Habis Gelap, Tak Jua Terang

Wanita tukang batu (foto:kompasiana.com)

oleh : Kahfi Wahdah, Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Kobar, Kalteng

Tanggal 21 April lalu di peringati sebagai Hari Kartini. Bagi para pejuang HAM dan aktivis gender, perayaan Hari Kartini menjadi momen spesial untuk kembali menyuarakan emansipasi dan kesetaraan antara pria dan wanita.
Mereka menilai, sudah bukan saatnya lagi perempuan berkutat pada tiga hal yakni sumur, dapur dan kasur. Kalaupun masih ada, maka hal itu dianggap sebagai penindasan dan  hegemoni kaum adam terhadap wanita. Untuk itu, sebagai salah satu upaya untuk mendorong kiprah perempuan adalah dengan menjadikan sosok Kartini sebagai simbol pembebasan dan pembenaran emansipasi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Inilah lagu lama yang kerap diputar ulang menjelang peringatan hari Kartini. Dan usaha tersebut tidaklah sia sia. Pelan tapi pasti, kiprah kaum perempuan Indonesia semakin eksis dan menorehkan capaian yang barangkali belum pernah terbayangkan oleh para pendahulu negeri ini.
Tengok saja, hampir seluruh bidang pekerjaan yang dulunya menjadi dominasi kaum adam, kini sudah dihiasi oleh wajah wajah kaum hawa. Mulai dari profesi yang prestisius seperti jabatan presiden, menteri, anggota DPR, hingga pekerjaan kasar semisal petugas kebersihan, mekanik motor dan sopir bis. Apapun itu, intinya kini kaum hawa sudah bisa berdiri sejajar dengan kaum adam.
Namun, di balik semangat emansipasi, ada satu hal yang perlu menjadi renungan bersama. Apakah betul dengan berkiprah dalam ranah publik sejalan dengan fitrah perempuan dan menjadi terhormat dimata masyarakat ? Apa iya lewat karya nyata kaum hawa bersama kaum adam mampu membawa perubahan lebih baik bagi bangsa dan negara ini ? Terhadap dua pertanyaan tersebut, penulis harus mengurut dada. Secara fitrah, wanita memiliki potensi kelembutan, mengandalkan perasaan dan kasih sayang.
Hal ini wajar karena tugas utama perempuan adalah sebagai pendidik anak anak dan pengatur rumah tangga. Sebagai pendidik, ibu menjadi teladan dan sumber ilmu bagi sang anak selain sang ayah. Sebagai pengatur rumah tangga, seorang wanita mampu menjaga kehormatan keluarga dan memberikan suasana nyaman bagi suami dan buah hati.
Bagaimana mungkin hal ini akan terwujud ketika sang istri – dengan dalih emansipasi- lebih sibuk dengan urusan pekerjaan ketimbang mengurus rumah tangga. Bahkan, tak sedikit para wanita karir yang menitipkan tugas mulia tersebut kepada para pembantu. Jangan heran kalau kemudian si anak lebih dekat kepada si pembantu ketimbang sang  ibu. Jangan pula kaget kalau banyak generasi muda yang terseret pergaulan bebas, narkoba dan menjadi perilaku kriminal salah satu penyebabnya karena kurang perhatian dari orang tua khususnya sang ibu. Pada sisi lain, ketika wanita mengabaikan keluarga dan lebih fokus pada karir justru memicu masalah baru.
Realitas menunjukkan kaum hawa rentan menjadi korban pelecehan seksual, sasaran kejahatan, dan terlibat perselingkuhan dengan rekan kerja.  Karena merasa mandiri secara ekonomi, para perempuan tak khawatir harus bercerai  meski harus mengorbankan masa depan anak dan keluarga. Benar saja. Sejak program sertifikasi guru diberlakukan, angka perceraian dikalangan para pendidik semakin meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan. Tak rela terus menjadi korban, kaum hawa terus melangkah maju dengan menjadi pelaku kejahatan itu sendiri mengikuti jejak kaum adam. Sebut saja anggota DPR Angelina Sondakh dan Wa Ode Nurhayati yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
Di tingkat lokal, ada kepala Desa Sekonyer, Kecamatan Kumai Nurhyati yang tersangkut kasus korupsi dana ADD. Ada juga pengusaha Siti Hartati Murdaya yang menjadi pesakitan KPK karena tersangkut kasus suap  Bupati Buol Amran Batalipu. Itu belum termasuk deretan kejahatan lain seperti kasus pembunuhan, premanisme, narkoba dan bentuk kejahatan lainnya.
Terakhir, emansipasi juga tak membuat wanita semakin terhormat. Pergelaran miss world, pemilihan putra putri Indonesia dan even even sejenis telah menjadikan kaum hawa sebagai objek eksploitasi bagi kepentingan bisnis dan pemikat iklan produk barang/jasa. Melalui even even kecantikan tersebut, kehormatan wanita menjadi ternoda karena harus mengobral aurat (anggota tubuh) dan memandang mulia tidaknya seorang wanita hanya dari sisi kecantikan fisik semata. Sayangnya, banyak yang tidak sadar dan terobsesi menjadi putri sejagat demi meraih materi dalam bentuk tawaran iklan dan model.
Fakta menunjukkan, negara negara barat yang selama ini menjadi kiblat bagi pergerakan emansipasi wanita justru sedang mengalami krisis sosial. Sebab, semangat emansipasi menjadikan para wanita di barat enggan untuk menikah. Alasannya, menikah akan membatasi karir karena akan hamil dan harus mengurus anak.
Tak sedikit pula yang memilih menjadi single parent (orang tua tunggal) karena gagal membina rumah tangga. Alhasil, pemerintah negara negara eropa dan amerika kini sedang galau karena terancam kehilangan generasi. Bukan karena terlibat peperangan. Namun, sebagai hasil nyata dari kampanye emansipasi. Di negara negara tersebut, laju angka kematian lebih tinggi dari angka kelahiran. Kondisi ini diperparah dengan legalisasi pernikahan sejenis (homo/lesbi) yang tentu akan turut mengurangi angka kelahiran. Wajar kalau kemudian muncul gerakan antiemansipasi.
Di negara maju seperti Malaysia dan Tokyo, kaum hawa mulai meninggalkan dunia karir dan lebih memilih sebagai ibu rumah tangga demi masa depan generasi ke depan.
Dari secuil fakta diatas, ternyata spirit emansipasi wanita tak sejalan bahkan merampas fitrah perempuan itu sendiri. Selain itu, emansipasi wanita terbukti gagal dalam membawa negeri ini kearah yang lebih baik.
Alhasil, cita cita mengangkat derajat kaum perempuan melalui gerakan emansipasi menjadi kontradiksi dan ilusi yang sampai kapanpun tidak ada pernah terwujud. Seperti judul tulisan ini, habis gelap tak jua terang.
Sudah saatnya, kaum muslimah sadar bahwa kemuliaan dan kehormatan kaum hawa hanya dapat diraih dengan kebangkitan Islam.
Dalam pandangan Islam, kaum perempuan merupakan manusia terhormat yang wajib mendapat perlindungan. Diantaranya dengan tidak mewajibkan perempuan bekerja keluar rumah dan mebebankan kewajiban tersebut kepada kepala keluarga.
Islam juga melarang pekerjaan yang mengeksplotasi kecantikan seperti menjadi model dan pramugari. Pada sisi lain, Islam memberikan akses pendidikan dan hak hak politik kepada kaum hawa secara luas tentunya dalam batasan syari.
Yang terpenting, Islam menempatkan kemuliaan dan kehormatan seseorang baik laki laki dan perempuan tergantung pada ketakwaan bukan pada bentuk fisik atau warna kulit. So, katakan sayonara emansipasi… (Di muat harian Kolom Mimbar harian Borneonews, Senin 29/4/2013

One comment

  1. Asw. Maaf mau tanya, adakah data mengenai tingkat partisipasi wanita dalam dunia politik di negeri-negeri muslim ataupun negeri-negeri Eropa?
    Terima kasih apabila ada data yang terkait.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*