Di sela pembukaan sidang kabinet terbatas bidang ekonomi dan keamanan di Istana Presiden, Jakarta, Selasa pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudoyono kembali meminta agar konflik-konflik berbasis agama segera diselesaikan secara tuntas. Menurutnya, semua pihak, terutama jajaran pemerintah daerah bertanggung jawab untuk mengatasi kekerasan sosial tersebut. “Menyangkut konflik antar umat beragama ini, saya sebetulnya berharap semua pihak utamanya jajaran pemerintah daerah di mana benturan atau kekerasan sosial itu terjadi, mengambil tanggung jawab penuh untuk mengatasinya, sampai tuntas. Tentu pemerintah pusat juga tidak bisa tinggal diam memberikan bantuan yang sama sampai tuntas,” kata SBY saat membuka sidang kabinet terbatas bidang ekonomi dan keamanan di Istana Presiden, Jakarta, Selasa (7/5/2013).
Konflik berbau agama, memang masih terjadi di Negeri ini. Meskipun patut diakui secara jujur bahwa konflik berbau agama bukanlah penyebab paling dominan akan keresahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat masyarakat. Konflik horizontal dan kekerasan massal yang disebabkan faktor lain justru jumlahnya lebih banyak. Demokrasi di alam reformasi saat ini terbukti membuat masyarakat ini sakit. Semakin hari penyakitnya semakin kronis. Banyak kasus sepele yang berubah menjadi konflik horizontal yang luas dan kekerasan massal. Bahkan akhir-akhir ini kekerasan telah menjadi hobi, sebagaimana kita saksikan pada kasus-kasus kekerasan geng motor.
Lebih dari itu, sebagaimana dinyatakan Dr KH Hasyim Muzadi bahwa Tujuh puluh persen (70%) konflik keagamaan terjadi karena faktor non agama yang diagamakan. Ia mengatakan: “Berbagai masalah, terutama politik, pemberontakan, perebutan kekuasaan, masalah sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya, disulap dan dibelokkan menjadi masalah agama” (6/4/2013). Bahkan mantan wapres Jusuf Kalla (JK) menegaskan, tak pernah ada konflik atas nama agama yang terjadi di Indonesia. Yang ada, kata dia, agama hanya dijadikan alat untuk menggalang solidaritas massa demi kepentingan tertentu dari konflik tersebut. Ia mengatakan: “Tidak ada. Yang ada agama seringkali hanya dijadikan alat dalam setiap perselisihan,” ujarnya di Jakarta, Selasa (23/4/2013). Ia mencontohkan apa yang terjadi di Indonesia. JK mencatat ada 15 konflik horizontal yang pernah terjadi di Indonesia. Dari semua itu, 10 konflik berakar pada ketidakadilan ekonomi. Sementara lima konflik terjadi karena kepentingan politik. Akan tetapi, lanjutnya, beberapa konflik yang terjadi tadi kemudian menggunakan alat agama untuk mendapatkan solidaritas massa. Maka yang terjadi adalah konflik melibatkan antar-umat beragama. Padahal itu bukan berdasar pada agama.
Akar konflik “berbau agama”
Memang tak dapat dipungkiri, kasus-kasus seperti penyerangan terhadap Ahmadiyah, konflik akibat pendirian gereja, persoalan suni-syiah seperti terjadi di Sampang beberapa waktu lalu, masih saja terjadi. Namun, hal ini terjadi bukan semata faktor agama, melainkan karena ketidaktegasan pemerintah dalam menjalankan komitmennya sendiri. Pidato demi pidato sudah begitu sering kita dengar dari presiden. Namun tak dapat mengubah sikap keras kepala ahmadiyah yang kerap kali melanggar SKB tiga menteri. Justru upaya melawan pelanggaran SKB itu yang dituduh radikal. Hal yang sama juga terjadi tatkala ketentuan-ketentuan menyangkut pendirian tempat ibadah dilanggar. Pemerintah cenderung tidak tegas dan kerap kali melakukan pembiaran. Jadi, ini bukanlah persoalan toleransi sebagaimana sering dituduhkan terhadap umat Islam. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan rumah ibadah Kristen justru lebih besar dibandingkan dengan masjid. Rumah ibadah umat Islam pada periode 1977-2004 meningkat 64,22 persen, Kristen Protestan 131,38 persen, Kristen Katolik meningkat hingga 152 persen. Tak ada masalah, apabila ketentuan-ketentuan itu tidak dilanggar. Dengan kata lain, konflik keagamaan terjadi karena ketidakhadiran negara, atau seringkali pemerintah lamban. Sebagai contoh kasus HKBP Ciketing dan GKI Yasmin yang hingga kini tak kunjung selesai karena kurang aktifnya pemerintah.
Adapun konflik keagamaan di internal umat Islam, maka hal ini juga perlu dilihat, apakah ini terjadi hanya karena gesekan yang sifatnya pemikiran, atau lebih jauh dari itu. Politisasi dan eksploitasi perbedaan aliran dan mazhab patut diwaspadai. Salah satu upaya kaum kafir memecah-belah kesatuan dan persatuan umat Islam adalah mengadu domba kaum Muslim melalui isu perbedaan mazhab, aliran kalam, kelompok dan golongan. Melalui agen-agennya, kaum kafir terus menanamkan fanatisme dan sentimen mazhab, kelompok dan golongan agar kaum muslim sibuk memusuhi saudara-saudaranya sendiri dan melupakan musuh sejati mereka, yakni orang-orang kafir yang terus memerangi Islam dan kaum Muslim siang dan malam. Kaum kafir juga tidak segan-segan membentuk faksi-faksi di tubuh kaum Muslim untuk menimbulkan kesesatan, perselisihan dan permusuhan.
Di antara isu sentimen kelompok yang terus dieksploitasi untuk menghancurkan kesatuan kaum Muslim adalah isu Sunni-Syiah. Isu ini secara efektif digunakan oleh Amerika Serikat, pasca invasi di Irak, untuk memecah-belah kekuatan kaum Muslim serta mengalihkan medan pertempuran sebenarnya, yakni berperang melawan tentara Amerika Serikat, ke arah perang antara kelompok Sunni dan Syiah. Amerika Serikat juga mempersenjatai dan mendanai kelompok-kelompok di Irak untuk menimbulkan konflik internal di tubuh kaum Muslim. Dengan cara seperti itu, perlawanan kaum Muslim menjadi lemah, dan eksistensi penjajahan Amerika Serikat di Irak bisa tetap bertahan hingga sekarang.
Hal ini pulalah yang patut diwaspadai dalam setiap konflik yang terjadi di internal umat Islam di tanah air. Politik Divide et impera atau Politik pecah belah adalah cara yang paling strategis dalam menjaga kekuasaan, yakni dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan atau mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. Terlebih di saat umat Islam perlahan bangkit untuk menerpakan ajaran mereka. Sebab, inilah yang paling ditakuti oleh barat. Survei demi survei menunjukkan bahwa kesadaran umat Islam terhadap syariat semakin hari angkanya semakin meningkat. Survei PPIM – UIN Syahid Jakarta, menunjukkan masyarakat yang menginginkan syariah pada tahun 2001 sebesar 61%, tahun 2002 sebesar 71%, pada tahun 2003 meningkat menjadi sebesar 75%, dan pada tahun 2008 sebesar 83% (Survei SEM Institute: 2008. Berikutnya pada tahun 2010, survei Setara Institut, sebuah lembaga survei sekuler mencatat bahwa 34,6 persen responden warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) menyetujui sistem khilafah. Hal ini tidak hanya terjadi di dalam negeri. Kesadaran ini terjadi secara merata di seluruh dunia Islam, bahkan di Barat sekalipun. Pusat Kajian Strategis Universitas Yordania dalam sebuah survei komprehensif tahun 2005 (“Revisiting the Arab Street” ) melaporkan bahwa dua pertiga dari responden di negara-negara Arab merasa bahwa Syariat harus menjadi sumber legislasi tunggal (persyaratan utama untuk Negara Islam), dan sepertiga sisanya merasa bahwa Syari’at harus menjadi sumber hukum. Berikutnya, Universitas Maryland hasil survei 4 negara Maroko, Pakistan, Mesir , Indonesia pada April 2007 (‘Muslim Public Opinion on US Policy, Attacks on Civilians and al-Qaeda’ ) menyebutkan kecenderungan serupa: “Mayoritas responden (70 %)di sebagian besar negara-negara mendukung penerapan Syari’at dengan ketat, menolak nilai-nilai Barat, dan bahkan menyatukan seluruh negeri Islam (Khilafah).” . Dan yang lebih mengejutkan lagi adalah yang diungkap survei Pew Research Center (PRC) baru-baru ini. Sebuah lembaga survei yang berkedudukan di Washington itu melansir bahwa mayoritas kaum muslim di negeri-negeri Islam menginginkan penerapan syariah Islam. Khusus di Indonesia, angkanya mencapai 72 %.
Fakta-fakta inilah, yang membuat musuh-musuh Islam gerah. Sehingga, apabila pada tahun 1917, yakni tatkala kaum muslimin, termasuk negara mereka telah dikuasai baik secara politik dan militer, seorang pemimpin tentara Inggris Jendral Lord Allenby saat memasuki al-Quds menyatakan: “hari ini perang salib telah berakhir”. Maka, saat ini, tatkala umat Islam telah bangkit kembali dari keterpurukan mereka, sungguh perang salib itu telah dimulai kembali. Semua cara barat lakukan dalam memenangkan kembali perang salib baru ini, termasuk cara lama mereka, yakni adu domba dan politik pecah belah. Hal ini dilakukan dengan cara pengelompokan dan klasifikasi terhadap Islam: fundamentalis, tradisionalis, modernis, sekularis, termasuk pengadudombaan kelompok umat yang telah lama ada seperti sunni-syiah. Tahun 2005 David E. Kaplan menulis dalam artikelnya, “Hearts, Minds, and Dollars”, (www.usnews.com, 4-25-2005), bahwa saat ini, Amerika melabur dana puluhan juta dollar dalam rangka propagandanya untuk – bukan hanya mengubah masyarakat Muslim – tetapi juga untuk mengubah Islam itu sendiri. Tujuannya jelas, selain menjauhkan umat dari ajaran mereka juga agar umat Islam bisa dipecah belah, menjadi keratan-keratan kecil, sehingga kekuatan mereka tetap dapat dimarjinalkan.
Solusi
Melihat akar konflik yang begitu kompleks maka penanganannya pun tidak dapat generalisir, apalagi bila kemudian disimpulkan bahwa umat Islam tidak toleran. Persoalan yang menyangkut konflik lintas agama dan penodaan agama maka yang saat ini diperlukan adalah ketegasan dan tindakan kongkrit pemerintah. Pelanggaran prosedur dalam pendirian rumah ibadah adalah murni pelanggaran hukum yang seharusnya bisa segera dituntaskan oleh pemerintah. Jika tidak, maka persoalan sensitif ini pasti akan berbuntut konflik sosial di tengah masyarakat. Begitu pun persoalan Ahmadiyah, yang sudah jelas menodai ajaran Islam juga seharusnya bisa segera ditindak. Sebab, keputusan hukumnya pun sudah demikian jelas. Persoalan Ahmadiyah bukan persoalan internal umat Islam, melainkan persoalan penodaan terhadap ajaran Islam. sehingga tak ada solusi lain atas konflik umat Islam dengan Ahmadiyah kecuali pembubaran Ahmadiyah itu sendiri selama mereka masih mengaku sebagai muslim. Namun, sepertinya pemerintah ragu-ragu dan cenderung membiarkan konflik ini terjadi, meski telah dibuat SKB.
Adapun konflik yang menyangkut internal umat Islam, selama itu merupakan persoalan pemikiran dan perbedaan khilafiyyah maka hal ini bisa dilakukan dengan terus melakukan pembinaan di tengah umat. Sebab, keharmonisan di tengah-tengah umat sesungguhnya bukanlah hal yang sulit diwujudkan selama tidak ada politisasi dan eksploitasi terhadap perbedaan itu. Tak heran, dalam sejarah Khilafah Islamiyah, sepanjang ribuan tahun umat Islam dengan segala perbedaannya mereka tetap bisa hidup harmonis dan berdampingan satu dengan yang lain. Bahkan, dalam batas-batas tertentu, pemikiran hukum dan kalam Sunni dan Syiah misalnya, berkembang dan diakomodasi dengan baik oleh penguasa-penguasa Islam pada saat itu. Hal ini bisa dimengerti, karena Negara Khilafah adalah institusi politik yang bertugas mengatur urusan rakyat dengan syariah Islam, tanpa memandang lagi latar belakang agama, mazhab, golongan, suku, ras dan lain sebagainya; dan menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Dalam konteks ri’ayah, Negara Khilafah berdiri di atas semua kelompok, golongan dan agama serta memperlakukan kelompok-kelompok tersebut berdasarkan ketentuan-ketentuan syariah yang dilegalisasinya. Negara Khilafah bukanlah negara milik kelompok tertentu, mazhab tertentu, atau untuk agama tertentu; tetapi ia adalah institusi yang menaungi dan mengatur seluruh entitas yang ada di dalam Daulah Khilafah Islamiyah tanpa terkecuali, berdasarkan syariah Islam. Adapun konflik-konflik bersenjata yang terjadi pada masa Kekhilafahan jarang sekali disebabkan karena faktor perbedaan pendapat dalam bidang fikih, mazhab, maupun kelompok; tetapi lebih diakibatkan karena intrik-intrik politik di pusat-pusat kekuasaan, riddah dan bughat.
Namun, apabila penyebab konflik-konflik di tengah umat ini akibat politisasi dan eksploitasi demi kepentingan tertentu, khususnya barat-penjajah sebagaimana dipaparkan di atas, yang ditopang dengan pembiaran pemerintah, maka solusinya tentu tidaklah sederhana. Pengkambinghitaman terhadap prilaku umat Islam jelas tidak berdasar. Justru dalam kondisi seperti ini umat Islam seringkali menjadi korban. Baik secara fisik maupun pencitraburukan. Hal ini akan terus terjadi selama mereka belum memiliki institusi yang dapat menaungi dan melindungi mereka. Institusi yang menerapkan syariah dan menegakan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Itulah Daulah Khilafah Islamiyah.
Khilafah Islam Menjamin Stabilitas Negara
Setiap kali muncul potensi konflik di tengah –tengah masyarakat maka Khilafah Islamiyah akan segera menanganinya. Dengan ini, stabilitas negara tetap terjaga. Sikap resmi Negara Khilafah dapat dijabarkan sebagai berikut;
- Mengakomodasi pendapat dan pemikiran yang berkembang di tengah-tengah umat, selama pendapat tersebut belum dianggap menyimpang dari akidah dan syariah Islam.
- Kelompok-kelompok yang telah menyimpang dari akidah Islam, atau terjatuh pada penakwilan-penakwilan yang sesat. Mereka dihukumi sebagai kelompok yang telah keluar dari Islam (murtad). Kebijakan Negara Khilafah dalam masalah ini sangat jelas: menasihati mereka agar kembali pada jalan yang lurus, menjelaskan kesesatan pendirian mereka dan memberi tenggat waktu untuk bertobat. Jika mereka menolak dan tetap dalam pendiriannya barulah mereka diperangi.
- Kelompok-kelompok pemikiran maupun politik yang membangkang (bughat), melakukan tindak kerusakan (hirâbah), memecah-belah persatuan dan kesatuan jamaah kaum Muslim, atau melakukan persekongkolan dengan kafir harbi. Mereka ini akan ditindak dan diperlakukan sesuai dengan ketentuan syariah Islam atas pelanggaran yang mereka lakukan.
- Selain menegakkan sanksi yang tegas atas kelompok-kelompok yang hendak merusak kesatuan kaum Muslim dan instabilitas negara, Khilafah juga melakukan upaya-upaya edukasi yang terus-menerus mengenai pentingnya menjaga kesatuan dan persatuan kaum Muslim serta meninggalkan fanatisme kelompok yang berlebihan.
Itulah kebijakan negara terhadap internal umat Islam. Adapun Non muslim yang menjadi warga negara Daulah Islam, maka mereka akan mendapatkan perlakuan sama dengan kaum Muslimin. Dalam Islam, kaum Kristen, Yahudi, dan Majuzi, mereka tidak dipaksa untuk meyakini dan membenarkan keyakinan Islam. Sebaliknya, mereka akan mendapatkan perlindungan untuk tetap memeluk aqidah mereka. Allah SWT berfirman:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat (QS al-Baqarah [2]: 256)
Dalam sebuah hadits yang dikeluarkan Abu ‘Ubaidad dalam kitab al-Amwal melalui jalur ‘urwah, Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّهُ مَنْ كَانَ عَلَى يَهُودِيَّةٍ أَوْ نَصْرَانِيَّةٍ فَإِنَّهُ لاَ يُفْتَنُ عَنْهَا ، وَعَلَيْهِ الْجِزْيَةُ
“siapapun yang beragama yahudi atau nasrani (berkedudukan sebagai dzimmiy) maka hendaklah dia tidak diganggu untuk melaksanakan ajaran agamanya. Mereka dikenakan Jizyah“.
Mereka pun berhak memiliki rumah ibadah. Hal ini didasarkan pada larangan menghancurkan rumah ibadah, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah SWT:
وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا
“Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah” (QS.al-Hajj: 40)
Selain itu, Harta dan darah mereka terjaga sebagaimana terjaganya darah dan harta kaum Muslim.
Diriwayatkan Al-Khathib dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah saw pernah bersabda:
مَنْ آذَى ذِمِّيًّا فَأنَا خَصْمُهُ وَمَنْ كُنْتَ خَصَمَهُ خَصْمَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa menyakiti dzimmiy, maka aku berperkara dengannya, dan barangsiapa berperkara dengan aku, maka aku akan memperkarakannya di hari kiamat [Jaami’ Shaghir, hadits hasan].
Hadits ini menjadi dalil atas larangan menyakiti warga non muslim. Baik hal itu dilakukan atas diri, kehormatan, atau pun harta mereka. Siapapun yang mencederai warga non muslim maka ia akan terkena diyat, sebagaimana dikenakan atas orang yang melakukannya kepada orang Islam. Siapa saja yang membunuh salah seorang di antara mereka, maka kepadanya akan dikenakan had qishash. Begitupun jika hartanya di curi, maka terhadap sang pencurinya akan dikenakan hukum potong tangan, begitu seterusnya. Pelaksanaan hukum ini nampak sepanjang sejarah Islam, terutama ketika kaum muslimin berada di puncak kejayaan dan kekuatannya. Al-hasil, dengan penerapan sistem Islam lah semua potensi konflik di tengah-tengah masyarakat akan dapat diselesaikan dan keadilan untuk seluruh warga negara dapat diwujudkan. Wallahu a’lam [Abu Muhtadi]