak nyawa yang hilang atau dikorbankan. Faktanya juga, ketika pasukan keamanan berperang di lapangan, partai yang berkuasa dan partai-partai oposisi juga berperang di media. Ini adalah demokrasi, sebuah sistem di mana pihak-pihak yang berpartisipasi berada di kubangan di dalamnya, yang dengan menggunakan berbagai hal dan cara untuk mendiskreditkan lawan politik mereka, semua demi mendapatkan suara dalam pemilu dan demi kekuasaan.
Di antara pertanyaan-pertanyaan kunci yang perlu diselesaikan di sini adalah klaim atas Sabah (jika memang benar) oleh Sultan Sulu dan isu-isu pelanggaran yang terjadi. Sabah menjadi bagian Malaysia pada tahun 1963 berdasarkan hasil Komisi Cobbold, sebuah komisi yang didirikan oleh para penjajah kafir untuk mengkerat-kerat negeri-negeri Muslim. Namun, sebagai kaum Muslim, aturan Allah-lah yang berlaku. Berdasarkan keputusan Allah-lah, umat Islam adalah satu bangsa dan harus bersatu. Namun hari ini, umat Islam dikerat-kerat, masing-masing menciptakan identitas mereka sendiri, jauh dari persatuan ummat. Yang benar adalah bahwa umat Islam telah hidup bersama di bawah naungan Khilafah selama lebih dari 1300 tahun. Setelah munculnya kolonialisme dan pengkhianatan para pemimpin Muslim pada waktu itulah, kemudian Dunia Muslim, khususnya kepulauan Melayu, kaum Muslim yang terdiri dari Malaysia, Singapura, Thailand selatan, Brunei, Indonesia dan Filipina menjadi rusak dikerat-kerat menjadi potongan-potongan keil yang bisa diperintah oleh para penguasa independen. Racun assabiyyah dan wathaniyyah tertanam ke dalam tubuh umat Islam. Dengan racun ini, umat Islam bersedia melawan dan membunuh satu sama lain hanya demi membela ‘bangsa’ mereka, yang benar-benar hanya didasarkan pada batas-batas yang palsu yang ditetapkan oleh para penjajah kafir. Dengan sikap wathaniyyah sebangsa setanah air tertentu mereka akan mempertahankannya dari “serbuan” oleh ‘negara’ lain meskipun mereka adalah sesama muslim. Ini adalah persis apa yang terjadi di Malaysia dan Sulu. Perselisihan dan perang terjadi ketika masing-masing kelompok mengklaim dan berperang atas hak wilayah itu. Perasaan Wathaniyyah (Patriotisme) telah menutup rasa cinta, persaudaraan dan persatuan yang perlu ada pada sesama muslim.
Berdasarkan Islam, masalah pembayaran untuk menghibur bagi pewaris tahta Sultan Sulu seharusnya tidak ada dan pada saat yang sama, kita tidak seharusnya mengusir orang-orang Sulu, yang ingin tinggal di Sabah atau di setiap wilayah negara Malaysia, karena kita semua adalah saudara, kita harus bersatu dan adalah haram bagi seorang muslim untuk saling menyalahkan apalagi saling membunuh sesama saudara Muslim. Kaum Muslim harus memahami bahwa Wathaniyyah dan Assabiyyah adalah haram dan apa pun usaha atau upaya untuk memecah tanah kaum Muslim sebagaimana upaya untuk memisahkan Sabah dari Malaysia, atau memisahkan Timor Timur atau Aceh dari Indonesia, atau memisahkan Sudan Selatan dan Sudan Utara atau memecah Malaysia dan Indonesia dan sejenisnya, semuanya adalah haram. Apalagi ketika umat Islam berdebat dan saling membunuh satu sama lain untuk untuk melaksanakan pelanggaran hukum ini. Hal ini adalah dosa besar dan merupakan bencana kolosal bagi umat Islam.
“لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ”
“Bukan golongan kami orang yang menyeru kepada assabiyah, bukan golongan kami orang yang berperang atas ashabiyah dan bukan golongan kami orang yang mati atas asshabiyah” (HR. Abu Daud)
Wahai Para Pemimpin, Polisi, dan Tentara! Musuh kita sesungguhnya bukanlah sesama orang Muslim namun orang-orang Kuffar yang ingin menghancurkan kita. Misi sebenarnya dari tentara Muslim adalah untuk melawan orang-orang kafir, untuk membebaskan semua wilayah Muslim yang diduduki, untuk membebaskan umat Islam yang tertindas dan untuk menyatukan umat Islam di bawah naungan Negara Khilafah. Berbuatlah sungguh-sungguh bagi Allah untuk mempertahankan dan menyatukan wilayah-wilayah Islam, hanya atas nama Islam, bukan atas nama Wathaniyyah dan Assabiyyah yang dilarang oleh Allah SWT. (rz/www.khilafah.com,28/3)