Kebijakan Menaikkan Harga BBM Adalah Bukti Kezaliman Demokrasi

“Itu sama saja pemerintah membunuh kami,” ungkap Muhammad Nasir seorang nelayan di Pelabuhan Ulee Lheue, Kota Banda Aceh, menanggapi rencana kenaikan BBM (shnews.co, 19/6). Tapi keluhan Muhammad Nasir sia-sia, karena kemudian pemerintah memang menaikkan BBM. Dan himpitan ekonomi kian mencekik banyak warga.

Di antara dampak langsung kenaikan BBM adalah meroketnya harga kebutuhan pokok. Banyak warga makin terasa berat untuk menyambung hidup dari hari ke hari. Di Mojokerto, Jawa Timur, 46 Lansia penghuni Panti Werdha di Mojokerto terancam dikurangi jatah makan, pasca kenaikan harga BBM yang membuat melonjaknya harga berbagai kebutuhan pokok. Sebab anggaran yang diplot pemerintah, tak mencukupi kebutuhan pangan.

Kepala UPT Panti Werdha Kabupaten Mojokerto Sugiono mengatakan, naiknya harga BBM yang menyebabkan harga komoditas pangan naik, membuat anggaran yang diperuntukkan bagi warga binaannya kurang. Anggaran Rp 400 juta per tahun, dirasa sangat kurang (detik.com, 24/6).

Nasib rakyat memang bak jatuh tertimpa tangga. Bukan saja harus menghadapi kenaikan berbagai harga kebutuhan sehari-hari, tapi juga harus menghadapi kenaikan ongkos angkutan umum. Hal ini kian terasa berat karena banyak kegiatan seperti ke tempat kerja, ke sekolah, ke kampus, ke pasar, mau tidak mau rakyat harus menggunakan kendaraan umum.

Demokrasi Menzalimi Rakyat

Seperti diketahui, keputusan pengurangan subsidi BBM yang tertuang dalam RAPBN-P 2013 disahkan oleh DPR RI melalui voting. Saat itu 338 anggota DPR RI menyetujui pengurangan subsidi BBM yang tertuang dalam RAPBN Perubahan, 108 lainnya menolak. Berdasarkan suara terbanyak di gedung parlemen maka RAPBN-P pun disahkan. Subsidi BBM pun dikurangi.

Hasil voting oleh anggota DPR RI itu bertentangan dengan keinginan mayoritas masyarakat yang justru menentang kenaikan harga BBM. Hasil survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pimpinan Denny JA menunjukkan sebanyak 79,21% responden menolak kenaikan harga BBM, hanya 19,10% warga mendukung.

Dari mayoritas masyarakat yang menolak kenaikan harga BBM, 84% di antaranya adalah warga pedesaan. Sementara 75,5% warga perkotaan juga menolak kenaikan harga BBM (detik.com, 23/6).

Kebijakan pemerintah menaikkan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, ternyata juga tak disetujui mayoritas pemilih Partai Demokrat, parpol yang justru paling ngotot menuntut pengurangan subsidi BBM. Sebanyak 77,56 persen pemilih Demokrat menolak kenaikan BBM. Tak hanya itu, survei LSI juga menunjukkan 80,81 persen pemilih Partai Golkar yang berkoalisi dengan Demokrat, juga menolak kenaikan harga BBM.

Karenanya jargon demokrasi sebagai pembawa suara mayoritas rakyat patut dipertanyakan; benarkah demokrasi itu membawa aspirasi masyarakat? Orang awam pun bisa melihat bahwa demokrasi ternyata kebohongan belaka. Katanya demokrasi adalah sistem yang menjalankan aspirasi rakyat banyak, sesuai namanya demos yang berarti rakyat, dan kratos yang artinya pemerintahan. Katanya dalam demokrasi berlaku prinsip from people, by people, for people  — dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Akan tetapi keputusan menaikkan harga BBM malah menunjukkan pemerintah dan DPR tidak lagi mempedulikan aspirasi rakyat banyak. Suara ratusan juta rakyat Indonesia kalah hanya oleh 338 suara anggota DPR. Kalau begitu dimana letak aspirasi rakyat yang katanya penentu kebijakan pemerintah dalam sistem demokrasi?  Benar-benar dusta dan kezaliman!

Keputusan menaikkan harga BBM oleh pemerintah yang disetujui DPR menegaskan bahwa demokrasi bukanlah milik rakyat dan tidak pernah ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Praktek demokrasi memperlihatkan gambaran busuk bahwa pemerintahan adalah milik segelintir elit parpol dan kroni-kroni mereka. Di satu sisi parpol dan DPR begitu ngotot meminta pengurangan subsidi BBM yang menjadi hajat hidup orang banyak, tapi bungkam dari mengkritisi pemborosan yang dilakukan pemerintah.

Perlu diketahui, biaya rapat kabinet pemerintahan SBY menelan biaya yang mahal. Seperti dikatakan Deputi Sekretaris Kabinet Djatmiko, biaya untuk setiap rapat kabinet bisa mencapai Rp 20 juta, bahkan ada rapat yang bisa menelan biaya hingga Rp 1 miliar. Sehingga total anggaran yang dihabiskan pemerintahan SBY untuk rapat saja sepanjang tahun 2012 mencapai Rp 20 miliar.

Bila pemerintah dan DPR bernafsu mengurangi subsidi BBM untuk rakyat, kenapa mereka malah menyetujui pengucuran dana sebesar Rp7,355 triliun sejak tahun 2007 kepada seorang konglomerat besar untuk penanggulangan lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo.  Hal ini tercantum dalam pasal 9 APBN P 2013 yang menganggarkan tambahan subsidi sebsar Rp155 miliar untuk penanggulangan lumpur Lapindo.

Bahkan untuk tahun anggaran 2014, Komisi V DPR RI sudah menyetujui anggaran untuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) sebesar Rp 845,1 miliar sebagaimana yang diajukan dalam pagu Rencana Kerja Pemerintah (RKP) (kompas.com, 20/6). Memang anggaran itu untuk menolong korban bencana lumpur di Sidoarjo, akan tetapi perusahaan dan pemiliknya lolos begitu saja dari jerat hukum dan tanggung jawab, semenjak Mahkamah Konstitusi memutuskan musibah lumpur itu sebagai bencana alam pada tahun 2012.

Inilah bentuk kezaliman dan kebohongan demokrasi. Jargon untuk rakyat hanyalah pemanis untuk menipu rakyat, khususnya kaum muslimin.

 

Tragedi BLSM

Sementara itu pasca kenaikan BBM, dana Bantuan Langsung Sementara (BLSM) yang dijanjikan pemerintah sebagai dana kompensasi atas pengurangan subsidi BBM juga bermasalah. Hingga hari kedua sejak keputusan menaikkan harga BBM, serapan BLSM baru 1 %.

Dari 15,5 juta warga miskin, baru sekitar 6 juta warga yang mendapatkan Kartu Pengendalian Sosial (KPS). Padahal dampak kenaikan harga BBM sudah mulai dirasakan banyak warga jauh sebelum keputusan itu diambil.

Pendistribusian BLSM juga bermasalah. Banyak warga miskin tidak menerima BLSM, ada juga nama penerima yang ternyata sudah meninggal atau tidak dikenal, dan tidak memiliki alamat jelas.  Ditengarai hal ini disebabkan pemerintah menggunakan data BPS tahun 2011 dan bukan data warga miskin terbaru tahun 2013.

Sudahlah kacau distribusinya dan belum semua warga miskin mendapatkannya, jumlahnya pun minim dibandingkan lonjakkan harga kebutuhan pokok, apalagi menjelang datangnya bulan puasa dan lebaran. Di sisi lain banyak keluarga yang juga harus mempersiapkan anggaran lebih untuk tahun ajaran baru bagi anak-anak mereka. Karenanya banyak warga penerima BLSM yang mengaku dana itu hanya cukup untuk menambah uang belanja seminggu hingga sepuluh hari. Ada juga yang langsung habis untuk membayar hutang. Padahal dana BLSM sebesar 300 ribu yang mereka dapatkan alokasinya adalah untuk dua bulan.

Karenanya kebijakan mencabut subsidi BBM menjelang bulan puasa dan lebaran nanti, sungguh kebijakan yang kejam, tidak berpihak pada rakyat, dan penuh dengan kebohongan kepada publik. Kondisi itu bisa jadi akan semakin diperparah, jika mengingat adanya rencana pemerintah untuk menaikkan kembali tarif tenaga listrik mulai 1 Juli 2013. Karena kenaikan tarif listrik ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 30 Tahun 2012 Tentang Tarif Tenaga Listrik yang disediakan PT PLN (Persero). Berdasarkan regulasi itu, pemerintah memang akan menaikkan tarif listrik pada tahun ini sebanyak empat kali. Dua kali sudah dilakukan pada 1 Januari dan 1 April 2013, dan akan terjadi lagi pada 1 Juli dan 1 Oktober tahun ini. Makin tercekiklah nasib rakyat di tanah air. Inilah buah dari praktek sistem ekonomi kapitalisme-liberalisme. Negara hadir seminim mungkin dalam kehidupan ekonomi masyarakat.

Sistem Yang Menyejahterakan

Wahai kaum muslimin, tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari sistem demokrasi dan kapitalisme yang sekarang diberlakukan di tengah-tengah kita! Demokrasi bukanlah untuk kepentingan rakyat, melainkan alat kepentingan sekelompok kecil elit parpol dan penguasa. Demokrasi telah melahirkan rezim yang zalim dan kebijakan otoriter sekelompok orang.

Sedangkan Anda semua telah memiliki sistem Islam yang paripurna dan dijamin keberkahannya oleh Allah SWT. Mengapa tidak kita ikuti jalan Allah yang lurus ini?

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

 “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (TQS. al-An’am [6]: 153)
Dalam sistem Khilafah yang nantinya akan memberlakukan syariat Islam, negara berkewajiban menjamin kehidupan rakyat tidak pandang agama maupun status sosial, miskin atau kaya. Seluruhnya wajib mendapatkan pengaturan dan pelayanan oleh negara. Sumberdaya alam pun haram hukumnya diberikan kepada asing untuk di’perkosa’, melainkan harus dikelola oleh negara dan digunakan hasilnya atau keuntungannya sebesar-besarnya untuk rakyat dari seluruh lapisan.

Selain itu negara tidak akan memungut pajak yang demikian memberatkan rakyat seperti yang kini terjadi dalam sistem kapitalisme, menjadikan pajak sebagai urat nadi perekonomian. Islam memiliki sumber pendapatan dan pengeluaran yang khas, yang telah diatur demikian rinci berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah.

Maka, belum cukupkan derita yang kalian alami di dalam aturan demokrasi yang penuh dusta ini? Telah tiba waktunya untuk menyongsong perubahan besar menuju Khilafah Rasyidah ala Minhajin Nubuwwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [IJ – LS HTI]

One comment

  1. namanya juga demoKERAsi, hanya layak untuk KERA, yg tak perlu berfikir dan berakal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*