RUU Tapera: Gambaran Pelalaian Tugas Penguasa Atas Rakyat
Oleh: Rofiah Susrini
(Lajnah Mashlahiyyah Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia)
Seakan belum cukup dengan akan diterapkannya SJSN (Sistem jaminan Sosial Nasional) yang pada hakekatnya merupakan kebijakan yang memalak rakyat, kini masyarakat juga harus bersiap-siap merelakan sebagian penghasilannya dipangkas dengan akan disahkannya RUU Tabungan Perumahan Rakyat (RUU Tapera). RUU Tapera ini bila telah disahkan nantinya akan menjadi payung hukum bagi terselenggaranya Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Tapera adalah dana perumahan jangka panjang yang diperuntukkan bagi pemilikan, pembangunan, atau perbaikan rumah yang diperoleh melalui kegiatan menabung dari Peserta Tapera.
Menurut para pengambil kebijakan, keberadaan Tabungan Perumahan Rakyat diharapkan dapat mewujudkan dana murah jangka panjang terkait pembiayaan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang terjangkau. Sehingga dengan lahirnya UU Tapera nantinya akan membantu pemerintah untuk menghimpun dan memupuk dana yang dikumpulkan dari masyarakat umum, khususnya mereka yang telah memiliki penghasilan yang akan digunakan sebagai ‘modal’ untuk menyediakan rumah sederhana bagi rakyat kecil. Dalam draft RUU Tapera yang kini masih dalam pembahasan, ditetapkan bahwa Tabungan Perumahan Rakyat ini diwajibkan atas seluruh pekerja, baik pegawai negeri maupun swasta, formal maupun informal, yg sudah memiliki rumah atau belum. Setiap individu pekerja harus merelakan 5% dari total penghasilannya tiap bulan untuk dimasukkan ke dalam Tabungan ini. Sehingga jelas bahwa keberadaan Tapera adalah setali tiga uang dengan SJSN yang akan memalak hasil keringat rakyat.
Sebenarnya Tabungan Perumahan bukanlah hal baru yang digagas oleh pemerintah. Sejak tahun 1993 telah diselenggarakan tabungan (wajib) perumahan pegawai negeri sipil (Taperum). Tiap bulannya para pegawai negeri sipil (PNS) diharuskan merelakan gajinya dipotong Rp 10.000 rupiah untuk tabungan ini. Potongan yang dianggap kecil ini pada tahun 2009 saja telah mencapai jumlah Rp 5,5 trilyun. Pertimbangan diwajibkannya iuran ini adalah agar PNS dapat mengambil pinjaman untuk uang muka pembelian rumah mereka.
Namun Selama enam belas tahun keberadaan Taperum yang terjadi adalah penumpukan uang iuran dengan penggunaan yang relatif rendah. Menurut laporan 2008-2009, realisasi pinjaman uang muka tidak lebih dari Rp 80 milyar. PNS yang diwajibkan menabung justru tidak memperoleh manfaat dari tabungannya seperti yang diperkirakan. Tabungan perumahan PNS adalah contoh kebijakan pemupukan dana dengan sasaran pembiayaan yang tidak jelas. Banyak sekali (puluhan ribu) PNS yang telah memiliki rumah ternyata tidak ditempati dan bahkan dibiarkan puso. Karena rumah miliknya terletak 30 km dari tempat kerja tanpa dukungan sarana dan prasarana yang memadai. Pengeluaran pegawai menjadi besar dan setiap hari mesti berjuang melawan kemacetan. Selain itu, kenaikan harga rumah makin tidak sebanding dengan pendapatan PNS. Kenaikan harga tanah, harga bahan bangunan, harga pembangunan prasarana dan bahkan biaya perizinan semakin tak terjangkau. Realitanya tabungan perumahan pegawai negeri tidak dapat menolong atau membantu mengatasi kebutuhan tempat tinggal si pegawai negeri tersebut (Tjuk Kuswartojo,Tabungan Perumahan: Bukan Tabungan Biasa. INFORUM EDISI III TAHUN 2011).
Selain itu sejak bulan Oktober 2010 pemerintah juga telah meluncurkan kebijakan bantuan pembiayaan rumah sejahtera yang didukung oleh fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) yang bersumber dari Pos Pembiayaan APBN. Dana ini selanjutnya dicampur dengan dana Bank Pelaksana Penerbit KPR melalui mekanisme blended-financing akan menghasilkan Kredit Prumahan Rakyat (KPR) dengan suku bunga di bawah dua digit dan tetap (fixed) selama masa pinjaman (tenor). Pola blended-financing untuk pembiayaan KPR juga dikembangkan untuk Kredit Konstruksi (KK) pembangunan rumah sejahtera yang spesifikasi teknisnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Perumahan Rakyat. Selanjutnya angsuran KPR yang didukung oleh dana FLPP tersebut akan menjadi dana bergulir untuk pembiayaan perumahan. Namun mengingat masih sangat besarnya kebutuhan pembiayaan seiring dengan meningkatnya kebutuhan penyediaan rumah yang layak dan terjangkau, maka kebutuhan dana FLPP yang berasal dari Pos Pembiayaan APBN tersebut pada dasarnya masih kurang, sementara kapasitas APBN yang terbatas tidak bisa selamanya dijadikan satu-satunya sumber pendanaan murah jangka panjang. Untuk itu, perlu dicari sumber pendanaan pengganti APBN (Sri Hartoyo, Penyelenggaraan Tabungan Perumahan. INFORUM Edisi 3 Tahun 2011). Dan kebijakan inipun lagi-lagi terbentur masalah dana.
Kewajiban Pemerintah
Berdasarkan data BPS di tahun 2010, kekurangan (backlog) perumahan di Indonesia mencapai 13,6 juta unit atau setara dengan 22% dari total rumah tangga dengan rincian sebesar 10,32% rumah tangga tinggal di rumah sewa dan 11,68% rumah tangga tinggal di rumah orang tua, rumah dinas dan lainnya. Kekurangan (backlog) perumahan ini dikhawatirkan akan semakin membesar apabila tidak ada upaya nyata untuk mengatasinya. Pada tahun 2014 saja backlog diperkirakan akan mencapai 17,9 juta unit. Oleh sebab itu, diperlukan intervensi pemerintah dalam mengatasi kekurangan (backlog) perumahan ini.
Sayangnya intervensi pemerintah untuk menekan laju backlog perumahan ini akan dilakukan dengan memaksa para pekerja memangkas 5% dari penghasilan mereka melalui Tapera. Dan jika ditambah dengan pemotongan gaji oleh SJSN yang rencananya mencapai 25% dari total penghasilan pekerja maka para pekerja harus merelakan gaji mereka dipotong sebesar 30% tiap bulannya. Sebagai gambaran, jika rata-rata upah minimum pekerja di Indonesia sebesar Rp 1.500.000 maka tiap bulan para pekerja harus merelakan uang mereka dipotong sebesar Rp 450.000. Sungguh jumlah yang sangat besar. Hal ini belum ditambah dengan kondisi rumah yang seringkali kurang memadai karena ukurannya yang sangat kecil dan tidak dilengkapi oleh prasarana dan sarana yang memadai.
Fakta dari Tapera sesungguhnya adalah pengalihan tanggung jawab yang semestinya ditanggung oleh pemerintah terhadap rakyat. Seharusnya pemerintahlah yang berkewajiban memenuhi kebutuhan perumahan bagi rakyat, manakala individu rakyat yang bersangkutan atau pihak yang bertanggungjawab terhadap nafkahnya tidak mampu atau kesulitan memenuhi kebutuhan perumahan yang layak. Ketua Pansus RUU Tabungan Perumahan Rakyat, Yoseph Umarhadi, mempertanyakan sikap pemerintah yang sampai saat ini menolak untuk memberikan modal awal Tapera sebesar satu triliun rupiah (detikfinance, 04/05/2013). Padahal menurut Yoseph, selama ini pemerintah menganggarkan dari APBN Rp 7 triliun per tahun melalui Kemenpera. Subsidi dari pemerintah untuk pembelian tanah tersebut diperlukan karena harga tanah terus naik. Dana awal sebesar Rp 1 triliun itupun hanya cukup untuk membangun 1.300 rumah tipe 36. Sementara saat ini jumlah rakyat miskin yang belum memiliki rumah sebanyak 15 juta Kepala Keluarga (KK). Namun pemerintah tetap keberatan dan menolak menyediakannya. Fakta inilah yang menyebabkan pembahasan RUU Tapera menjadi berlarut-larut. Sungguh, pemerintah telah mengabaikan fungsi pelayanannya terhadap rakyat. Bukan hanya itu, dengan diwajibkannya Tapera bagi seluruh pekerja di negeri ini maka sesungguhnya pemerintah telah melakukan tindakan pemalakan terhadap warganya. Kondisi ini adalah gambaran nyata dari sistem demokrasi kapitalis dimana pemerintah kerap melalaikan fungsinya sebagai pelayan urusan umat.
Syariat Islam Mewajibkan Penguasa Menjamin Kebutuhan Rumah Rakyat
Islam telah menetapkan bahwa penguasa adalah pihak yang bertanggung jawab dalam mengurusi urusan rakyat. Sebagaimana sabda rasulullah saw: “Penguasa adalah pengurus, dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya”(HR Bukhari Muslim). Karena itu, apapun alasannya Pemerintah/Negara tidak boleh sedikitpun abai terhadap fungsinya yang penting dan mulia ini.
Islam juga telah menetapkan bahwa kebutuhan pokok (primer) bagi tiap individu berupa pangan, pakaian dan tempat tinggal dijamin pemenuhannya bagi tiap individu. Sebagaimana kebutuhan pokok lainnya, tempat tinggal (rumah) dijamin pemenuhannya oleh Islam melalui mekanisme yang diterapkan secara komprehensif oleh penguasa. Mekanisme tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Islam mewajibkan bagi tiap laki-laki yang baligh dan mampu untuk bekerja mencari nafkah untuk membiayai dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Sebagaimana firman Allah: “Kewajiban ayah memberikan makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf” (TQS. Al-Baqarah:233). Barangsiapa yang bermalas-malasan dan tidak mau bekerja maka penguasa akan menetapkan sanksi baginya. Bagi mereka yang lemah dan tidak mampu bekerja atau penghasilannya tidak cukup untuk menafkahi diri dan keluarganya maka Islammemerintahkan kerabatnya yang mampu untuk menolongnya. Namun jika tidak bisa juga maka penguasa akan menyalurkan bantuannya secara langsung melalui baitul mal untuk menyediakan rumah dan kebutuhan primer lainnya.
(2). Islam mengatur kepemilikan, pengelolaan dan pendistribusian harta kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Pengaturan ini senantiasa mengarah pada terwujudnya distribusi kekayaan yang adil di masyarakat sehingga tidak akan terjadi jurang kesenjangan ekonomi di masyarakat. Selain itu Islam telah memerintahkan penguasa untuk menyediakan lapangan kerja yang cukup. Sehingga setiap kepala kaluarga dapat bekerja untuk mendapatkan nafkah bagi keluarganya. Selain itu Islam juga menjamin pemberian layanan pendidikan, kesehatan dan keamanan bagi setiap warganya secara gratis dengan mutu terbaik. Dengan demikian seorang kepala akan lebih mudah memenuhi kebutuhan tempat tinggal dan kebutuhan primer lainnya bagi diri dan keluarganya karena ia tidak perlu lagi memikirkan biaya untuk pendidikan dan kesehatan untuk keluarganya.
Sistem politik Islam juga telah mengatur masalah sumber-sumber pemasukan negara dengan aturan yang rinci. Dalam masalah kepemilikan harta, Islam telah menetapkan hal-hal yang menjadi milik umum dan negara yang semuanya dikelola untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Islam telah menetapkan bahwa hutan, energi dan air adalah milik umum yang tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta. Islam juga telah menetapkan bahwa barang tambang dalam jumlah yang besar juga milikumumyangakan dikelola oleh negara untuk kemudian dikembalikan lagi kepada rakyat. Itu semua akan menjadi sumber pemasukan yang besar untuk negara yang kemudian akan dikelola sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat termasuk dalam masalah penyediaan kebutuhan akan tempat tingggal. Hak-hak rakyat berupa hasil kerja maupun harta kepemilikan individu lainnya tidak akan diganggu gugat dan menjadi sepenuhnya milik individu tersebut.
Demikianlah, sistem ekonomi Islam telah mengatur masalah pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan cara yang sempurna. Penerapan sistem yang sempurna ini hanya akan tegak dalam institusi negara Islam yaitu daulah Khilafah islamiyyah dimana seluruh aturan disandarkan pada syariat Islam. Sistem ini tidak hanya akan menjamin pemenuhan rumah bagi seluruh rakyat, yang saat ini sangat sulit dipenuhi oleh sistem demokrasi kapitalis, namun juga menjamin seluruh kebutuhan rakyat dengan pemenuhan yang merata dan berkualitas. Wallahu a’alam bishawab.[]