Terbongkarnya kasus penyekapan dan penyiksaan sejumlah buruh pabrik kuali di Tangerang Propinsi Banten, menyentak kesadaran publik di tanah air bahwa praktek perbudakan memang eksis di alam kapitalisme. Setelah dibebaskan kisah tragis para buruh – yang sebagian masih di bawah umur – satu persatu terungkap termasuk keterlibatan oknum aparat TNI dan Polri dalam melakukan serangkaian penyiksaan terhadap para buruh dan melindungi pemilik perusahaan.
‘Perbudakan’ terhadap tenaga kerja dalam sistem kapitalisme sebenarnya bukanlah kisah baru. Sampai sekarang di mancanegara dan di tanah air, eksploitasi tenaga kerja oleh para majikan maupun perusahaan masih terus berlangsung. Masyarakat buruh dan industri di tanah air mungkin belum lupa film dokumenter bertitel The Rulers of New Word yang dibuat oleh John Pilger jurnalis asal Inggris. Dalam film itu diungkap kalau seorang buruh PT Nike di Tangerang hanya mendapat 2,46 dollar AS per hari (sebelum krisis moneter) dari sekitar 90-100 dollar harga sepasang sepatu Nike. Padahal dalam sehari, mereka bisa menghasilkan sekitar 100 sepatu. Sementara itu, Michael Jordan meraup 20 juta dollar AS per tahun dari iklan Nike. Demikian pula Andre Agassi yang bisa memperoleh 100 juta dollar untuk kontrak iklan selama 10 tahun.
Masih di Indonesia, seorang buruh hanya mendapat 500 rupiah dari setiap helai celana sport yang ia buat. Padahal celana itu sendiri di jual di mall-mall besar seharga seratus ribuan rupiah.
Masih banyak lagi ‘perbudakan’ modern ala kapitalisme yang dipraktekkan di dunia, dan Indonesia khususnya. Para buruh yang harus bekerja berdiri selama berjam-jam dengan upah yang minimum, bahkan upah pun dipotong bila pergi ke kamar kecil, hidup di rumah-rumah kontrakkan yang kumuh. Jauh sekali dengan potret kehidupan para pemilik modal yang kaya raya.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) melaporkan pada tahun 2012 ada sekitar 21 juta orang di dunia yang menjadi korban kerja ‘paksa’ (forced labour), dimana mereka tidak bisa melepaskan diri dari pekerjaan tersebut. Kawasan Asia Pasifik adalah yang terbanyak di mana orang mengalami eksploitasi tenaga kerja mencapai sekitar 11.7 juta jiwa atau sama dengan 56 persen.
Ironisnya, eksploitasi tenaga kerja atau perbudakan modern ini justru jarang digubris oleh pemerintah di negara-negara berkembang. Hal ini terkait dengan besarnya nilai investasi dan berbagai pajak yang akan ditargetkan oleh para penguasa dari keberadaan industri-industri tersebut. Dengan kata lain, eksploitasi dan perbudakan modern terhadap tenaga kerja terjadi sebagai hasil konspirasi antara penguasa dan pengusaha. Inilah ciri khas demokrasi dan kapitalisme. Seperti dalam kasus pabrik kuali di Tangerang, aparat keamanan sulit untuk berkelit bahwa anggota mereka ternyata terlibat dalam kasus ‘perbudakan’ manusia di negeri merdeka ini. Karena kesaksian para korban demikian jelas menyebutkan peran aparat keamanan di pabrik tersebut.
Tragedi kemanusiaan di pabrik kuali di Tangerang sebenarnya hanyalah riak gelombang di tengah mainstream sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan profit sebagai berhala sesembahan baru. Sebagaimana ditulis oleh Ralph Estes dalam Tyranny of Bottom Line, begitu banyak perusahaan yang mengedepankan laba sehingga mengorbankan banyak pihak. Masih banyak perusahaan yang buruk dalam memperlakukan karyawan, konsumen dan masyarakat karena mereka mengejar laba. Watak busuk ini akan selamanya melekat dalam sistem ini dan tidak akan pernah bisa hilang. Satu-satunya cara melenyapkannya adalah dengan mengganti sistem ini dengan yang jauh lebih bermartabat dan memuliakan manusia, yakni Islam. [IJ – LS HTI]