RUU JPH: Upaya Melindungi Masyarakat Atau Legalisasi Proyek Bermotif Uang?
Pembahasan Rancangan undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) setelah sempat diangkat kembali di akhir Februari lalu, kini kembali ‘mandek’. Rancangan Undang-Undang yang sudah diusulkan sejak tahun 2004 ini hingga kini belum juga disahkan. Di kalangan pembuat kebijakan, pro kontra terus mengiringi upaya untuk mengesahkan rancangan undang-undang ini. Beberapa hal yang masih diperdebatkan antara lain terkait Badan atau Lembaga Penjamin Produk Halal dan sifat dari pendaftaran produk halal tersebut. Terkait siapa yang menjadi Badan atau Lembaga Penjamin Produk Halal, hingga kini masih ada perbedaan antara DPR dengan pemerintah. Pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Kementrian Agama bersikukuh bahwa kelembagaan tersebut semestinya berada di bawah Menteri Agama. Sementara DPR, terutama Fraksi PKS berpendapat bahwa kelembagaan ini harus langsung berada di bawah Presiden yang selama ini dipegang oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Makanan Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Tarik menarik wewenang sebagai lembaga pemberi sertifikasi di antara pihak Departemen Agama dan LPPOM MUI banyak yang menduga terkait komersialisasi pemberian sertifikat. Selain itu sifat dari pendaftaran produk halal juga masih diperdebatkan, apakah bersifat mandatory (wajib) atau bersifat voluntary (sukarela). (http://bimasislam.kemenag.go.id, 19 Februari 2013)
Sementara itu di masyarakat, selain arus opini yang terus mendesak agar RUU JPH segera disahkan, aktivitas penolakan terhadap RUU JPH juga banyak diaruskan oleh para pengusaha dan kelompok liberal. Sebagian pengusaha merasa keberatan karena dianggap akan merugikan mereka terkait biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan sertifikasi halal bagi produk yang diluncurkan. Sebagai contoh adalah pernyataan Sofyan Wanadi, pengusaha ini mengaku kecewa dengan RUU ini yang menurutnya hanya akan membatasi investasi. Pengaturan ini bahkan dirasakannya sangat mengerikan. Sementara itu kelompok liberal menganggap RUU yang tengah digarap itu sangat berbau sektarian dan hanya mengakomodir kepentingan sebagian golongan. Lebih jauh, RUU ini dianggap bertentangan dengan pembukaan UUD 1945, yang melindungi seluruh bangsa Indonesia. (Hidayatullah.com 9/9/2009).
Sebagian masyarakat bahkan ada juga yang menuduh bahwa selama ini telah terjadi upaya monopoli labelisasi halal oleh satu pihak, dalam hal ini Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Makanan (LPPOM) MUI yang sudah menangani layanan sertifikasi halal selama 20 tahun. Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) bahkan menolak kesepakatan bersama yang telah dibuat oleh ormas-ormas Islam untuk menyerahkan wewenang kepada LPPOM MUI sebagai lembaga pemberi sertifikasi halal. ISNU menganggap monopoli oleh LPPOM MUI memungkinkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan atau komersialisasi pemberian sertifikat halal sebuah produk. Dan untuk mengantisipasi hal itu, saat ini Pengurus besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah mendirikan Badan Halal Nahdlatul Ulama (BHNU) yang memiliki fungsi menerbitkan fatwa halal untuk produk makanan, obat-obatan, maupun kosmetik. (Republika, 28/2/2013). Meskipun ketua PBNU menyatakan bahwa BHNU bukan untuk menyaingi keberadaan LPPOM MUI dan hanya untuk melayani para produsen dan konsumen internal NU, namun tetap saja keberadaan BHNU akan menimbulkan kebingungan di masyarakat terkait standar halal yang harus diikuti.
Pemerintah Lalai, Masyarakat Dirugikan
Sebagai negeri dengan mayoritas penduduknya beragama Islam wajar saja jika selama ini masyarakat resah dengan banyak beredarnya makanan dan minuman yang tidak terjamin kehalalannya. Berdasarkan hasil survei MUI yang diumumkan Januari 2010, di Indonesia ada 30 ribu produk makanan dan minuman yang beredar, dan dari jumlah itu hanya 30% yang mencantumkan label halal, 70 % sisanya adalah subhat. (Republika,22/2/2010). Tidak adanya sanksi dari pemerintah bagi produsen yang tidak mencantumkan label halal pada produknya membuat mereka tidak merasa harus mengupayakan mendapatkan sertifikasi halal. Bahkan ada pula produsen yang mencantumkan sendiri label halal pada produknya tanpa merasa perlu mengurus sertifikasi halal yang memerlukan biaya untuk mendapatkannya. Masalah biaya memang banyak dikeluhkan oleh para produsen. Selama ini biaya pembuatan sertifikasi halal yang diajukan ke LPPOM MUI berkisar antara Rp. 250 ribu hingga Rp 5 juta tergantung tingkat kesulitan produk untuk diteliti. Tarif itu hanya untuk biaya penelitian, sementara biaya transportasi, honorarium dan lainnya semua ditanggung oleh pihak produsen yang mengajukan permohonan sertifikasi. Meskipun pihak LPPOM membebaskan biaya bagi pengusaha kecil yang memohon sertifikasi, tetap saja tarif sebesar itu dianggap memberatkan sehingga membuat banyak produsen enggan mengajukan permohonan.(detikfinance, 14/01/2013)
Sifat pendaftaran kehalalan produk yang bersifat sukarela dan tidak diwajibkan ini telah dimanfaatkan oleh sebagian produsen nakal yang tidak bertanggung jawab. Kasus-kasus beredarnya bahan makanan haram semisal penjualan daging sapi yang dicampur dengan daging babi yang terjadi akhir-akhir ini adalah contoh dari lemahnya jaminan produk halal yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu di masa perdagangan bebas saat ini, derasnya arus impor pangan dari luar semakin membuat masyarakat resah karena tidak adanya kewajiban bagi pihak importir untuk mencantumkan halal tidaknya produk mereka. Di lain pihak, berkembangnya teknologi di bidang industri makanan dan pertanian juga membuat masyarakat bingung dengan kehalalan dan keamanan dari produk-produknya. Tidak banyak masyarakat yang paham kehalalan dari beraneka ragam bahan tambahan pangan buatan seperti lesitin, gelatin, pewarna sintetis, dan lain-lain yang semua itu memerlukan penetapan khusus dari para ahli. Sebagaimana yang pernah terjadi pada produk impor dari Cina yang memasukkan bahan melamin ke dalam susu bubuk bayi. Apalagi ditambah dengan beredarnya produk-produk pangan hasil rekayasa genetik di pasaran yang tidak diketahui masalah keamanannya maupun kehalalannya oleh masyarakat.
Keresahan masyarakat yang terus memuncak mendorong masyarakat untuk terus mendesak pemerintah mengesahkan RUU JPH. RUU ini seakan menjadi harapan sebagian besar masyarakat muslim di negeri ini untuk bisa mengonsumsi pangan yang halal dan thoyyib setelah sebelumnya,UU Perlindungan Konsumen bahkan UU Pangan yang baru saja direvisi tidak banyak dirasakan implementasinya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ibu Ir. Tien Gartini, M.Si. yang bertugas di Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan BPOM RI. Menurut beliau, para pelaku yang ditemukan telah memproduksi makanan tidak thoyib dapat dikenai sanksi berdasarkan UU Pangan, yaitu kurungan lima tahun penjara atau denda 600 juta. Sedangkan berdasarkan UU Perlindungan Konsumen didenda kurungan enam tahun penjara atau denda dua miliar. Namun dalam kenyataannya pelanggar sering hanya dikenai denda Rp 150 ribu. Tidaklah mengherankan kita dapat menemukan banyak sekali produk berbahaya, utamanya produk impor, beredar di masyarakat.(hizbut-tahrir.or.id, 7/11/2008).
Dengan demikian bisa dibayangkan, bila untuk masalah keamanan pangan saja pemerintah saat ini telah begitu lalai apalagi di ranah kehalalan pangan. Sehingga tak heran jika masyarakat begitu berharap banyak terhadap RUU JPH. Sayangnya, para pengambil kebijakan seakan tidak mampu menghadapi perlawanan pihak-pihak yang tidak menginginkan disahkannya RUU JPH ini. Konflik yang terjadi di antara pengambil kebijakan sarat dengan motif kepentingan di antara para pengusaha dan penguasa yang tidak amanah. Fokus terhadap tugas penguasa sebagai pelayan umat telah luntur diganti dengan upaya mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi negara (baca:penguasa). Tidak ada lagi pelayanan yang utuh diberikan oleh penguasa saat ini bagi masyarakat tanpa dibarengi dengan upaya mencari keuntungan. Sementara rakyat harus terus hidup dengan rasa was-was atas kehalalan makanan yang mereka konsumsi karena tidak ada yang menjamin.
Masyarakat berhak atas Jaminan Pangan yang Halal, Thoyyib dan Terjangkau.
Allah telah memerintahkan kaum muslim untuk hanya mengonsumsi makanan yang halal dan thoyyib. Sebagaimana firman Allah:” maka makanlah makanan yang halal lagi thoyyib (baik) dari rizki yang telah Allah berikan kepadamu dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya menyembah kepadaNya””. (TQS An Nahl;114). Bahkan seorang muslim yang mengonsumsi makanan haram diancam dengan siksa pedih di neraka sebagaimana sabda Rasulullah SAW:…”dimana seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari barang haram, neraka adalah tempat yang layak” (HR. Thabrani). Standar halal dan thoyyib merupakan standar pangan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT Sang Pencipta manusia. Imam Ibnu Katsir menafsirkan halalan Thoyyiban dalam surat An-Nahl ayat 114 sebagai semua makanan yang ada di bumi yang halal dan baik, lezat tidak berbahaya bagi tubuh, akal pikiran dan urat syaraf manusia. Berdasarkan dalil tersebut maka ketersediaan pangan yang halal dan thoyyib bagi masyarakat khususnya kaum muslimin adalah suatu keharusan. Masyarakat harus mendapatkan kejelasan dan jaminan yang kuat akan kehalalan semua produk-produk makanan yang beredar di pasaran.
Berdasarkan dalil di atas maka ketersediaan pangan yang halal dan thoyyib bagi masyarakat khususnya kaum muslimin adalah suatu keharusan. Masyarakat harus mendapatkan kejelasan dan jaminan yang tegas akan kehalalan semua produk-produk makanan yang beredar di pasar. Paradigma mendasar Islam terkait produk makanan haram adalah Islam telah menetapkan bahwa bahan pangan maupun makanan yang haram bukanlah barang ekonomi sehingga tidak layak untuk beredar di pasar-pasar. Karena itu dalam Negara Khilafah, pangan haram tidak akan ditemui di pasar-pasar atau tempat umum lainnya. Pintu-pintu masuk barang dari luar negeri akan dijaga ketat dari masuknya makanan atau bahan pangan haram. Sementara di dalam negeri produksi dan peredaran makanan haram akan dilarang secara ketat. Kalaupun ada, maka makanan haram terbatas keberadaannya pada tempat-tempat khusus bagi warga non muslim yang peredarannya diawasi dengan sangat ketat.
Selain itu, Khilafah juga akan melakukan fungsi edukasi kepada masyarakat dengan memberikan sosialisasi secara terus menerus baik terhadap pihak konsumen maupun produsen terkait bahan pangan haram maupun produk makanan berbahaya sehingga masyarakat akan memahami jenis-jenis makanan/bahan pangan haram dan berbahaya yang dilarang untuk diproduksi maupun dikonsumsi. Dengan demikian bahan pangan dan produk makanan yang beredar di pasaran hanyalah produk-produk yang halal dan thoyyib saja. Dan bukan hanya itu, khalifah juga akan menjamin bahwa bahan makanan pokok akan dapat diperoleh oleh masyarakat dengan harga terjangkau. Dan terakhir, Khalifah akan menetapkan sistem sanksi yang tegas bagi siapa pun yang mengonsumsi, memproduksi, maupun mengedarkan makanan haram dan berbahaya secara bebas di tempat-tempat umum. Dengan demikian maka hak masyarakat terkait kehalalan dan keamanan pangan yang beredar di pasaran akan terjamin sepenuhnya.
Inilah pandangan Islam terkait peredaran makanan haram dan berbahaya di masyarakat. Dengan demikian, keberadaan RUU JPH sesungguhnya bukanlah solusi tepat untuk menjamin kehalalan dan keamanan pangan masyarakat. RUU JPH dijadikan solusi praktis bagi masyarakat saat ini ketika peredaran makanan/bahan pangan haram dibiarkan beredar bebas di pasaran seperti yang terjadi saat ini. Bahkan UU JPH bisa jadi hanya dijadikan alat bagi para produsen besar yang mampu membayar biaya sertifikasi kehalalan produknya untuk meningkatkan laba penjualan dagangannya yang sudah berlabel halal. Sementara para produsen kecil yang tidak mampu membayar biaya sertifikasi halal tersebut akan terpuruk dan kalah bersaing. .
Demikianlah, kehalalan dan keamanan pangan akan terjaga dengan baik di dalam Khilafah Islam. Masyarakat akan merasakan terjaminnya kehalalan makanan yang mereka konsumsi dan tidak perlu resah akan beredarnya makanan yang haram. Tidak hanya itu, masyarakat juga tidak perlu khawatir akan produk-produk makanan yang tidak aman, karena khalifah akan menjamin makanan yang beredar hanyalah makanan yang halal dan thoyyib. Dan yang tak kalah penting, Khalifah juga akan menjamin keterjangkauan dan ketersediaan bahan pangan pokok bagi tiap individu masyarakat melalui manajemen pangan yang baik. Wallahu a’lam bishawab.[]