Oleh: Hafidz Abdurrahman
Masalah perbudakan modern ini mencuat, ketika sejumlah buruh home industri di Tangerang dieksploitasi oleh majikan yang mendapat backing aparat korup. Karena dukungan aparat korup, oknum majikan ini merasa aman menjalankan aksinya. Bahkan, menurut pengakuan tetangga, termasuk RT-nya, jika ada yang memperkarakan oknum tersebut justru mendapat teror dari aparat, hingga berujung pada penangkapan. Wajar saja, ketika masalah ini tercium media dan terbongkar ke publik, oknum tersebut marah kepada aparat.
Pendek kata, eksploitasi majikan terhadap buruh ini tidak terjadi serta merta, tetapi karena adanya dukungan kekuasaan, yaitu aparat yang korup. Dengan dukungan ini, maka oknum tersebut bisa mengeksploitasi buruh yang dipekerjakannya secara tidak manusiawi, dengan jam kerja tanpa batas. Gaji mereka tidak dibayar. Mereka ditempatkan di tempat yang tidak layak untuk ukuran manusia. Mengalami teror dan intimidasi fisik.
Kriminal
Kasus ini pertama harus diletakkan pada konteksnya, yaitu akad ijarah, yang dilakukan antara majikan dengan buruh. Majikan berhak mendapatkan jasa dari buruh yang dikontraknya sesuai dengan jam dan pekerjaan yang telah ditetapkan dalam klausul perjanjian kerja. Sementara pihak buruh berhak mendapatkan gaji, dan lain-lain sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan dalam klausul yang sama.
Namun, apa yang terjadi adalah majikan tersebut telah mendapatkan jasa buruh, sementara upahnya tidak diberikan. Di sini jelas terjadi tindakan kriminal (jarimah), dimana upah yang yang semestinya menjadi hak buruh tidak diberikan. Mereka juga diperlakukan dengan tidak manusiawi, mulai dari intimidasi hingga teror fisik. Ini juga merupakan tindakan kriminal (jarimah). Lalu siapa yang harus dinyatakan sebagai pelakunya?
Tentu majikan. Namun, majikan tersebut tidak melakukannya sendiri. Dia juga didukung oleh oknum aparat yang korup. Karena itu, bukan hanya majikan yang harus ditetapkan sebagai pelaku kriminal (mujrim), tetapi juga oknum aparat yang korup tadi. Keduanya adalah pelaku kriminal (mujrim). Namun, mereka ternyata juga tidak sendiri, karena di lapangan ada pelaku-pelaku lain yang mengeksekusi keputusan majikan tersebut. Karena itu, orang-orang tersebut juga harus ditetapkan sebagai pelaku kriminal (mujrim).
Dengan demikian, masing-masing pelaku kejahatan tersebut bisa dijatuhi sanksi sebagai pelaku kejahatan kolektif yang dilakukan bersama-sama. Kejahatan tersebut bisa diklasifikasikan menjadi: Pertama, eksploitasi tenaga, waktu dan pikiran. Kedua, pengemplangan upah. Ketiga, intimidasi dan teror fisik, serta perlakuan tidak manusiawi lainnya.
Tanggung Jawab
Terhadap kejahatan yang pertama, yaitu eksploitasi tenaga, waktu dan pikiran, maka Khilafah melalui ahli al-khibrah (ahli) yang ditunjuk akan menghitung berapa jasa yang seharusnya diberikan buruh, dan berapa yang tidak seharusnya diberikan sesuai dengan klausul perjanjian. Dengan demikian, ahli al-khibrah ini bisa menentukan berapa kelebihan jam, tenaga atau jasa yang diberikan oleh buruh, yang harus dibayar oleh pihak majikan. Karena dalam akad ijarah tidak ada yang gratis. Sebab, ijarah ini merupakan akad terhadap jasa (manfaat) disertai dengan kompensasi (‘iwadh).
Keputusan ahli al-khibrah dalam hal ini mengikat, dan wajib dilaksanakan oleh majikan. Terlebih posisi ahli al-khibrah di sini diangkat oleh negara untuk menyelesaikan kasus yang melibatkan majikan nakal seperti ini. Mengapa ahli al-khibrah harus diangkat oleh negara, karena tidak mungkin lagi majikan dan buruh tersebut menentukan ahli al-khibrah sendiri. Karena tidak mungkin, maka keputusan tentang pengangkatan ahli al-khibrah ini diserahkan kepada negara.
Mengenai kejahatan kedua, yaitu pengemplangan upah, maka negara bisa memaksa majikan nakal tersebut untuk membayarkan upahnya. Kejahatan seperti ini sebenarnya tidak harus dibawa ke mahkamah khushumat, karena korban berada di bawah tekanan. Tetapi bisa langsung ditangani oleh hakim hisbah. Hanya saja, jika terjadi sengketa, antara kedua belah pihak, di mana satu pihak (majikan) mengklaim telah memberi upah, sementara pihak lain (buruh) menyatakan tidak pernah menerima upah, maka kasus seperti ini bisa diajukan ke mahkamah khushumat.
Namun, jika kejahatan tersebut dilakukan sepihak, dalam hal ini oleh pihak majikan nakal saja, maka kejahatan tersebut bisa langsung dihentikan dan ditindak oleh hakim hisbah. Terlebih jika sudah ada bukti-bukti sahih dan valid. Hakim hisbah di sini posisinya sebagai institusi yang mencegah kemungkaran, serta menindak pelaku kemunkaran yang terjadi di tengah masyarakat. Dengan demikian, hak buruh yang dikemplang oleh majikan itu bisa langsung diambil oleh hakim hisbah, dan diberikan kepada yang berhak (buruh). Keputusan hakim hisbah dalam hal ini pun mengikat.
Sedangkan kejahatan ketiga, yang melibatkan intimidasi dan teror fisik, harus dilihat terlebih dahulu. Jika menimbulkan luka atau cacat secara fisik, maka pelaku yang terlibat, baik majikan, oknum aparat maupun eksekutor lapangan dikenai kewajiban membayar diyat. Besar kecilnya disesuaikan dengan tingkat kejahatannya. Rinciannya bisa dilihat dalam kitab Nidham al-‘Uqubat, karya al-Muhami ‘Abdurrahman al-Maliki. Namun, jika tidak sampai menimbulkan luka atau cacat fisik, maka sanksinya bisa berbentuk ta’zir. Besar dan kecilnya juga disesuaikan dengan tingkat kejahatannya.
Dua jenis kejahatan yang ketiga ini baru bisa dieksekusi oleh negara, setelah ditetapkan oleh mahkamah khushumat. Karena kedua jenis kejahatan ini melibatkan jinayat, dan atau mukhalafat, yang mengharuskan adanya pembuktian (bayyinah). Sementara proses pembuktian (bayyinah) hanya bisa diterima di mahkmah (persidangan).
Tindakan Khilafah
Tinggal satu masalah, yaitu apa tindakan negara terhadap aparatnya yang korup? Dalam kasus ini, selain mereka ditetapkan sebagai pelaku kriminal (mujrim), yang dijatuhi sanksi sesuai dengan kejahatannya, mereka juga bisa diberhentikan dari jabatan dan pekerjaannya. Perberhentian mereka dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan kezaliman (izalatu al-madhlamah). Karena jabatan dan kedudukan itu mereka gunakan untuk melakukan kejahatan (irtikab al-jara’im).
Pemberhentian mereka bisa dilakukan oleh pejabat di atasnya, yang diberi wewenang oleh khalifah untuk mengangkat dan memberhentikan bawahannya. Jika ini tidak dilakukan, maka korban bisa mengajukan kepada Mahkamah Madzalim, terkait dengan posisi pelaku sebagai aparatur negara. Setelah kejahatannya terbukti, maka Mahkamah Madzalim pun bisa mengambil tindakan tegas, memberhentikan aparat yang bersangkutan. Tindakan Mahkamah Madzalim di sini dalam rangka menghilangkan kezaliman (izalatu al-madhlamah).
Dengan demikian, maka masalah “perbudakan” ini bisa diselesaikan dengan tuntas. Dengan cara yang sama, khilafah juga bisa mengakhiri kejahatan kolektif yang melibatkan majikan, aparat dan pihak lain yang terlibat. Hak-hak buruh yang disandera dan dirampas oleh sindikasi kejahatan itupun bisa dikembalikan sebagaimana mestinya.
Inilah jaminan dan solusi yang diberikan oleh Islam, dalam mengatasi problem “perbudakan” modern. Namun, jaminan dan solusi ini baru benar-benar bisa diwujudkan, jika Islam diterapkan oleh Negara Khilafah. Negara yang tidak kalah, ketika berhadapan dengan aparat yang korup. Wallahu a’lam.