Surat Terbuka Seorang Muslimah Untuk Femen: Mari Bicara Tentang Apa Arti Sesungguhnya Pembebasan Wanita
Pada Minggu ini, para wanita dengan setengah telanjang di kota-kota di dunia Barat mulai dari Paris, Kiev hingga Melbourne, dalam satu hari protes yang diorganisir oleh oleh Femen yang berbasis Ukraina, berdemonstrasi untuk menunjukkan kepada para wanita Muslim yang mereka anggap perlu untuk dibebaskan dari Islam dari apa yang mereka sebut, “hewan yang tidak manusiawi ‘ pada halaman facebook mereka.
Dan meskipun gerakan ini tidak sepenuhnya dianggap serius, (terutama karena hal ini dilakukan oleh para wanita yang mengaku dibebaskan, namun mereka berdiri bertelanjang di jalan-jalan yang tertutup salju) kampanye mereka dan waktu yang mereka pilih tampaknya telah memecahkan ‘botol yang sudah terlalu penuh’, yang hingga sekarang tidak akan berhenti mengalir. Tidak lama setelah dimulainya ‘Hari Jihad’, para wanita Muslim di seluruh dunia telah memobilisasi pandangan mereka atas kontra kampanye melawan Femen di halaman facebook mereka- ‘Wanita Muslim Melawan Femen’. Kelompok ini dalam sehari mengumpulkan 1000 likes, dan memicu semangat diskusi oleh para wanita Muslim di media sosial, yang dengan suara bulat menyetujui satu hal – para wanita Muslim tidak perlu dibebaskan oleh feminisme liberal Barat.
Dan mengapa?
Pertama, untuk membebaskan wanita adalah penting untuk menggunakan suatu perangkat yang benar-benar bisa melakukan pekerjaan itu, dan mencapai tujuan yang mereka cari –nilai, perlindungan, hak-hak dan akses ke masyarakat. Namun, jika Anda melihat feminisme liberal sekuler, yang dipertunjukkan oleh orang-orang seperti Femen, maka diperlukan suatu lompatan keyakinan, untuk bisa melihatnya sebagai suatu perangkat untuk pembebasan. Dan untuk menilai hal ini, mari kita lihat seberapa baikkah hal ini telah mampu mencapai tujuan yang ditetapkannya, yang merupakan hal yang paling penting.
Untuk memahami sudut pandang yang telah dicapai oleh wanita penganut liberalisme sekular, kita perlu mempelajari cara mereka dipandang dan diperlakukan. Dalam masyarakat seperti itu, kebebasan pribadi dan kebebasan seksual telah menghasilkan sebuah budaya pergaulan dimana melakukan keinginan seseorang adalah hal yang utama, diatas apakah hal itu benar atau bertanggung jawab. Dengan keinginan pria sebagai pembeli, bisnis besar menghasilkan pendapatan dengan menyediakan wanita sebagai komoditas seksual dalam segala hal mulai dari iklan, hiburan, kecantikan hingga berkembangnya industri pornografi. Maka, tidak diragukan lagi hal ini menjadi pandangan masyarakat liberal sekuler, pandangan dominan wanita, dan karena itu nilai seorang wanita melekat pada semenarik apakah mereka secara fisik.
Pandangan ini menodai setiap aspek kehidupan. Hubungan pria dengan wanita di rumah, di jalan dan di kantor didominasi oleh suatu pesan, bahwa wanita adalah komoditas seksual. Dan sebagai akibatnya, kita melihat kenaikan tingkat kejahatan seksual, pelecehan seksual, pemerkosaan, kurangnya komitmen pria, ayah yang melarikan diri dari tanggung jawab, kehamilan remaja, yang semuanya menjadi penyakit di masyarakat. Kebebasan pribadi mungkin telah memberikan kebebasan bagi wanita bertelanjang, namun efek pahit yang datang bersama dengan hal pemuliaan hak – yakni kebebasan bagi orang lain untuk memperlakukan wanita sebagaimana mereka inginkan – suatu hal yang tidak mudah ditelan begitu saja oleh seluruh dunia.
Dan bagaimana dengan isu kesetaraan gender? Hal ini tidak hanya memberikan pendidikan dan hak-hak pekerjaan yang sama, namun juga memaksa wanita untuk meniru kaum pria dalam setiap aspek kehidupan. Hal ini menyebabkan wanita harus menolak atau menunda perbedaan unik dalam hal gender yang mereka miliki – yakni menjadi seorang ibu dan memelihara keluarga.
Nilai, hak dan akses penuh ke masyarakat yang feminisme berusaha untuk capai dari sejak hari awal Wollstonecraft, sekarang tidak terlihat dan kita dibiarkan berada pada kekacauan yang rumit yang masih dipertunjukkan sebagai pembebasan. Namun, saya tahu tidak seorang pun yang menyangkal ada banyak masalah, namun jalan ke depan yang digantungkan di Barat adalah untuk tetap melakukannya.
Namun, wanita muslim tidak bisa menerima hal ini. Karena hal ini bukan mengenai bagaimana mengumpulkan remah-remah, namun ini adalah mengenai berpegang pada apa yang akan menjamin tercapainya tujuan yang tepat yang dicari oleh semua wanita. Dan wanita Muslim meyakini ide-ide dan sistem Islam yang memiliki kapasitas total untuk memenuhi tujuan yang dicari oleh semua wanita.
Islam memiliki pandangan yang unik yang menghormati kaum wanita dan melindungi diri mereka sebagai yang disabdakan oleh Nabi Muhammad (SAW),
“Dunia dan segala isinya adalah perhiasan, namun sebaik-baik perhiasan adalah seorang wanita sholehah.”
Pandangan seperti ini mengabadikan nilai wanita atas karakter dan siapakah dia, dan bagaimana dia terlihat. Islam menolak kebebasan pribadi dan kebebasan seksual, yang berarti tidak ada bisnis atau kaum pria dalam masyarakat memiliki kebebasan untuk mengeksploitasi, mengekspos seksualitas atau merendahkan martabat wanita dalam masyarakat. Ide dominan dalam masyarakat Islam akan kesadaran terhadap Allah menciptakan mentalitas pengendalian diri, dimana semua orang sadar bagaimana mereka memperlakukan orang lain dan seberapa baik mereka mengikuti pandangan kaum wanita.
Lebih lanjut, Islam kemudian memastikan sudut pandang yang tinggi atas wanita dan perlakuan terhadap mereka, yang dilindungi melalui sistem sosial Islam yang komprehensif – yang sering kali dianggap sebagai simbol kuat penindasan dari kampanye kaum feminis di Barat. Namun, sistem sosial Islam melalui aturan dan hukum-hukumnya benar-benar bertujuan untuk menghindari naluri seksual masyarakat, sehingga hal ini tidak menciptakan malapetaka bagi kaum wanita dalam kehidupan di masyarakat. Naluri tersebut tidak ditolak, namun disalurkan melalui ranah pribadi pernikahan, di mana hal ini bersatu dengan komitmen yang utuh dan kasih sayang.
Jadi, dalam kehidupan publik cara berpakaian yang menyembunyikan keindahan kaum wanita, pemisahan gender yang membatasi agitasi seksual antara kedua gender dengan membatasi interaksi mereka, pelarangan seksualisasi perempuan dalam masyarakat, serta hukuman keras yang bertindak sebagai pencegah hubungan seksual di luar nikah, semuanya memungkinkan kaum wanita untuk bisa pergi keluar untuk bekerja dalam kehidupan publik, untuk belajar, berdagang dalam lingkungan yang aman dan produktif. Hal ini adalah kehidupan publik di mana kontribusi mereka menjadi fokus, dan bukan daya tarik fisik mereka.
Femen masih percaya bahwa meskipun adanya suara yang kuat yang mendorong wanita Muslim untuk mengatakan mereka tidak perlu dibebaskan, ‘mata’ mereka masih menunjukkan bahwa mereka masih melakukannya. Akhirnya, Saya harus katakan kepada mereka bahwa apa pun yang mata, telinga atau wajah anda lihat, survei Gallup selama beberapa tahun terakhir atas wanita Muslim di seluruh dunia Muslim menyorot satu hal – Bahwa wanita Muslim lebih menginginkan Islam dan lebih menginginkan Syari’ah. Suatu yang jelas dan sederhana. Mereka telah melihat apa yang telah dilakukan oleh feminisme liberal Barat terhadap kaum wanita yang di mana pun mereka diinjak-injak, dan wanita Muslim tidak menginginkan satupun dari hal itu.
Apakah hal ini begitu sulit dimengerti?
(rz,Sumber : http://www.huffingtonpost.co.uk/shohana-khan/femen-lets-talk-about-liberating)
Mereka para wanita feminis, biasanya hanya mementingkan terjaminnya kebebasan wanita dlm segala bidang tnpa ternodanya kehormatan mereka, hnya mementingkan nafsu dan keinginan egois mereka.. Mreka tak bisa atau tak mau mengerti bhwa apa yang mereka perjuangkan justru membuat mereka smakin terpuruk.. Karenanya sulit bgi mereka untuk mengerti pemahaman Islam yang tak mementingkan nafsu tapi hanya mementingkan ridho Allah SWT dan kemaslahatan wanita yang sejati…