Sejumlah calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengaku bahwa kompetisi merebut kursi legislatif pada Pemilu 2014 tak semata menjual visi dan misi. Untuk menggaet pemilih, kandidat mesti merogoh kocek miliaran rupiah. “Pemilu masih diwarnai pertarungan uang, bukan visi dan misi,” kata politisi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Martin Hutabarat kepada Tempo pekan lalu.
Martin mengatakan, calon legislator harus membiayai diri sendiri untuk memperkenalkan diri pada masyarakat. Martin, yang dipasang untuk daerah pemilihan Sumatera Utara II, mengklaim mesti menyiapkan sedikitnya Rp 1,3 miliar, masing-masing Rp 650 juta untuk mencetak baliho, dan Rp 750 juta untuk biaya tatap muka dengan para pemilih.
Calon legislator Partai Demokrat Ruhut Sitompul menambahkan, pertemuan tatap muka menghabiskan porsi paling besar. Ruhut, yang berencana maju dari daerah pemilihan Sumatera Utara I, mengklaim, politisi butuh sedikitnya Rp 1 miliar untuk menjadi calon legislator. Kurang dari itu, seorang calon sulit berkampanye. Sebabnya, katanya, partai tidak membantu kebutuhan dana kampanye calon.
Dalam penelitian disertasi doktornya, Wakil Ketua DPR Pramono Anung mengatakan, modal menjadi calon legislator tergantung latar belakang si kandidat. Figur publik dan artis biasanya menyiapkan dana maksimal Rp 600 juta. Sementara birokrat dan pengusaha, setidaknya menyediakan Rp 6 miliar. “Anggaran artis lebih sedikit karena sudah punya modal popularitas,” kata dia.
Pramono mengakui biaya calon selama kampanye tak sebanding dengan pendapatan bersih anggota DPR, yang rata-rata Rp 50 juta per bulan. Namun, seorang pengusaha yang terpilih menjadi anggota DPR bisa memanfaatkan kemudahan akses informasi tentang kebijakan pemerintah. Bermodal jaringan bisnis, mereka dapat mengantisipasi kebijakan yang diterbitkan pemerintah.
Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute Hanta Yuda menyatakan, tingginya biaya politik pada Pemilu 2014 bakal berdampak pada korupsi politik di Tanah Air. Ia menegaskan, tidak sedikit dari calon legislatif yang berharap uangnya kembali. Karena biaya politik tinggi bakal meningkatkan political cost dan juga memunculkan money politics,” kata Hanta.
Memulai debut sebagai calon legislator dari Partai NasDem, Taufik Basari, yang juga pengacara, hanya menyiapkan dana Rp 200 juta. Sejak awal ia bertekad menghindari politik biaya tinggi. Jika dana yang dihabiskan terlalu banyak, ujar Taufik, legislator hanya berpikir mengembalikan modal selama kampanye. “Saya akan membangun kesadaran masyarakat soal ini.” (tempo.co, 22/4)