Pakar Kebijakan Publik Universitas Brawijaya: “Kedaulatan Negara Atas SDA Telah Hilang”

HTI Press. Pada tanggal 6 April 2013, Lajnah Kontak Intelektual Muslimah HTI Jatim berkesempatan bertemu dan berdiskusi bersama Prof. Sjamsiar, Pakar Kebijakan Publik dan Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya. Bertempat di Ruang Sidang Guru Besar lantai III Universitas Brawijaya Malang, pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam tersebut berlangsung dengan hangat. Konten diskusi yang diangkat dalam forum tersebut adalah seputar kebijakan pengelolaan SDA di Indonesia.

Merespon analisa yang disampaikan oleh Muslimah HTI melalui makalah yang sebelumnya sudah disampaikan kepada beliau bahwa terdapat ketidaktepatan pengelolaan SDA di Indonesia yang menimbulkan berbagai masalah lanjutan, Prof. Sjamsiar dengan tegas mengatakan bahwa telah terjadi hilangnya kedaulatan negara atas aset/kekayaan SDA dan Tambang karena faktor regulasi dan status Kepemilikan. Beliau menegaskan bahwa sebenarnya kekayaan kita melimpah, masalahnya manajemen pengelolaannya yang tidak benar sehingga merugikan. Manajemen SDA masih jauh dari amanah pasal 33 UUD 45. Utamanya regulasinya UU Migas no. 22/2001 dan UU Minerba no. 4/2009. Karena ini merupakan bidang kepakaran beliau maka benar-benar menjadi concern beliau. “Dua UU ini jika diperhatikan harus dirubah, oleh karena itu saya selalu mengusulkan ke KEMENDIKBUD supaya disetiap Kementerian ada policy analysis, pakar yang menganalisis UU ini, karena UU ini jika dikaitkan dengan pasal 33 UUD 45 tidak match, tidak harmoni malah menyimpang.

 

Adapun penyebab tergadainya kedaulatan negara dalam hal ini menurut beliau karena: pertama, Pola kontrak B to G (Business to Government) dalam Kontrak Karya/MoU yang dilakukan. Kedua, Penafsiran  DIKUASAI di Pasal 33 UUD 45 tidak diartikan DIMILIKI NEGARA. Ketiga, BUMN sebagai wakil negara statusnya disamakan dengan investor. Keempat, aset cadangan di perut bumi tidak tercatat di laporan Keuangan BUMN terkait. Kelima, kontraktor bisa mengklaim aset tersebut bahkan menjadikannya sebagai agunan dalam meminjam uang di Bank.

 

Diskusi pun menyentuh kepada sistem politik demokrasi yang menjadi jalan lahirnya berbagai kebijakan dan regulasi yang salah tersebut. Mulai dari proses rekrutmen caleg oleh parpol, hingga masuknya seseorang menjadi anggota parlemen atau penguasa dalam demokrasi yang sangat transaksional, berbiaya tinggi sehingga untuk bisa menjadi anggota DPR berkolaborasi dengan pemodal, termasuk untuk menjadi penguasa, sehingga ada transaksi-transaksi yang terjalin. Maka lahirlah UU yang membuka peluang adanya interest-interest segolongan partai politik. Hasilnya banyak UU dan Peraturan yang lebih pro kepada asing atau pro kapital. Ini adalah sesuatu yang embedded dalam sistem demokrasi.

Diskusi ditutup dengan kesepakatan untuk bisa bertemu di lain kesempatan membahas lebih detil penawaran Hizbut Tahrir untuk terwujudnya Indonesia dan dunia yang lebih baik dengan syariah-khilafah. Semoga menjadi pertemuan yang barakah. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*