Jurnalis Muslimah Ngomong Politik Bersama Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia
HTI Press. Perempuan berbicara tentang politik. Bahkan tak sedikit dari kaum hawa yang berperan dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Namun apakah mereka memahami makna politik yang sesungguhnya? Lalu apakah hanya dengan masuk dalam parlemen dapat dikatakan perempuan telah berpolitik? Masalah inilah yang menjadi perbincangan hangat dalam forum workshop jurnalis yang diadakan oleh Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia DPD I Jawa Timur pada hari Senin (29/4). Hadir sebagai narasumber Jubir MHTI Iffah Ainur Rahmah.
Workshop yang diadakan khusus bagi awak media mengambil tema “Peran Politik Perempuan, Demokrasi vs Islam” dihadiri oleh juru warta dari berbagai media, di antaranya Radar Surabaya, Radio Republik Indonesia (RRI) Surabaya, serta dari media online seperti beritajatim.com. Hadir pula ketua MHTI DPD I Jawa Timur, Nurul Izzati, yang berperan sebagai moderator forum. Sebelum penyampaian materi oleh narasumber, para peserta diminta untuk menyampaikan pendapat mereka terkait kedudukan dan peran perempuan. “Bagaimanapun laki-laki dan perempuan memiliki peran dan kedudukan yang berbeda. Laki-laki memiliki peran sebagai imam. Secara naluriah, laki-laki cenderung mengedepankan logika, sedangkan perempuan cenderung mengedepankan perasaan”, ungkap Farida wakil RRI Surabaya.
Fenomena yang terjadi saat ini, perempuan tengah berbondong-bondong untuk terjun ke dunia politik. “Dalam UU No 8 tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD menetapkan kuota 30 persen bagi caleg perempuan. Faktanya partai kesulitan mencari politikus perempuan yang melek politik, meski banyak artis yang bersedia menjadi ‘kembang gula’ parpol”, ungkap Iffah dalam menyampaikan materinya. ”Bahkan sangat sulit sekarang kita temui wakil rakyat yang memang benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat”, tambah Iffah. Politik dipahami sekadar upaya meraih kursi parlemen dan kekuasaan, memberi iming-iming materi dan gengsi, minim kesadaran untuk pengabdian. Ditambah mereka yang duduk di parlemen berada dalam sistem yang ‘memaksa’ mereka untuk memenuhi kepentingan para pemilik modal. Peraturan dan kebijakan yang mereka buat tidak berpihak pada rakyat. Inilah hasil dari penerapan sistem Demokrasi.
Islam sebagai sebuah agama sekaligus ideologi memiliki pandangan makna politik secara hakiki yaitu ri’ayah syu’un al ummah (pengurusan urusan umat). Aktivitas politik dijalankan berdasarkan syariat Islam yang menjadi asas dalam pemerintahan. Kedaulatan berada di tangan syariat, sedangkan kekuasaan di tangan rakyat (as sulthan li al ummah). Inilah yang menjadi perbedaan mendasar antara demokrasi dengan Islam. Makna politik dalam pandangan demokrasi akan mengantarkan manusia pada upaya meraih kekuasaan tanpa memperhatikan kepentingan rakyat, sedangkan dalam Islam, seseorang berpolitik dalam rangka mengurusi kepentingan rakyat serta melakukan aktivitas amar ma’ruf kepada penguasa.
Media memiliki peranan dalam upaya mencerdaskan masyarakat. Bahkan media mampu mengaruskan opini di tengah-tengah masyarakat hingga mengubah pandangan hidup mereka. Diharapkan para jurnalis muslimah tidak terbawa oleh arus opini dalam sistem demokrasi. Sebagai seorang muslimah, mereka memiliki kewajiban dakwah kepada masyarakat. Melalui ‘goresan tinta’ mereka opini penegakan syariah dan Khilafah dapat tersebar luas, sebagaimana yang telah dan sedang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir.[]