Oleh : Adi Victoria (Penulis Buku “Khilafah The Answer”)
Alhamdulillah, kita telah memasuki bulan Rajab. Itu artinya kurang dari tiga bulan lagi kita akan bertemu dengan bulan yang penuh dengan keberkahan (syahrun mubarrak) yakni bulan ramadhan. Sebagian kaum muslimin pun berdo’a sebagaimana do’a dalam sebuah hadist yang diajarkan oleh Rasulullah saw yakni “Allahumma barik lana fi Rajab wa Sya’ban wa barik lana fi Ramadhan” yang artinya “Ya Allah ! Berkahilah kami di bulan rajab dan sya’ban serta berkahilah pula kami di bulan Ramadhan”
Walaupun memang ada sebagian ‘ulama seperti Syaikh Al Albany mendha’ifkan hadits ini. (Misykah al Mashabih, Juz. 1, Hal. 306, No. 1369. Lihat juga Dhaiful jami’ No. 4395), begitu pula Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: isnaduhu dhaif (isnadnya dhaif). (Lihat Musnad Ahmad No. 2346. Muasasah Ar Risalah) karena hadist tersebut bermasalah di sanad hadist, namun menurut penulis Jika doa ini dibaca dengan tanpa menyandarkan kepada Rasulullah, tidak menganggapnya sebagai ucapan nabi, hanya ‘meminjam’ redaksinya, maka tidak mengapa. Sebab, berdoa walau dengan susunan kalimat sendiri memang diperbolehkan. Tetapi, sebagusnya tidak membudayakannya, sebab pada akhirnya manusia menyangka sebagai hadits yang valid dari nabi.
Bulan Ramadhan adalah bulan dimana seluruh kaum muslimin diwajiban untuk berpuasa, yakni yang telah memenuhi syarat untuk menunaikan kewajiban tersebut. Dalil yang digunakan untuk menunaikan salah satu kewajiban syariat yang dibebankan kepada kaum muslimin adalah surat al baqarah ayat 183.
Allah swt berfirman “Yaa ayyuhal ladziina aamanuu kutiba ‘alaikumush shiyaamu kamaa kutiba ‘alal ladziina min qablikum la’allakum tattaquun.”
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (QS: Al Baqarah :183)
Dengan dasar dalil surat al baqarah ayat 183 tersebut, kaum muslimin di seluruh dunia diwajibkan untuk menunaikan salah satu kewajiban yang disyariatkan tersebut
namun kemudian, tahukah kita bahwa di dalam surat yang sama yakni di surat al baqarah, terdapat pula satu seruan kewajiban syariat yang ditujukan kepada kaum muslimin untuk ditunaikan. Seruan itu adalah tentang pelaksanaan hukum qishas bagi pelaku kriminal (‘uqubat) , yakni tepatnya di dalam surah al baqarah ayat 178.
Dimana Allah swt berfirman “Yaa ayyuhal ladziina aamanuu kutiba ‘alaikumul qishaashu fil qatlaa alhurru bil ..”
Artinya “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh…dst” (lihat selengkapnya terjemahan di surat al baqarah ayat 178)
Ayat tersebut dengan jelas menunjukan salah satu kewajiban yang juga disyariatkan di dalam Islam yakni hukuman qishas dalam perkara pembunuhan.
Namun apa kenyataannya sekarang? Kenapa kita hanya mengamalkan surat al baqarah ayat 183 namun tidak mengamalkan surat al baqarah ayat 178?
Apakah kita tidak ingat bagaimana Allah swt menegur kaum bani israil dalam surat Al baqarah ayat 85. Dimana Allah swt berfirman yang artinya “Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. “
Bukankah di dalam surat Al baqarah (lagi) Allah swt memerintahkan kita untuk berislam secara kaffah.
Allah swt berfirman “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara kaffah (menyeluruh), dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaithan, karena sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata bagi kalian.” [Al-Baqarah : 208]
Pembaca yang budiman, para ‘ulama seperti al ‘allamah asy syaikh Taqiyudin an Nabhani memberikan definisi apa itu Islam. Beliau menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah swt kepada nabi Muhammad saw untuk mengatur hubungan manusia dengan penciptanya yakni Allah swt dalam perkara ibadah, untuk mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam perkara mu’amalah dan ‘uqubat, serta untuk mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri yakni dalam perkara akhlaq, pakaian,makanan, dan minuman.
Itulah kesempurnaan Islam sebagai agama sekaligus sebagai sebuah sistem hukum (idelogy). Islam datang untuk mengatur segala hal, tidak hanya mengatur masalah ibadah mahdah (ibadah ritual) saja, namun juga mengatur masalah ibadah ghairu mahdah.
Namun lebih dari itu, ketiadaan sistem khilafah-lah yang menyebabkan sebagian hukum-hukum Islam tersebut tidak dapat terwujud.
Ketika tidak ada sistem khilafah, kita memang masih bisa melakukan aktivitas ibadah mahdah seperti mengamalkan kewajiban berpuasa (surat al baqarah : 183). Namun bagaimana kita bisa mengamalkan kewajiban-kewajiban lain seperti pelaksaan qishas (surat al baqarah : 178), tentang hukuman potong tangan bagi pencuri laki-laki atau wanita (surat Al maidah : 38), serta hukum-hukum syariah yang lain?
Mungkin ada yang menyeletuk “ah…ini kan bukan negara Islam, itukan hanya di arab saja”. Maka kita bisa ajukan pertanyaan kepada nya bahwa apakah Islam itu hanya diturunkan di tanah arab saja? Lagipula pelaksanaan syariat Islam di wilayah arab termasuk arab saudi misalnya belum diterapkan secara sempurna. Apalagi sistem kerajaan bukanlah sistem pemerintahan yang syar’i di dalam Islam.
Pembaca yang budiman. Sistem pemerintahan di dalam Islam itu memiliki ke-khas-an yakni adanya baiat.
Rasulullah saw bersabda “Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam/khalifah), maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR Muslim, no 1851).
Dalalah (penunjukkan makna) dari hadis di atas jelas, bahwa jika seorang muslim mati jahiliyyah karena tidak punya baiat, berarti baiat itu wajib hukumnya. Agar baiat itu ada di atas pundak setiap kaum Muslim, maka harus ada khalifah, karena memang baiat itu hanya untuk khalifah, bukan yang lain. Sekalipun hadis ini isinya berita, ia berkonotasi perintah, yang intinya agar Khalifah (Khilafah) itu diadakan sehingga kita tidak dinyatakan mati jahiliah.
Mungkin ada yang bertanya “apa dasarnya baiat harus kepada khalifah? Bukan kepada raja atau presiden?, bukankah di hadist tersebut tidak disebutkan kepada siapa harus berbaiat?”
Maka pertanyaan tersebut telah dijawab oleh hadist lain yang juga berbicara tentang kewajiban berbaiat.
“Dulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi yang lain.Akan tetapi, sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, yang akan ada adalah para khalifah, dan mereka banyak.” Para sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa saja yang mereka urus/pelihara.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hadist di atas jelas memberikan penjelasan bahwa baiat hanya ditujukan kepada khalifah.
Mungkin ada yang berkata lagi “bukankah hadist pertama tentang baiat hanya memberikan khobar saja, bahwa seseorang yang mati namun tidak ada baiat maka matinya dalam keadaan jahiliyah, bagaimana bisa kita berbait sedangkan sekarang tidak ada yang bisa diberikan baiat yakni khalifah? Maka kewajiban tersebut sebenarnya telah gugur”.
Ini jelas kesimpulan yang bathil, benar bahwa hadist pertama tentang baiat hanya berisi khobar, namun juga memberikan indikasi bahwa agar tidak mati dalam keadaan jahiliyah maka harus ada yang dibaiat, dan ketika tidak ada yang dibaiat maka ada kewajiban untuk mengadakan yang di baiat tersebut yakni memperjuangkan kewajiban agar khalifah itu ada. Dan khalifah itu adalah seseorang yang menjadi kepala negara pada sistem pemerintahan Islam yang disebut dengan sistem khilafah Islam.
Imam Ahmad meriwayatkan : Telah berkata kepada kami Sulaiman bin Dawud al-Thayaalisiy; di mana ia berkata, “Dawud bin Ibrahim al-Wasithiy telah menuturkan hadits kepadaku (Sulaiman bin Dawud al-Thayalisiy). Dan Dawud bin Ibrahim berkata, “Habib bin Salim telah meriwayatkan sebuah hadits dari Nu’man bin Basyir; dimana ia berkata, “Kami sedang duduk di dalam Masjid bersama Nabi saw, –Basyir sendiri adalah seorang laki-laki yang suka mengumpulkan hadits Nabi saw. Lalu, datanglah Abu Tsa’labah al-Khusyaniy seraya berkata, “Wahai Basyir bin Sa’ad, apakah kamu hafal hadits Nabi saw yang berbicara tentang para pemimpin? Hudzaifah menjawab, “Saya hafal khuthbah Nabi saw.” Hudzaifah berkata, “Nabi saw bersabda, “Akan datang kepada kalian masa kenabian, dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian, Allah akan menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa Kekhilafahan ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah; dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang kepada kalian, masa raja menggigit (raja yang dzalim), dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa raja dictator (pemaksa); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan menghapusnya jika berkehendak menghapusnya. Kemudian, datanglah masa Khilafah ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian). Setelah itu, beliau diam”.[HR. Imam Ahmad]
Akhirnya, mari kita terus berjuang agar terwujud kembali kehidupan Islam dibawah institusi daulah khilafah Islam. Dan sebagai seorang muslim, kita tentu tetap harus berupaya untuk tetap terikat dengan syariah Islam sesuai dengan kemampuan seoptimal kita. Wallahu a’lam.[]
Sumber: eramuslim.com(15/5/2013)