Program bantuan tunai seperti Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) dinilai tidak akan mampu menahan tambahan angka kemiskinan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Selain tidak efektif, realisasi pembagian BLSM, mengacu pada kasus bantuan langsung tunai (BLT) pada 2005 dan 2008, berpotensi memicu konflik sosial karena salah sasaran.
Kepala Ekonom Samuel Sekuritas, Lana Soelistianingsih, mengungkapkan jika mengacu pada studi empiris di berbagai negara, pembagian dana tunai untuk pengentasan masyarakat dari kemiskinan tidak akan efektif. Pasalnya, rumah tangga sasaran merasa dana kompensasi itu sifatnya sementara sehingga mereka cenderung menggunakannya untuk keperluan konsumtif.
“Kalau kasus di Indonesia dibelikan pulsa, kasus di India dibelikan televisi,” papar dia di Jakarta, Selasa (18/6).
Pendapat senada dikemukanan oleh pengamat ekonomi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Zamroni Salim. Menurut dia, sekitar 60 persen pendapatan rakyat miskin dialokasikan untuk makanan, sedangkan sisanya untuk kegiatan lain yang tidak bersifat produktif. “Jadi, dari situ, saya melihat BLSM (balsem) itu tidak akan efektif mengurangi angka kemiskinan tersebut,” jelas Zamroni.
Sebelumnya, politisi PDI Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka, juga menyatakan kenaikan harga BBM selalu menambah angka kemiskinan meski dibarengi dengan program kompensasi seperti BLT pada 2009.
Ia memaparkan data BPS menunjukkan pada 2006, Rumah Tangga Miskin (RTM) sebanyak 19,1 juta (sekitar 76,4 juta jiwa). Pada 2011, ada penambahan RTM menjadi 25,2 juta (sekitar 100,8 juta jiwa). “Artinya, dua tahun setelah BBM dinaikkan dan BLT disalurkan, jumlah orang miskin bertambah 24,4 juta jiwa,” papar Rieke.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Ahmad Erani Yustika, pun mengingatkan bahwa kenaikan harga BBM akan menyebabkan angka kemiskinan melonjak menjadi 13,11 persen dari 11,6 persen (dari jumlah penduduk Indonesia 240 juta orang) pada 2012.
Karena itu, menurut Erani, penting bagi pemerintah menciptakan lapangan pekerjaan baru. “Itu pesan bagi pemerintah jika masyarakat Indonesia tidak ingin terganggu oleh inflasi akibat kenaikan BBM yang diprediksi mencapai 7,2 persen,” kata Erani.
Seperti dikabarkan, dalam waktu dekat, pemerintah berencana menaikkan harga BBM jenis premium dan solar masing-masing 2.000 rupiah dan 1.000 rupiah per liter sehingga harga premium menjadi 6.500 rupiah dan solar 5.500 rupiah per liter.
Guna mengompensasi dampak inflasi akibat kenaikan harga minyak itu, pemerintah tahun ini akan menggulirkan program bantuan tunai seperti BLSM sebesar 11,6 triliun rupiah atau 38,7 persen dari total kompensasi kenaikan harga BBM (30 triliun rupiah). Selama lima bulan berturut-turut, sebanyak 15,5 juta rumah tangga miskin sasaran mendapat bagian 150 ribu rupiah per bulan per rumah tangga.
Daya Beli Turun
Lana menambahkan dana tunai itu bertujuan mengompensasi daya beli yang turun terhadap konsumsi dasar akibat kenaikan harga BBM. Namun, karena bantuan bersifat sementara, biasanya tidak digunakan membeli makanan sehingga konsumsi makanan malah berkurang dan konsumsi non makanan bertambah. “Untuk mengatasi daya beli yang turun, saya kira BLSM atau bantuan sosial lainnya belum akan bisa mengompensasi secara penuh. Tetap saja ada daya beli yang turun,” papar dia.
Padahal, lanjut Lana, ukuran kemiskinan dihitung berdasarkan konsumsi kalori makanan sehingga meski ada BLSM maupun bantuan dana lain, masyarakat miskin tetap bertambah.
Ia mengungkapkan kemiskinan terparah ada di perdesaan karena sulit mendapat pekerjaan. Oleh karena itu, untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan di Indonesia harus diikuti dengan pendidikan yang baik dan penciptaan lapangan kerja.
“Jadi, pendidikan dan penciptaan lapangan kerja itu penting untuk memotong kemiskinan yang turun-temurun,” jelas Lana.
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, sebelumnya juga mengingatkan di luar masalah tidak efektif, BLSM berpotensi memicu konflik sosial di akar rumput. Pangkal masalahnya adalah rumah tangga sasaran sebesar 15,5 juta keluarga itu.
Padahal, lanjut dia, data tersebut diambil dari Pendataan Program Perlindungan Sosial tahun 2011 (PPLS 2011) yang menyediakan nama dan alamat 24 juta rumah tangga dengan kondisi sosial ekonomi terendah dari 96,7 juta jiwa data yang dihimpun atau 42,5 persen rumah tangga di Tanah Air.
“Karena target BLSM tahun ini hanya 15,5 juta rumah tangga, berarti 8,5 juta lainnya tidak menerima. Ketidakadilan semacam ini mudah meledak menjadi konflik sosial,” ungkap dia.(koran-jakarta.com, 19/6)