Oleh: Roni Ruslan
Hukum adalah panglima. Siapapun harus tunduk dan patuh pada hukum yang berlaku tak terkecuali seorang khalifah dan para pejabatnya. Sikap tunduk dan patuh pada hukum ini benar-benar kita temukan dalam sejarah panjang Khilafah Islamiyah. Untuk kepentingan peradilan, para hakim berhak menghadirkan para khalifah dan pejabat negara di persidangan. Dengan lapang dada, para khalifah dan pejabat negara pun menerima hal ini. Mereka patuh pada perintah hakim kecuali yang menyimpang dari mereka. Dan itu hanya sedikit.
Pernah terjadi sengketa antara Khalifah Abu Ja’far al Manshur dan para petugas pengangkut barang. Khalifah ingin mereka membawakan barang-barangnya ke Syam. Namun mereka tidak suka dengan tugas ini karena terlalu berat bagi mereka. Akhirnya, mereka pun memperadilkan sang Khalifah. Menerima pengaduaan tersebut, Hakim Madinah, Imran bin at Thalhi segera memanggil Khalifah. Ia pun memenuhi panggilan sang hakim. Sebelum berangkat ke pengadilan, al Ma’mun berpesan kepada sekretarisnya untuk tidak memanggilnya dengan sebutan khalifah, akan tetapi nama aslinya saja. Saat al Mamun tiba di pengadilan, Hakim Imran pun tidak berdiri untuk menyambutnya. Ia memperlakukannya sebagaimana orang lain selainnya. Setelah melakukan persidangan, hakim memberikan keputusan hukum dengan memenangkan para petugas pengangkut barang.
Usai persidangan, hakim berdiri untuk memberikan salam kepada Khalifah al Manshur sebagai Khalifah kaum muslimin dan Amirul Mukminin. Khalifah pun mendukung semua tindakan hakim dan mendoakan keberkahan terhadapnya serta memberinya hadiah sepuluh dinar. Tidak sedikit pun tampak sikap arogan pada diri Khalifah al Ma’mun. Ia menghormati seluruh putusan hakim dan mengikuti aturan-aturan formal saat beracara di persidangan.
Sebuah riwayat menceritakan bahwa usai beracara di persidangan, Khalifah al Mahdi (w. 169 H), berkata kepada hakimnya di Bashrah, Abdullah bin Al Hasan al Anbari, ”Demi Allah, jika kamu berdiri ketika aku datang kepadamu, pasti aku akan memecatmu. Dan jika kamu tidak berdiri ketika persidangan selesai, pasti aku akan memecatmu”. Dengan begitu, al Mahdi mengingatkan hakimnya untuk memperalakukan semua orang sama di depan hukum, termasuk dirinya.
Ketundukan pada lembaga peradilan ini juga dicontohkan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib kw, yang legowo menerima keputusan Qadhi Syuraih yang memenangkan seorang Nasrani yang telah mengklaim kepemilikan baju besi milik sang Khalifah. Sikap legowo khalifah Ali pada hakikatnya adalah sikap takwa dan ketundukan pada hukum Islam. Karena apa yang diminta Qadhi Syuraih darinya adalah mendatangkan saksi sebagaimana diperintahkan Alquran. Alquran memerintahkan untuk tidak menerima pengakuan atau tuduhan seseorang tanpa disertai saksi. Pada saat Sayyidina Ali menyadari tidak dapat mendatangkan saksi, ia pun menerima apa yang diputuskan Qadhi Syuraih, seraya tersenyum, ia berkata,”Syuraih benar, aku tidak memiliki bukti”.
Sikap koperatif para khalifah dan pejabat negara saat di peradilan, mempercepat selesainya sengketa perkara di pengadilan. Banyak kasus pada masa khilafah selesai dalam sehari, hari itu diperkarakan hari itu juga diputuskan dengan putusan yang adil.
Misalnya, saat terjadi sengketa antara seorang rakyat jelata dengan Amir bin Muhammad, seorang pejabat Khilafah di Cordoba. Melalui proses pengadilan sehari, si jelata kembali memperoleh haknya atas kepemilikan rumah yang telah terbukti diambil pejabat Amir dengan cara tidak sah. (Al Khasyani dalam kitab Qudhah Qurthubah).
Demikianlah para hakim mampu memaksa para khalifah, amir dan orang-orang yang berkedudukan tinggi di masyarakat untuk datang ke pengadilan ketika mereka bersalah. Dan demikian pula para khalifah telah memberi teladan kepatuhan pada hukum dan peradilan. Semua ini wajar terjadi dalam sistem Khilafah karena Khilafah adalah negara yang berdiri diatas asas akidah Islam dan pelaksana hukum-hukum syariah Islam. Para khalifah dan pejabatnya selalu berusaha berjalan di atas jalan ketakwaan.
Ketundukan pada hukum bukan sekedar dorongan etika bernegara semata, namun jauh dari itu sebagai ketundukan seorang hamba pada Rabbnya, Allah SWT dan buah keimanan mereka akan hari penghisaban kelak di akhirat. Gambaran ideal seperti ini tidak akan pernah terjadi dalam sistem sekuler manapun di dunia. Karena sejak awal agama sudah di nihilkan dalam aturan negara, ketaqwaan tidaklah menjadi asas negara dan tempat berpijak para pejabatnya. Oleh karena itu, hanya dalam khilafah supremasi hukum bisa diwujudkan dan ditegakkan. Wallahu ‘alam bi ash shawab. (mediaumat.com, 3/5)
Hanya orang buta dan tuli yang menyebut Islam tidak mengajarkan sistem politik, sistem kenegaraan, tata pemerintahan. Sekian belas abad kehidupan ummat Islam yg telah berlalu itu lantas mau disebut apa, komunitas nomaden, suku pedalaman, suku terasing yang ndeso tak kenal manajemen pemerintahan??