Menakar Kembali Angka Kemiskinan

Tidak semua penduduk miskin di wilayahnya tercatat oleh BPS.

Pemerintah kembali mengklaim angka penduduk miskin turun. Jika pada tahun 1997 16,58 persen, maka pada tahun 2012 tinggal 11,66 persen dari jumlah penduduk di Indonesia. Dengan kalkulasi tersebut, jumlah penduduk miskin selama lima tahun terakhir turun sekitar 9 juta jiwa.

“Kami telah mengentaskan sekitar 9 juta orang keluar dari kemiskinan dalam jangka waktu lima tahun. Kami berkomitmen untuk menjaga kemajuan ini di masa datang,” ucap Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Jakarta, Selasa (26/6) lalu.

SBY optimistis, angka kemiskinan di negeri berpenduduk 250 juta jiwa ini akan terus menurun dengan berbagai program pemerintah saat ini. Bahkan pada tahun 2014, pemerintah juga mengklaim kemiskinan di negeri ini hanya tinggal 8-10 persen dari total penduduk di Indonesia.

Klaim pemerintah bahwa jumlah penduduk miskin terus berkurang bukan kali ini saja. Pemerintah kerap melontarkan pernyataan tersebut. Namun yang menjadi pertanyaan apakah penduduk miskin memang benar-benar turun? Kondisi tersebut bisa terlihat di lapangan.

Untuk mengetahui berapa besar jumlah penduduk miskin memang harus ada standarnya. Di Indonesia jumlah penduduk miskin merupakan hasil sensus Badan Pusat Statistika (BPS). Dalam menetapkan angka kemiskinan, salah satu standar yang dipergunakan lembaga tersebut adalah pendapatan perkapita.

Dengan standar tersebut, pemerintah kemudian menetapkan batas garis kemiskinan. Sejak tahun 2010, BPS menetapkan batas garis kemiskinan adalah masyarakat yang berpendapatan Rp 212 ribu per kapita perbulan atau Rp 7.060 per kapita  perhari. Jika dikonversikan sekitar 1,13 dolar AS.

 

Pro Kontra Standar Kemiskinan

Standar yang ditetapkan BPS atau pemerintah tersebut kerap menimbulkan pro kontra. Misalnya, ADB (Asian Development Bank) menetapkan batas garis kemiskinan sebesar 1,25 dolar AS atau sekitar Rp 7.080 per kapita  perhari. Angka dihitung dari Produk Domestik Bruto (PDB) yakni sebesar Rp 6.237 per dolar AS.

Perbedaan standar BPS dan ADB memang terlihat tipis hanya 12 sen dolar AS. Jika dikalkulasikan, maka perbedaan angka kemiskinan sangat fantastis. Jumlah penduduk miskin ADB dan BPS berselisih hingga lebih dari 10 juta jiwa. Artinya jika standar kemiskinan tersebut dinaikkan sedikit saja, maka jumlah penduduk miskin akan melonjak.

Bagaimana jika kemudian menggunakan standar Bank Dunia dengan pendapatan 2 dolar AS atau sekitar Rp 500 ribu/kapita/bulan. Sudah pasti jumlah penduduk miskin di Indonesia akan bertambah sangat besar. Bank Dunia memperkirakan dengan standar tersebut, penduduk miskin mencapai 100 juta jiwa atau hampir 40 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 243 juta jiwa.

Jika melihat fakta di lapangan, maka kondisi kemiskinan yang diklaim pemerintah juga jauh dari kenyataan. Salah satu contohnya adalah  dalam pembagian beras untuk rakyat miskin (raskin). Dalam pembagian raskin setiap penduduk miskin akan mendapatkan jatah 15 kg/bulan. Tahun ini jumlahnya sebanyak 15,5 juta  rumah tangga sasaran (RTS).

Di lapangan ternyata banyak pemerintah daerah (pemda), terutama kepala desa/lurah yang terpaksa membagi rata jatah raskin tersebut. Alasannya, tidak semua penduduk miskin di wilayahnya tercatat oleh BPS. Misalnya, yang sering terjadi dalam satu rumah ada dua-tiga keluarga yang masuk kategori miskin. Sementara BPS hanya mencatat dalam rumah tersebut hanya satu keluarga miskin.

Karena itu wajar jika banyak pihak mempertanyakan standar garis kemiskinan yang menjadi patokan BPS. Sebagai salah satu lembaga pemerintah, bisa jadi BPS tidak lepas dari intervensi pemerintah. Untuk kepentingan politik, pemerintah berupaya dengan berbagai cara agar penduduk miskin terlihat seminimal mungkin.

Artinya, jumlah penduduk miskin di Indonesia ibarat fenomena gunung es. Terlihat sedikit di luar, tapi kenyataanya lebih besar lagi. Joe Lian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*