Oleh : Abu Nasir, Pengamat Sosial, tinggal di Kobar
Dalam satu bulan terakhir, masyarakat Kalteng harus di buat galau oleh sejumlah peristiwa kriminal yang sangat tragis. Pertama, pembunuhan yang dilakukan Hasan Fadli, 41 terhadap istri dan ketiga anak kandungnya dengan cara menggorok leher keempat korban menggunakan dodos dan parang.
Peristiwa itu terjadi di Desa Babual Baboti, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kobar Senin (8/4) malam sekitar pukul 22.00 WIB. Tak kalah mengerikan perbuatan biadab yang dilakukan Nasrul,30 terhadap istrinya Sinta, 25. Karena menolak berhubungan badan, Nasrul tega menganiaya, memperkosa dan kemudian membakar tubuh istrinya sendiri hingga menjadi arang. Peristiwa ini terjadi pada Jumat (26/4) dini hari. Itu belum termasuk berbagai tindakan sadisme yang menjamur pada berbagai kota di Indonesia seperti pembunuhan disertai mutilasi dan pemerkosaan yang berujung pada pembunuhan. Rentetan peristiwa sadis yang menghiasi kehidupan di negeri ini menandakan masyarakat sedang mengalami depresi sosial tingkat tinggi. Penyebabnya tidak sekedar karena faktor psikologis atau kelemahan iman individu semata.
Namun, berakar pada masalah sistemik karena terjadi secara massif, berulang-ulang dan merata di berbagai daerah. Jika kita cermati secara mendalam, munculnya depresi tingkat tinggi yang berujung pada tindakan sadisme berurat akar pada faktor ideologis yakni penerapan ideologi sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) dalam bingkai demokrasi.
Ideologi sekulerisme menihilkan peran agama dan nilai nilai ketakwaan dalam kehidupan publik. Agama sebatas seruan moral dalam ranah ritual yang kerap menjadi bius penenang sementara daripada menjadi solusi tuntas problematika umat. Dari sini kemudian muncul kehidupan sosial masyarakat yang liberal (serba bebas) dan ditandai dengan tumbuhnya sikap individualistik, pudarnya ikatan agama/moral, kehancuran institusi keluarga dan pola hidup yang hedonistik (mengedepankan kenikmatan duniawi).
Dalam sistem sosial yang liberal, terbentuk individu- individu yang memiliki karakter labil, lemah iman, miskin moral dan senantiasa mengejar kepuasan atau kenikmatan duniawi. Pada saat bersamaan, beban ekonomi masyarakat semakin berlipat oleh berbagai kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat seperti rencana kenaikan harga BBM dan harga kebutuhan pokok. Sehingga, antara hasrat yang menggebu untuk meraih kenikmatan materi dengan kemampuan ekonomi yang semakin terbatas plus iman yang semakin menipis, terbentang jurang yang demikian lebar. Kondisi ini diperparah dengan absennya negara dalam membina ketakwaan masyarakat.
Sebaliknya, negara justru melakukan pembiaran terhadap berkembangnya berbagai nilai dan budaya desktrutif seperti hedonisme, pornografi pornoaksi, dan budaya konsumtif. Akibatnya, ketika muncul masalah, masyarakat menjadi gampang stress, cepat putus asa dan pada akhirnya mengambil jalan pintas dengan melakukan tindakan kriminal nan sadis. Singkat kata, ideologi sekulerisme terbukti gagal dalam memberikan kebahagiaan, keadilan, keamanan dan kesejahteraan nyata bagi masyarakat. Kalaupun ada, hanyalah kebahagiaan fatamorgana yang berujung pada penderitaaan tanpa henti.
Karena persoalan yang terjadi bersifat sistemik, maka solusi tuntas haruslah juga menggunakan pendekatan sistem dan tidak sekedar perbaikan individu an sich. Mempertahankan sistem sekuler yang terbukti bobrok, sama saja dengan bunuh diri secara perlahan. Satu satunya jalan keluar adalah dengan mengganti sistem dan tata nilai kehidupan sekuler dengan sistem Islam. Sebab, hanya sistem Islam yang mampu membebaskan sekaligus membentengi masyarakat dari virus depresi sosial. Ketika Syariah Islam tegak, Daulah (negara) Islam akan mengambil sejumlah kebijakan untuk mewujudkan masyarakat yang tangguh dan bertakwa. Pertama, menjadikan akidah Islam sebagai asas dalam mengatur seluruh aspek kehidupan. Dari aspek yang rinci seperti urusan rumah tangga hingga perkara publik dibidang politik, pemerintahan, sosial dan lain sebagainya.
Kedua, negara akan membina ketakwaan masyarakat dengan hukum hukum Islam agar memahami hak dan kewajiban baik sebagai anggota keluarga maupun anggota masyarakat. Di antaranya, dengan mewajibkan suami menafkahi keluarga, melarang orang tua menyakiti anak saat mendidik mereka. Islam membolehkan memukul anak setelah berusia 10 tahun jika tidak mau solat. Itupun dengan pukulan ringan dan tidak berbekas semata mata untuk mendidik. Bukan untuk menghukum apalagi disertai dengan emosi sehingga meyakiti si anak dan berujung pada luka/cacat fisik.
Dalam hubungan sosial, Islam mendidik umatnya untuk menjaga lingkungan sekitar dari segala bentuk kemaksiatan seperti kumpul kebo dan lain sebagainya. Selain itu, Islam menuntut sesama agar menunaikan kewajiban sosial dengan membantu tetangga yang sedang kesulitan. Dengan demikian, akan terbentuk keluarga yang sakinah mawaddah warahmah dan masyarakat yang harmonis sekaligus kritis terhadap berbagai kemungkaran.
Ketiga, Daulah Islam memberikan jaminan kebutuhan pokok setiap warga negara dan mendistribusikan kekayaan alam secara merata. Guna mewujudkan hal tersebut, negara akan menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai, iklim usaha yang kondusif dan mendorong tercapainya kesejahteraan masyarakat lewat fasilitasi pendidikan, pelayanan kesehatan dan jaminan keamanan secara gratis dan berkualitas bagi seluruh warga negara baik muslim maupun nonmuslim.
Ketiga, sebagai penjaga terakhir, negara akan menerapkan sanksi hukum secara tegas dan adil terhadap siapapun tanpa memandang status. Secara filosofis, sanksi hukum dalam Islam berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan zawabir (penebus). Sebagai zawajir, sanksi hukum dijatuhkan kepada pelaku untuk mencegah masyarakat berbuat kejahatan serupa. Adapun zawabir, sanksi yang diberikan berfungsi sebagai penebus dosa si pelaku kejahatan agar tidak mendapat sanksi atas perbuatan dosa di akhirat kelak. Bagi pembunuh dalam kasus Hasan Fadli dan Nasrul, maka hukuman yang dijatuhkan setimpal dengan tingkat kejahatan yakni hukuman mati. Bagi Nasrul, sebelum diqishash (hukum setimpal yakni di bunuh), ia harus dita’zir dulu atas perbuatan membakar tubuh sang istri. Hakim pengadilan yang akan menentukan kadar ta’zirnya.
Kelebihan lainnya, sistem Islam memberikan kepastian hukum karena vonis yang dijatuhkan bersifat final dan tidak mengenal mekanisme peradilan banding. Dengan demikian, akan tercipta masyarakat yang sehat secara fisik dan mental. Yakni sebuah tatanan masyarakat yang cerdas, bertakwa dan terbebas dari segala bentuk depresi sosial. Pastinya cita cita mulia ini hanya dapat terwujud lewat penegakan syariah Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Bukan dalam sistem sekuler berbalut demokrasi yang bobrok seperti saat ini. Lantas, mengapa kita masih ragu kembali pada Syariah Islam ? (harian Borneonews, Senin, 29/4/2013)