IDI : Bukti Kerusakan Demokrasi dan Penentangannya terhadap Islam
Bagi muslim, memperbincangkan demokrasi lalu menilainya dengan kaca mata yang benar memiliki nilai tersendiri di antara berbagai aktivitasnya sebagai hamba Allah SWT. Sebab, aktivitas ini pada hakikatnya sama dengan upaya memperhatikan urusan umat Islam yang kewajibannya telah dinyatakan oleh Rasulullah Saw dalam berbagai haditsnya. Mengapa demikian? Tentu, karena berbagai persoalan yang menimpa umat Islam saat ini, baik di Indonesia maupun negeri-negeri muslim lainnya, diyakini berkaitan erat dengan paham dan sistem demokrasi yang tengah diterapkan. Inilah yang mengharuskan setiap muslim agar memperhatikan sepak terjang demokrasi dan pengaruhnya bagi umat Islam untuk kemudian bersikap sesuai tuntunan Syariah.
Sebagai sebuah sistem yang diaruskan Barat dan diterapkan di Indonesia, pemerintah merasa berkepentingan untuk mengukur sejauh mana keberhasilan demokrasi diterapkan di negara ini. Apalagi Barat (baik melalui instrumen PBB maupun tangan-tangan negara adikuasa AS) senantiasa melakukan pemantauan atas pelaksanaan demokrasi. Bahkan mereka tak segan-segan memberikan ultimatum dan sanksi bagi negara yang dianggap gagal melaksanakan demokrasi.
Salah satu standar untuk mengukur keberhasilan tersebut adalah Indeks Demokrasi Indonesia (IDI). Ketika nilai-nilai dalam IDI berhasil diperoleh, maka secara kuantitatif pelaksanaan demokrasi dapat diukur. Dengan kata lain, untuk mengetahui pelaksanaan demokrasi, bisa dengan memperhatikan apa yang ditunjukkan IDI. Sebab, nilai IDI menunjukkan pelaksanaan demokrasi.
Dengan demikian, amatlah penting untuk menelusuri apa yang terkandung dalam IDI sehingga bisa ditentukan apa yang sesungguhnya diharapkan dan telah dicapai oleh demokrasi. Maka, IDI pun tentunya bisa digunakan untuk menilai demokrasi ; benarkah ia sistem yang bertentangan dengan Islam? Dan sejauh manakah penentangannya? Inilah yang hendak diungkap dalam pembahasan ini.
IDI: Ukuran Keberhasilan Demokrasi
Meski sudah mendapatkan penghargaan sebagai salah satu negara paling demokratis, pemerintah Indonesia tidak tinggal diam untuk meningkatkan ‘kualitas’ demokrasinya. Alat ukur untuk menentukan seberapa berhasilkah demokrasi di Indonesia pun dibuat. Meski beragam, salah satu alat ukur yang hingga kini menjadi acuan (referensi) keberhasilan demokrasi di Indonesia adalah IDI (Indeks Demokrasi Indonesia).
Indeks demokrasi itu sendiri merupakan alat bantu untuk menunjukkan secara jelas dan sederhana seberapa demokratis atau seberapa tidak demokratis sebuah negara. Pemerintah Indonesia telah menetapkan IDI sebagai salah satu target sektoral yang hendak dicapai dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Hal ini menunjukkan tingginya komitmen pemerintah dalam membangun demokrasi sebagai salah satu prioritas pembangunan di bidang politik.
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) merupakan angka-angka yang menunjukkan tingkat perkembangan demokrasi di seluruh provinsi di Indonesia berdasarkan beberapa aspek tertentu dari demokrasi. Untuk tujuan itu, pemahaman terhadap apa yang dimaksud dengan ”demokrasi” itu sendiri menjadi hal yang fundamental dalam penyusunan IDI. Dari pengertian atau definisi yang diperoleh, kemudian diturunkan dimensi-dimensinya, hingga variabel-variabel dan indikator-indikatornya.
Diakui, cukup sulit mencari kesepakatan dari semua pihak tentang pengertian atau definisi demokrasi. Ketika ada yang mendefinisikan demokrasi secara ideal atau juga disebut sebagai definisi populistik tentang demokrasi, yakni sebuah sistem pemerintahan ”dari, oleh, dan untuk rakyat” maka pengertian demokrasi demikian tidak pernah ada dalam sejarah umat manusia. Sebab, tidak pernah ada pemerintahan dijalankan secara langsung oleh semua rakyat; dan tidak pernah ada pemerintahan sepenuhnya untuk semua rakyat (Dahl 1971; Coppedge dan Reinicke 1993).
Selanjutnya, ketika pengertian ”demokrasi populistik” hendak tetap dipertahankan, maka Dahl mengusulkan konsep ”poliarki” sebagai pengganti dari konsep ”demokrasi populistik” tersebut. Poliarki dinilai lebih realistik untuk menggambarkan tentang sebuah fenomena politik tertentu dalam sejarah peradaban manusia sebab poliarki mengacu pada sebuah sistem pemerintahan oleh ”banyak rakyat” bukan oleh ”semua rakyat”, oleh ”banyak orang” bukan oleh ”semua orang.”
Dari penelaahan tentang definisi demokrasi tersebut maka IDI mengukur pelaksanaan demokrasi dari tiga aspek, yaitu Kebebasan Sipil, Hak-hak Politik, dan Lembaga Demokrasi. Pada masing-masing aspek dikembangkanlah beberapa indikator. Yang paling menarik adalah aspek kebebasan sipil yang memiliki 4 indikator, yaitu kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat, kebebasan berkeyakinan dan kebebasan dari diskriminasi.
Sedangkan aspek hak-hak politik diindikasikan dengan hak memilih dan dipilih, partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan. Adapun dalam aspek lembaga demokrasi terdapat indikator pemilu yang bebas dan adil, peran DPRD, peran partai politik, peran birokrasi pemerintah daerah dan peran peradilan yang independen.
Adanya aspek kebebasan sipil dalam IDI menjadi amat menarik untuk dikritisi. Aspek yang diturunkan ke dalam empat variabel tersebut semakin menguatkan pandangan bahwa demokrasi telah mensyaratkan adanya 4 (empat) kebebasan sesuai penggagasnya. Adapun filosofinya, agar rakyat dapat menjadi penguasa bagi dirinya sendiri serta dapat melaksanakan kedaulatan dan menjalankan kehendaknya sendiri secara sempurna —baik dalam pembuatan undang-undang dan peraturan maupun dalam pemilihan penguasa— tanpa disertai tekanan atau paksaan, maka kebebasan individu menjadi prinsip yang harus diwujudkan oleh demokrasi bagi setiap individu rakyat. Dengan demikian rakyat akan dapat mewujudkan kedaulatannya dan melaksanakan kehendaknya sendiri sebebas-bebasnya tanpa tekanan atau paksaan.
Oleh karena itulah demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang dibuat manusia, dengan tujuan untuk membebaskan diri dari kezhaliman dan penindasan para penguasa terhadap manusia atas nama agama. Itulah yang menyebabkan aspek kebebasan sipil menjadi aspek utama dalam IDI (dan demokrasi).
Dengan demikian, apa yang disangkakan kebanyakan orang bahwa demokrasi adalah sistem politik yang hanya menekankan pada aspek pemilihan penguasa atau berjalannya organisasi politik tentunya keliru. Sebab, aspek kebebasan sipil menjadi prasarat utama berjalannya aspek yang lain.
Masalah lainnya, tidak ada terminologi yang jelas atas kebebasan sipil yang dikehendaki demokrasi. Hal ini menyebabkan pelaksanaan demokrasi yang mengusung kebebasan sipil, tidak berdampak positif bagi rakyat itu sendiri. Pada banyak kasus kebebasan sipil menimbulkan masalah. Hal ini bukan saja karena kebebasan tersebut bersifat absurd, namun juga karena masalah ini berseberangan secara diametral dengan akidah Islam –sebuah keyakinan yang tak boleh diselisihi oleh setiap muslim.
Menentang Islam
Konsep kebebasan yang tercermin dalam IDI sesungguhnya adalah perkara yang menyelisihi sistem Islam. Secara akal pun, bila kebebasan ini menjadi acuan maka yang akan terjadi adalah disharmonisasi sosial. Sebab, konsep kebebasan yang dikehendaki demokrasi sangat absurd sehingga memastikan terjadinya benturan di antara kebebasan yang berkembang di masyarakat. Terlebih jika standar/tolak ukur untuk menilai baik dan buruk tidak sama antar anggota masyarakat.
Maka, bisa jadi berpakaian yang menutup aurat bagi satu kelompok dianggap menghalangi kebebasan perempuan atau dianggap sebagai salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Padahal pelaksanaan hal tersebut muncul karena keinginan hidup sesuai tuntunan Islam. Oleh karena itu, mengukur keberhasilan demokrasi dengan indikator kebebasan sipil cenderung akan melahirkan konflik bahkan penentangan terhadap pelaksanaan ajaran Islam.
Sesungguhnya Islam memerintahkan agar setiap umatnya berpegang teguh dengan ajaran Islam. Seluruh perbuatan manusia bahkan seluruh benda-benda yang digunakannya dan atau berhubungan dengan perbuatan manusia, hukum asalnya adalah terikat dengan hukum-hukum Islam. Keumuman ayat-ayat hukum menunjukkan bahwa dalam masalah-masalah tersebut wajib hukumnya merujuk kepada Syariah. Allah SWT berfirman :
“Apa-apa yang diberikan/diperintahkan Rasul kepada-mu maka terimalah/laksankanlah, dan apa yang dila-rangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (TQS. Al-Hasyr [59] : 7)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muham-mad) sebagai hakim/pemutus terhadap perkara yang mereka perselisihkan,…” (TQS. An-Nisaa’ [4] : 65)
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (TQS. Asy-Syuura [42] : 10)
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul(Nya) (Sunnahnya).” (TQS. An-Nisaa’ [4] : 59)
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (TQS. Al-Ahzab [33] : 36)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (-Nya) dan ulil amri (penguasa muslim yang menjalankan Syari’at Islam) di antara kamu.” (TQS. An-Nisaa’ [4] : 59)
Mentaati Allah dan Rasul-Nya tidak mungkin terwujud kecuali dengan mengamalkan dan mengambil hukum-hukum Syariah yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya.
Rasulullah Saw. juga pernah bersabda :
“Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang tak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” (HR. Muslim)
“Siapa saja yang mengada-adakan —dalam urusan (agama) kami ini— sesuatu yang tidak berasal darinya, maka hal itu tertolak.” (HR. Bukhari)
Demikianlah bahwa Allah SWT sesungguhnya telah memerintahkan kaum muslim untuk berpegang teguh dengan apa yang telah diputuskan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana Dia telah memerintahkan mereka untuk kembali (merujuk) kepada hukum Allah dan hukum Rasul-Nya ketika terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat.
Dengan kata lain, mengikuti hukum Syariah dan terikat dengannya adalah wajib. Baik yang berkaitan dengan perbuatan manusia maupun benda-benda yang digunakannya. Dengan demikian, seorang muslim tidak boleh melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, kecuali setelah mengetahui hukum Allah untuk perbuatan itu. Oleh karena itu, berlakulah kaidah untuk perbuatan manusia bahwa hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum Allah.
Perintah untuk terikat dengan hukum syariat sejalan dengan larangan kepada kaum muslimin untuk mengambil hukum dari selain Syari’at Islam. Allah SWT berfirman :
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (TQS. An-Nuur [24] : 63)
“Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari (kufur terhadap) thaghut itu.” (TQS. An-Nisaa’ [4] : 60)
Di samping kewajiban untuk terikat dengan seluruh hukum Allah SWT, karakteristik hukum syariah Islam pun menunjukkan bahwa tidak ada alasan untuk tidak terikat dengan hukum Islam. Sebab, Syariah Islam secara sempurna telah meliputi seluruh fakta yang telah ada, problem yang sedang terjadi, bahkan kejadian yang mungkin akan ada pada masa mendatang. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi, baik pada masa lalu, saat ini, maupun masa depan, kecuali ada hukumnya dalam Syariah Islam. Jadi, Syariah Islam telah menjangkau semua perbuatan manusia secara sempurna dan menyeluruh.
Allah SWT berfirman :
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat dan pemberi kabar gembira bagi orang-orang Islam.” (TQS. An-Nahl [16] : 89)
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian ni’mat-Ku, dan telah Kuridlai Islam itu menjadi agama bagi kalian.” (TQS. Al-Maaidah [5] : 3)
Demikianlah, syariah Islam tidak pernah melalaikan satu pun perbuatan manusia. Apapun jenis perbuatan manusia, Syariah Islam pasti akan menetapkan dalil untuk suatu perbuatan melalui nash Al-Quran dan Al-Hadits, atau dengan menetapkan petunjuk (amaarah) dalam Al-Quran dan Al-Hadits yang menunjukkan maksud dari tanda tersebut atau menunjukkan alasan penetapan hukumnya, sehingga hukum yang ada dapat diterapkan pada setiap objek hukum yang mengandung tanda atau alasan tersebut.
Dengan demikian, tidak mungkin manusia diberi kebebasan untuk berbuat tanpa mempertimbangkan (dan mengikatkan diri) dengan hukum Syariah. Sebab, setiap jenis perbuatan manusia pasti memiliki status hukum. Dan manusia hanya boleh melakukan jenis perbuatan yang diperintahkan. Sebaliknya, ia harus meninggalkan perbuatan yang dilarang.
Dengan demikian, kebebasan sipil yang dituntut oleh demokrasi benar-benar bertentangan dengan Islam. Islam mengharuskan setiap penganutnya untuk masuk Islam secara keseluruhan (kaffah). Allah SWT berfirman dalam QS al-Baqarah : 208 yang artinya :
”Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata”.
Kebebasan berkeyakinan sebagai salah satu indikator dalam aspek kebebasan sipil ini juga telah jelas menyimpang dari aqidah Islam. Sebab, IDI menilai bahwa demokrasi dianggap berhasil jika tidak ada aturan atau tindakan para pejabat yang membatasi atau menganjurkan masyarakat untuk melaksanakan ajaran agamanya. Hal ini tentu menjadi sangat ironis. Bagaimana jika tindakan tersebut memang diperintahkan agama? Artinya, demokrasi menghendaki umat Islam dipaksa untuk bebas dari keterikatan terhadap agamanya.
Adapun indikator kebebasan berpendapat dalam IDI menunjukkan bahwa demokrasi dianggap berjalan dengan baik jika masyarakat bebas menyatakan pendapatnya tanpa tekanan dan ancaman, tidak memperhatikan apakah pendapatnya benar atau salah. Demokrasi menghendaki siapapun anggota masyarakat mendapat jaminan dalam berpendapat. Masalah ini pun jelas bertentangan dengan syariah Islam yang mengharuskan setiap muslim terikat dengan hukum Islam dalam mengemukakan pendapat. Hanya pendapat yang tidak bertentangan dengan hukum Islam saja yang boleh dikembangkan. Adapun pendapat atau pemikiran yang sesat dan keliru tidak diperbolehkan berkembang dalam masyarakat Islam. Setiap muslim diperintahkan untuk mengambil segala sesuatu yang berasal dari Islam. Allah SWT berfirman :
”Dan barang siapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan pernah diterima darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi”. (TQS ali- Imran [3] : 85)
Dalam berkumpul dan berserikat pun setiap muslim terikat dengan hukum syariah. Sebab, syariah Islam tidak menghendaki kaum muslim berkumpul atau mendirikan perserikatan yang bertujuan untuk menentang agama Allah atau berasas di luar Islam. Inilah penentangan indikator kebebasan berkumpul dan berserikat dalam IDI.
Sedangkan pada kebebasan dari diskriminasi, pelaksanaannya justru banyak menimbulkan masalah. Misalnya, tindakan yang dilakukan muslim untuk berpegang teguh pada agamanya bisa dianggap diskriminatif sehingga harus ditinggalkan. Perintah mewajibkan menggunakan penutup aurat, memberikan aturan khusus bagi perempuan ketika keluar rumah, dan lain-lain pun bisa dianggap diskriminatif pada saat demokrasi tidak memiliki standar yang baku.
Dengan demikian, semangat demokrasi menghendaki umat Islam tidak melakukan tindakan apapun yang dianggap berdampak diskriminatif sekalipun berasal dari ajaran agama. Indikator ini menunjukkan dengan jelas keinginan demokrasi untuk memangkas pelaksanaan hukum Islam. Padahal hal ini bertentangan dengan firman Allah SWT :
”Apakah kalian beriman dengan sebagian kitab dan ingkar kepada sebagian yang lain, maka balasan bagi orang-orang yang melakukan demikian itu di antara kalian hanyalah kehinaan di kehidupan dunia, dan di hari akhir akan diseret ke adzab yang pedih” (TQS. al- Baqarah [2] : 85)
Demikianlah, demokrasi yang dicirikan dengan kebebasan sipilnya menganjurkan penganutnya untuk berbicara dan bertingkah laku sesukanya, mengambil sebagian ajaran agama dan mencampakkan sebagian yang lainnya. Padahal setiap muslim diperintahkan untuk beriman terhadap seluruh isi Al Qur’an, meyakini kebenarannya dan mengamalkan dalam kesehariannya.
Lebih dari itu, ide kebebasan –apapun bentuknya- sesungguhnya telah memerosotkan martabat berbagai masyarakat yang mengembannya. Ide itu juga telah menyeret mereka untuk mengambil gaya hidup serba-boleh (permissiveness), yang bahkan tidak dijumpai dalam pergaulan antar binatang. Maha Benar Allah SWT yang berfirman :
“Terangkanlah kepada-Ku tentang orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya ? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami ? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (TQS. Al-Furqaan [25] : 43-44)
Penutup
IDI (Indeks Demokrasi Indonesia) merupakan gambaran hakikat demokrasi. Indikator yang ada dalam IDI mencerminkan demokrasi yang dikehendaki. Oleh karena itu, ketika kebebasan sipil –yang merupakan salah satu aspek dalam IDI- secara nyata bertentangan dengan Islam, maka demikian pula halnya dengan demokrasi. Sehingga bisa dikatakan bahwa demokrasi pun bertentangan dengan Islam. Jadi, nyatalah kerusakan demokrasi dan penentangannya terhadap Islam yang dibuktikan dari indikator-indikator dalam IDI.
Sesungguhnya pula, demokrasi menghasilkan masyarakat yang bebas, tidak terikat sepenuhnya terhadap syariah Islam. Apa yang dipahami sebagian besar anggota masyarakat tentang demokrasi selama ini ternyata keliru. Mereka umumnya mengindetifikasi demokrasi hanya pada aspek musyawarah atau pemilihan pemimpin dan anggota legislatif. Padahal, aspek kebebasan sipil dalam IDI mengungkap dengan jelas bahwa demokrasi adalah sistem politik pemerintahan yang terikat dengan pandangan hidup yang bertentangan dengan Islam. Ia adalah sebuah hadloroh (peradaban) Barat yang haram diambil, bukan uslub atau sekedar tata cara yang sifatnya mubah bagi kaum muslim. Inilah yang harus disadari oleh seluruh umat.
Dengan demikian, tidak ada tempat bagi demokrasi dalam sistem Islam. Ia selayaknya ditolak karena bertentangan dengan Islam. [] Noor Afeefa