Menggagas Sistem Kesehatan Anti Malpraktek

Bayi Edwin korban malpraktek (foto:detik.com)

Oleh Rini Syafri (Lajnah Mashlahiyah Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia)

Tidak saja mahal, kebijakan pemerintah yang menjadikan pengelolaan penyelenggaraan pelayanan kesehatan berjalan di atas prinsip-prinsip neoliberalistik juga menyisakan persoalan kualitas pelayanan kesehatan yang serius  Maraknya (dugaan) malpraktek (kesalahan tindakan kedokteran) adalah bukti nyata atas semua itu.

Sebut saja petaka yang menimpa bayi Edwin (2,5 bulan). Tindakan kedokteran sehubungan demam yang dideritanya berujung pada kehilangan dua ruas jari telunjuk kanan (Diringkas dari berita Kompas.com, 10/4/2013); Petaka yang menimpa RAP (10 tahun).  Setelah diberi  tindakan operasi usus buntu tidak bisa melihat, bicara, mendengar dan merespon; EMD (10 bulan), tindakan transfusi darah yang diterimanya berujung pada perdarahan di seluruh organ tubuh yang berakhir dengan kematian.(Diringkas dari berita Kompas, 16 Januari 2013). Dan masih banyak lagi petaka serupa.

Berdasarkan  penuturan Ketua MKDKI-KKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia- Konsil Kedokteran Indonesia) Prof. Dr. Ali Baziad, SpOG(K), dari 183 pengaduan malpraktek, selama enam tahun (2006-2012), ada 57 dokter terbukti melanggar disiplin kedokteran (Antaranews.com, 20 Nov. 2012).  Seperti  persoalan sosial lainnya yang mengikuti kaidah fenomena gunung es, kejadian malpraktek yang sesungguhnya tentu jauh lebih besar.

Sistem Kesehatan Neolib Sumber Petaka  

Kompetensi dokter yang bermasalah merupakan faktor penting pemicu malpraktek yang marak akhir-ahir ini.   Sebagai gambaran betapa seriusnya persoalan ini, terlihat dari hasil uji kompetensi dokter yang diadakan secara nasional setiap tahun.  Yaitu dari pengujian terhadap 7.000 hingga 7.500 dokter, rata-rata yang tidak lulus 30-35 persen, demikian Ketua Komite Internsip Dokter Indonesia Prof.  Mulyohadi Ali, dr SpF (K) (Antara News.com, 20 September, 2012).

Realitas buruk ini juga dibenarkan oleh penelitian Widyandana dan Hikmawati (2009), dengan judul  Perbandingan Tingkat Pencapaian Kompetensi Dokter Muda di Rumah Sakit dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia.  Yaitu tingkat capaian kompetensi keterampilan klinis terkait Ilmu Bedah, Penyakit Dalam, Kesehatan Anak, dan THT-KL terhadap mahasiswa kedokteran FK-UGM yang telah lulus stase pada bagian-bagian tersebut ada yang 0%, meskipun juga ada yang 100% (Jurnal Pendidikan Kedokteran dan Profesi Kesehatan Indonesia.  Vol 4/ No 1/ April 2009).

Bila dicermati secara seksama, seriusnya persoalan kompetensi dokter tersebut merupakan keniscayaan dari kebijakan pemerintah yang neolib.  Karena faktanya logika-logika liberalisme telah menjauhkan pemerintah dari fungsi yang semestinya dalam penyelenggaraan sistem pendidikan kedokteran. Seperti dalam hal pengalokasian anggaran.  Pemerintah menjadikan unsur kinerja (baca komersial) sebagai prinsip utama, bukan pelayanan.

Selanjutnya, logika jahil (bodoh) tersebut diformalkan melalui sejumlah produk legislasi. Misal, UU No 17 Th 2003 tentang Keuangan Negara; serta pasal 68 dan 69 UU No 1 Th 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sejalan dengan kebijakan anggaran yang batil tersebut, pemerintah pun mem-BLU-kan (BLU:Badan Layanan Umum) pendidikan kedokteran.  Yaitu sebagaimana  pasal 64 dan 65 UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (sebelumnya UU Badan Hukum Pendidikan).

Sebagai gambaran, sesuai pandangan neolib tersebut, sekalipun sudah nyata dibutuhkan anggaran yang besar untuk pelayanan kesehatan, namun pemerintah hanya menganggarkan 2% GDP untuk pendidikan dan kesehatan, sementara untuk membayar hutang 10% dari GDP (suarapembaharuan.online.15/1/2013). Sementara itu, pada pengajuan APBN 2013, pengalokasian anggaran KemenKes sebagian besar justru untuk belanja birokrasi (50,83%), pelayanan kesehatan (49.30%). Di samping juga masih dipertanyakan beberapa mata anggaran pelayanan (pelitaonline.com. 18/9/2012).

Akibatnya, nuansa industri dan bisnis begitu menonjol pada sistem pendidikan kedokteran, mulai dari in-put (calon peserta didik pendidikan kedokteran), proses (kurikulum) hingga out-put (dokter).  Sangat mahalnya ongkos yang harus dibayar untuk menjalani pendidikan kedokteran, yang uang masuknya saja mencapai ratusan juta rupiah, mengakibatkan pemerintah, gagal mendapatkan in-put (calon mahasiswa kedokteran) terbaik secara memadai.  Kondisi ini diperparah oleh kurikulum pendidikan kedokteran yang sekuler lagi liberal, yang rentan disusupi kepentingan korporasi farmasi.

Persoalan barupun muncul sejak diberlakukan pemerintah kurikulum berbasis kompetensi (KBK), tahun 2006.  Karena masa pendidikan yang relatif singkat dengan aktivitas pendidikan terpusat pada peserta didik menjadikan peserta kurang cukup waktu dan kesempatan untuk menguasai ilmu-ilmu dasar kedokteran yang dibutuhkannya untuk menjadi dokter yang kompeten.

Tidak hanya itu,  kebijakan pemerintah meliberalkan sistem pendidikan kedokteran pada faktanya mengakibatkan permasalahan mutu pendidikan kedokteran.  Yaitu baik akibat kebijakan/politik anggaran liberal, maupun akibat mudahnya perizinan pendirian pendidikan kedokteran baru.  Sebagai gambaran betapa memprihatinkan persoalan ini adalah apa yang dipaparkan Antaranews.com, 20/10/2012) yang lalu.  Yaitu dari 72 kampus kedokteran di Indonesia baru sekitar 14 fakultas yang mendapatkan akreditasi A dan sisanya akreditasi B dan paling banyak adalah C.

Hasilnya, secara keseluruhan kebijakan pemerintah meliberalkan sistem pendidikan kedokteran hanyalah berujung pada minimnya tenaga dokter (umum, spesialis) dan memberikan ruang yang luas bagi lahirnya para dokter  dengan kompetensi bermasalah.  Tentunya tidak bermaksud menegasikan adanya para lulusan pendidikan kedokteran yang tidak demikian.

Kondisi ini semakin diperparah oleh kebijakan neoliberalisme pemerintah dalam pengelolaan pelayanan kesehatan.  Dimana kebijakan anggaran yang berbasis komersial berujung pada kebijakan pemerintah mem-BLU-kan pelayanan kesehatan pemerintah, sebagaimana ketentuan ayat 3 pasal 7, UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Artinya institusi pelayanan kesehatan pemerintah harus menjual (baca:mengkomersialkan) jasa pelayanan kesehatan untuk menjalankan fungsi pelayanan.

Manajemen pelayanan kesehatan berbasis komersialpun menjadi pilihan.  Institusi pelayanan kesehatan milik pemerintah berubah menjadi industri dan bisnis pelayanan kesehatan.  Relasi dokter dan pasien tak lebih dari sebatas penjual dan pembeli jasa yang rawan ditumpangi kepentingan industri pelayanan kesehatan.

Sering dokter harus bekerja di luar kapasitas kemanusiaannya.  Baik karena jumlah jam kerja yang tidak patut, jumlah pasien yang terlalu banyak, gaji yang tidak memadai, maupun akibat fasilitas kesehatan yang terbatas dan bermasalah.  Ini semua pada akhirnya menjadi potensi/pemicu berikutnya bagi kesalahan tindakan kedokteran yang sangat membahayakan jiwa dan keselamatan pasien.

Tidak hanya itu, nilai-nilai hedonis dan materialistis yang berkembang di masyarakat, sikap empati yang salah sesama sejawat dokter,  kolusi antara dokter-institusi layanan kesehatan dan perusahaan farmasi serta hukum yang dikomersialkan, kebutuhan hidup yang mahal, semuanya berkelindan memfasilitasi para dokter pada tindakan ceroboh yang tidak saja membahayakan kesehatan namun juga jiwa pasien.

Jelaslah, maraknya malpraktek adalah buah pahit dari diterapkannya sistem kehidupan kapitalisme/neolib jahil lagi bodoh, yang menyalahi Islam.  Yang sistem kesehatan bagian integral darinya.  Di mana pemerintah sistem politik demokrasi dengan kebijakan neolibnya memiliki peran kunci dalam petaka kemanusiaan ini.  Sungguh Allah telah mengingatkan dalam QS Al Maidah:50, artinya,”Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki,..”.

Sistem Kesehatan Khilafah Anti Malpraktek

Sungguh jauh berbeda dengan sistem kesehatan Khilafah.  Sebagai bagian integral dari sistem kehidupan Islam secara keseluruhan, sistem kesehatan Khilafah dibangun di atas fondasi yang kokoh lagi benar untuk menjamin kehidupan dan terjauhnya tindakan kesalahan kedokteran (malpraktek).

Yaitu manakala Allah SWT telah memberikan tanggung jawab dan kewenangan penuh kepada Pemerintah/ Khalifah untuk mengelola penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan pendidikan termasuk pendidikan kedokteran.  Tugas mulia ini tidak boleh dilalaikan sedikitpun, apapun alasannya.  Demikian ditegaskan Rasulullah SAW, yang artinya,”Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala.  Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).

Terkait kompetensi dokter.  sistem pendidikan Islam, termasuk pendidikan kedokteran, benar-benar sempurna pada tataran input, proses maupun output. Kebijakan sistem pendidikan Khilafah bebas biaya, kurikulum berdasarkan aqidah Islam menjadi jalan sebaik-baiknya bagi lahirnya para peserta didik pendidikan kedokteran, baik dari segi jumlah maupun kompetensi. Sementara itu, pendidikan kedokteran yang bebas biaya, dan kurikulum pendidikan kedokteran yang berdasarkan aqidah Islam bagai lahirnya para  dokter kompeten meniscayakan tercetaknya para dokter dengan komptensi sejati, dengan waktu yang tepat.

Bersamaan dengan itu, Khilafah hanya akan menyelenggarakan pelayanan kesehatan di atas prinsip-prinsip pelayanan/sosial dan sesuai  dengan etik kedokteran Islam.  Para dokter yang jumlahnya memadai dengan kompetensi terbaik akan dipekerjakan Negara pada institusi-institusi pelayanan kesehatan Khilafah.  Mereka digaji secara patut, dan ditugasi sesuai kapasitas.  Tidak hanya itu, kebijakan Khilafah yang berorientasi pelayanan meniscayakan tersedianya fasilitas kesehatan, sarana prasarananya secara memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.   Sistem sangsi  Islam yang bersifat pencegah-penebus, atmosfir ketakwaan dan kesejahteraan yang melingkupi menjadikan sistem kesehatan Khilafah benar-benar terjauh dari bahaya petaka malpraktek.

Adapun kemampuan finasial pemerintah dalam pengelolaan dua pelayanan di atas, yang keduanya merupakan sub sistem dari sistem kesehatan, adalah hal yang niscaya ketika pengelolaan kekayaan Negara yang didasarkan prinsip-prinsip Islam, ini di satu sisi.  Di sisi lain, sikap Pemerintah/Khalifah yang amanah, anti korupsi (hal niscaya dalam penerapan sistem politik pemerintahan Islam?Khilafah),  menjadikan pengalokasian anggaran benar-benar tepat sasaran.

Sungguh, hanya sistem kehidupan Islam, Khilafah sajalah satu-satunya sistem yang akan menghentikan maraknya malpraktek, pemberi kehidupan.  Allah telah mengaskan dalam QS Al Anfal :24, artinya,”Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apa bila dia menyerukanmu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu..”.

Allahu A’lam.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*