Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy
Hadiah atau hibah kepada penguasa adalah barang atau jasa yang diberikan kepada penguasa sebagai hadiah atau hibah. Islam melarang keras seorang Muslim memberikan hadiah kepada penguasa, hakim, maupun pejabat pemerintahan lain untuk kepentingan-kepentingan yang telah menjadi kewajiban negara untuk menunaikannya atau memenuhinya, berapun nilainya. Imam Ahmad dan Imam Baihaqiy menuturkan sebuah riwayat dari Abu Hamid As Sa’diy dari ‘Irbadl ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
هَدَايَا الأُمَرَاءِ غُلُولٌ
“Hadiah bagi penguasa itu adalah ghulul (kecurangan)”.[HR. Imam Ahmad dan Imam Baihaqiy]
Imam al-Khathiib al-Baghdadiy dalam Kitab Talkhiish al-Mutasyaabih meriwayatkan sebuah hadits dari Anas ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
هَدَايَا الْعُمَّالُ سُحْتٌ
“Hadiah bagi para pejabat negara (‘amil) adalah suht (haram)”. [HR. Imam Khathiib al-Baghdadiy, Talkhiish al-Mutasyaabih]
Penguasa, pejabat, dan pegawai negara diharamkan mengambil hadiah dari rakyatnya. Di antara dalil yang menunjukkan keharaman penguasa mengambil hadiah dari rakyatnya adalah hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim. Dari Abu Hamid al-Sa’diy dituturkan bahwasanya ia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعْمَلَ ابْنَ الْأُتَبِيَّةِ عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ فَلَمَّا جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَاسَبَهُ قَالَ هَذَا الَّذِي لَكُمْ وَهَذِهِ هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَبَيْتِ أُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَطَبَ النَّاسَ وَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ رِجَالاً مِنْكُمْ عَلَى أُمُورٍ مِمَّا وَلاَّنِي اللَّهُ فَيَأْتِي أَحَدُكُمْ فَيَقُولُ هَذَا لَكُمْ وَهَذِهِ هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي فَهَلاَّ جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَبَيْتِ أُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ إِنْ كَانَ صَادِقًا فَوَاللَّهِ لاَ يَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ هِشَامٌ بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلاَّ جَاءَ اللَّهَ يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَلاَ فَلأَعْرِفَنَّ مَا جَاءَ اللَّهَ رَجُلٌ بِبَعِيرٍ لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بِبَقَرَةٍ لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةٍ تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ أَلاَ هَلْ بَلَّغْتُ
“Nabi saw telah mengangkat Ibnu al-Atabiyyah sebagai Amil untuk mengurusi zakat Bani Sulaim. Tatkala ia menghadap Rasulullah saw, beliau saw menanyainya, dan ia menjawab, “Ini untukmu (Ya Rasul), sedangkan ini merupakan hadiah yang telah dihadiahkan kepadaku. Beliau saw bersabda,”Mengapa engkau tidak duduk di rumah bapak dan ibumu, sampai hadiahmu datang sendiri kepadamu, jika engkau memang jujur”. Rasulullah kemudian berdiri dan berkhutbah di hadapan manusia, memuji Allah dan mengagungkanNya, lalu bersabda, “‘Amma ba’du. Aku telah mengangkat seseorang di antara kalian sebagai Amil untuk mengurusi urusan-urusan yang telah diserahkan Allah kepadaku. Kemudian, salah seorang di antara kalian itu datang dan mengatakan, ” Ini untukmu, dan ini adalah hadiah yang dihadiahkan kepadaku.” Apakah tidak sebaiknya dia duduk saja di rumah ayat dan rumah ibunya sampai hadiah itu datang sendiri kepadanya, jika dia memang benar-benar jujur. Demi Allah, salah seorang diantara kalian tidak boleh mengambil harta tersebut dengan cara yang tidak benar, kecuali kelak pada hari kiamat dia pasti akan menghadap Allah dengan memikulnya. Ketahuilah, pasti akan aku saksikan apa yang telah ditetapkan oleh Allah, seseorang dengan membawa unta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, dan kambing yang mengembik. Beliau lantas mengangkat kedua tangannya hingga aku melihat ketiaknya yang putih, seraya berkata, “Perhatikanlah, bukankah telah aku sampaikan.”[HR. Bukhari dan Muslim]
Imam Abu Dawud mengetengahkan sebuah riwayat dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
“Barangsiapa yang kami pekerjakan untuk mengerjakan suatu pekerjaan, dan kami telah memberikan upahnya, maka apa yang diambilnya selain itu adalah suatu kecurangan.”[HR. Abu Dawud]
Pejabat yang mengambil selain apa yang telah digajikan negara kepada, berarti telah melakukan perbuatan haram.
Para ulama salafush sholeh dari kalangan shahabat, tabi’un, tabi’ut taabi’iin bersikap keras dan tegas dalam persoalan gratifikasi kepada para penguasa. Imam ‘Abdu al-Razaq, Sa’id bin Manshuur, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Abu asy-Syaikh dan Baihaqiy menuturkan sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud ra:
أنه سئل عن السحت أهو الرشوة في الحكم قال: لا، ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون، والظالمون، والفاسقون، ولكن السحت: أن يستعينك رجل على مظلمة، فيهدي لك، فتقبله، فذلك السحت
“Sesungguhnya, Ibnu Mas’ud ra pernah ditanya tentang “suht”, apakah ia bermakna suap dalam pemerintahan; maka, beliau menjawab, “Tidak. Barangsiapa menetapkan keputusan hukum tidak menurut apa yang telah diturunkan Allah swt, mereka adalah orang-orang kafir, orang-orang dzalim, dan orang-orang fasiq. Adapun “al-suht” adalah seorang laki-laki meminta pertolongan kepada anda untuk melakukan sebuah kedzaliman, lalu, ia memberi hadiah kepada anda, dan anda menerimanya. Maka, inilah al-suht”.
Seorang ‘ulama dari kalangan tabi’un, Abu Wa’il bin Salamah ra menyatakan, “Seorang qadli (hakim) yang menerima hadiah, berarti telah makan harta haram, dan jika ia menerima suap, maka ia telah sampai kepada kekufuran”. [Lihat Imam Syaukani, Nail al-Authar, Juz 9, hal. 140]. Dalil atas pernyataan beliau adalah sabda Nabi saw:
أخذ الامير سحت و قبول القاضي الرشوة كفر
“Hadiah yang diterima seorang penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur”. [HR. Imam Ahmad bin Hanbal]
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwasanya seorang penguasa atau wakilnya, dilarang menerima hadiah dalam bentuk apapun, baik barang maupun jasa, baik besar maupun kecil. Ketentuan ini juga berlaku untuk hadiah-hadiah yang berujud benda haram; seperti babi; atau jasa haram seperti layanan sex dari pelacur dan lain sebagainya. Jika seorang penguasa menerima gratifikasi sex, maka ia telah terjatuh kepada dua perbuatan haram; (1) menerima hadiah, dan (2) melakukan perbuatan haram (berzina).
Dampak Buruk Hadiah Yang Diterima Oleh Penguasa
Penerimaan hadiah oleh penguasa, pejabat, dan pegawai negara tidak saja berdampak buruk bagi si penerima hadiah saja, namun juga berdampak buruk bagi masyarakat dan negara. Seorang pejabat yang menerima hadiah dari rakyatnya, tanpa ia sadari akan kerasukan sifat-sifat buruk, seperti curang, dusta, khianat, dan lalim kepada rakyatnya. Sifat-sifat inilah yang mendorong dirinya untuk melakukan praktek-praktek kenegaraan menyimpang; seperti :
- Hanya mau melayani urusan orang-orang yang bisa memberinya hadiah dan enggan mengurus urusan-urusan rakyat kecil yang tidak bisa memberinya hadiah dan pelayanan.
- Menetapkan kebijakan publik dzalim demi kemashlahatan sang pemberi hadiah, bukan demi kemashlahatan rakyat banyak.
- Tidak berjalannya roda pemerintahan secara normal, serta munculnya praktek birokrasi yang rumit, sulit, dan bertele-tele, akibat pejabatnya biasa bekerja cepat jika ada hadiah dan suap.
- Lahirnya penguasa komprador yang rela menggadaikan negara dan bangsanya demi kepentingan para kapitalis.
Adapun dampak buruk hadiah bagi kehidupan masyarakat dan negara adalah;
- Rakyat terdzalimi akibat tidak terlayaninya urusan-urusan mereka. Urusan-urusan mereka terbengkelai, lambat, bahkan tidak terurus sama sekali, sebelum mereka memberikan sejumlah hadiah dan upeti kepada pejabat.
- Lahirnya undang-undang dan kebijakan-kebijakan publik yang justru menyengsarakan rakyat, akibat pejabat-pejabat negara lebih mementingkan kepentingan korporasi multinasional dan negara asing.
- Lenyapnya keadilan dan rasa aman akibat tidak amanahnya lembaga-lembaga pengayom masyarakat –seperti peradilan dan kepolisian—dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan dan kepemerintahan. Bahkan, tidak jarang pejabat-pejabat ini berselingkuh dan bersekongkol dengan para penjahat, koruptor, dan musuh-musuh Islam dan kaum Muslim, akibat “terlalu kenyang dengan hadiah dan suap”.
- Hilangnya kedaulatan sebuah negara, akibat munculnya penguasa-penguasa pengkhianat yang rela menjual negara dan bangsanya hanya untuk mendapatkan harga dunia yang sangat murah dan sedikit.
Inilah dampak buruk dari hadiah dan suap yang diterima oleh penguasa dan wakilnya. Dampak seburuk ini tentu saja harganya jauh lebih mahal dan tidak sebanding dengan jumlah suap dan hadiah yang diterima oleh para penguasa. Dari sini pula dapat dipahami mengapa syariat Islam benar-benar melarang penguasa menerima suap dan hadiah dari orang-orang yang punya pamrih.