HTI Press. Palangka Raya.“Pemerintah dzalim” kata Rudini (Ketua DPD II HTI Kota Palangka Raya) dalam orasinya saat aksi damai Hizbut Tahrir bersama Umat “Menolak rencana kenaikan BBM subsidi” (14/06/2013) di Palangka Raya.
Beliau menyampaikan bahwa Rencana kenaikan harga BBM ini terjadi di tengah kesulitan hidup seperti sekarang ini bisa mendorong timbulnya gejolak sosial akibat tekanan ekonomi yang tak tertahankan oleh puluhan juta rakyat miskin. Dari Hasil Sensus Ekonomi Nasional (SUSENAS 2010) menunjukkan bahwa pengguna BBM 65% adalah rakyat kelas bawah dan miskin, 27% menengah, 6% menengah ke atas, dan hanya 2% orang kaya. Dan dari total jumlah kendaraan di Indonesia yang mencapai 53,4 juta (2010), sebanyak 82% di antaranya merupakan kendaraan roda dua yang notabene kebanyakan dimiliki oleh kelas menengah bawah. Ini menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM akan menyengsarakan rakyat.
pemerintah dianggap membuat kebijakan khianat karena kebijakan menaikkan harga BBM ini merupakan bagian penting dari liberalisasi migas oleh penguasaan dengan memberikan sebagian besar hak kepada swasta (asing) dan pengurangan peran negara. Kebijakan seperti ini jelas akan sangat merugikan dan menyengsarakan rakyat yang notabene adalah pemilik sumberdaya alam itu sendiri. Liberalisasi dilakukan untuk memenuhi tuntutan pihak Asing. Dan untuk itu, pemerintah tega mengabaikan aspirasi mayoritas rakyatnya.
Berbagai alasan pemerintah disampaikan untuk memperkuat argumentasi agar kenaikan BBM ini mulus tanpa ada penolakan dianggap sebagai alasan yang palsu. Karena tidak terbukti secara fakta. Justru yang membebani APBN kita adalah alokasi dana untuk membayar utang. Dan utang-utang tersebut banyak dinikmati oleh segelintir orang termasuk dana BLBI, Bank Century yang sampai sekarang tidak jelas penyelesaiannya.
Hal senada juga disampaikan oleh Hendra dalam orasinya bahwa pemerintah telah menipu rakyat kita untuk memuluskan kebijakan yang pro asing.
Aksi ini juga menampilkan teatrikal bagaimana pihak asing yang menjajah negeri ini dengan melakukan perjanjian-perjanjian dengan pemerintah untuk memuluskan Liberalisasi Sumber Daya Alam termasuk Migas. Padahal kekayaan alam yang melimpah merupakan barang milik umum yang pengelolaannya harus diserahkan kepada negara untuk kesejahteraan rakyat. (MI)