Oleh: Abi Muhtadi, Lc.
Sebagaimana dinyatakan di dalam QS al-Baqarah: 183, hikmah pelaksanaan puasa adalah untuk membentuk pribadi-pribadi yang bertakwa. Takwa dalam arti yang sebenarnya yakni melaksanakan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangannya.
Imam Ali ra menggambarkan bahwa taqwa adalah al-khauf minal jalîl, wal ‘amal bit_tanzîl, wal qanâ’ah bil qolîl, walisti’dâd liyaumir rohîl, (perasaan takut kepada Allah SWT, ketaatan untuk melaksanakan hukum-hukum-Nya, perasaan cukup dan puas atas rezeki-Nya meski sedikit, serta persiapan untuk menghadapi kematian (akhirat) (Sulaiman Bin Muhammad, Syarhul Arba’in an-Nawawiyyah lil Imam an-Nawawiy, hal 45).
Meski demikian, sosok Mukmin yang muttaqin bukanlah sosok seperti malaikat yang tak pernah salah karena tidak memiliki nafsu, atau para nabi yang memiliki sifat maksum. Namum, sosok Mukmin yang muttaqin wujud idealnya bisa dilihat pada pribadi para sahabat yang merupakan hasil didikan langsung Rasulullah SAW.
Mereka adalah orang-orang yang senantiasa bersegera memenuhi panggilan Allah SWT, baik dalam keadaan lapang atau pun sulit, baik dalam hal yang mereka sukai atau pun yang mereka enggan melaksanakannya. Sebagai contoh, ketika ayat tentang khamer turun para sahabat segera membuangnya bahkan memecahkan bejana-bejananya. Shahabiyat juga sama, ketika kewajiban khimar (kerudung) turun, mereka segara mengenakannya saat itu juga meski dengan robekan kain-kain seprei mereka. Mereka juga adalah pribadi-pribadi yang selalu siap berkorban; baik berupa harta, tenaga, pikiran, waktu, bahkan jiwa dan raganya dalam rangka mewujudkan ketaatan kepada Allah SWT.
Itulah contoh pribadi-pribadi mukmin yang muttaqin yang telah berhasil menggapai hikmah puasa. Pertanyaannya, mengapa kita belum bisa seperti mereka. Kaum Muslim lebih suka berleha-leha dalam melaksanakan perintah-perintah Allah SWT. Pelaksanaannya pun tak lebih sekadar rutinitas. Shalat sebagai rutinitas harian, puasa sebagai rutinitas tahunan, dan seterusnya.
Apabila Ramadhan usai kondisi kembali seperti semula. Bahkan yang lebih memprihatinkan apabila tak dapat dibedakan lagi antara bulan Ramadhan dengan bulan-bulan lainnya. Kemungkaran masih marak terjadi. Seolah Ramadhan tidak memberi bekas apa-apa.
Lalu apa yang salah..? Shalat sama lima waktu. Puasa sama, yakni sebulan penuh selama bulan Ramadhan. Begitupun, Al Quran juga sama, tiga puluh juz. Hal ini semua terjadi karena upaya membangun ketakwaan itu masih berlangsung secara individual. Padahal membangun ketakwaan itu merupakan kerja kolektif seluruh masyarakat muslim terutama Negara. Sebab, mewujudkan ketakwaan di tengah-tengah masyarakat tak mungkin bisa dilakukan tanpa pelaksanaan hukum-hukum Islam secara menyeluruh. Sementara adanya negara yang menerapkan syariat merupakan pilar mendasar pelaksanaan Islam itu sendiri.
Negara Khilafah memiliki cara yang efektif agar ketakwaan itu benar-benar dapat terwujud dan bulan Ramadhan benar-benar berpengaruh. Pertama: terus melakukan pembinaan terhadap masyarakatnya, baik dalam bentuk pendidikan formal atau kajian-kajian dan ceramah umum. Semua itu ditujukan dalam rangka menanamkan akidah dan kepribadian Islam pada diri mereka. Dengan akidah yang kuat seseorang akan senantiasa mengontrol dan menjaga tingkah lakunya. Rasulullah SAW bersabda: “Islam itu nyata, sementara iman itu berada di dalam hati”. Lalu Rasulullah SAW dengan kedua tangannya ke dalam dada beliau seraya berkata: “Taqwa itu di sini” (HR. Ahmad). Hadits ini menunjukkan bahwa kontrol pertama setiap Muslim adalah dirinya sendiri dengan bekal keimanan di dalam dadanya.
Kedua: membentuk lingkungan yang kondusif dalam rangka mewujudkan ketaatan kepada Allah SWT dengan cara mendorong seluruh masyarakat untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Sebab, betapapun besarnya keimanan seseorang ia tetap mungkin terpengaruh oleh lingkungannya. Dalam lingkup yang sederhana Rasulullah SAW bersabda: “Seseorang itu tergantung pada agama temannya, maka hendaklah kalian memperhatikan siapa yang akan kalian jadikan teman”. (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi). Hadits ini menunjukkan bahwa tinggi rendahnya ketakwaan seseorang sangatlah ditentukan oleh baik atau buruknya kondisi di sekitarnya. Oleh karena itu, dalam Islam negara juga bertugas untuk menjadikan masyarakat Muslim menjadi masyarakat yang baik sekaligus mampu menjadi pengontrol prilaku setiap individu-individunya. Rasulullah SAW telah menggambarkan masyarakat Muslim dalam perumpamaannya yang indah. Beliau bersabda: “Permisalan orang-orang yang menegakkan syariat Allah SWT dan orang-orang yang melanggarnya, bagaikan suatu kaum yang berbagi tempat duduk di sebuah kapal laut. Sebagian mendapatkan bagian atas kapal tersebut, dan sebagian lain mendapatkan bagian bawah. Sehingga apabila orang-orang yang berada di bagian bawah kapal itu hendak mengambil air, mereka pasti harus melewati orang-orang yang berada di atasnya. kemudian orang-orang yang beradah di bawah itu berkata: seandainya kami melubangi bagian kami (dari kapal ini), niscaya kami tidak akan mengganggu orang-orang yang berada di atas kami. Nah, apabila orang-orang yang berada di bagian atas membiarkan orang-orang tersebut melaksanakan keinginannya, niscaya mereka semua akan binasa, dan bila mereka mencegah orang-orang tersebut, niscaya mereka telah menyelamatkan orang-orang tersebut, dan mereka semua pun akan selamat”. (HR Bukhari).
Ketiga: penerapan hukum-hukum Islam dalam seluruh aspeknya termasuk pemberlakuan sistem persanksian (nidzamul ‘uqubat) bagi pelaku pelanggaran. Penerapan Islam dengan benar pasti akan mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat. Sebab, hukum-hukum Islam tersebut pada dasarnya diturunkan bukan hanya sekadar taklif (beban hukum) bagi manusia namun juga solusi atas setiap problematika kehidupan yang dihadapinya. Keadilan, kesejahteraan, kedamaian akibat penerapan Islam itulah pada gilirannya akan semakin mendorong orang untuk terikat pada hukum syariat. Penerapan sistem persanksian tetap wajib dilakukan. Dialah yang menjadi benteng terakhir bagi orang-orang yang tetap nekad melanggar hukum. Pelaksanaan puasa misalnya, jelas dapat dilakukan oleh setiap Muslim, kecuali mereka-mereka yang mendapat udzur. Namun, yang dapat memastikan bahwa semua umat Islam berpuasa hanyalah negara dengan sistem sanksinya. Kalau pun ada yang berani berbuka pasti mereka melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Negara bisa menetapkan hukuman ta’zir bagi orang-orang yang ketahuan tidak berpuasa tanpa udzur syar’i, bahkan memeranginya apabila mereka tidak mau bertaubat. Rasulullah SAW bersabda: “Simpul Islam dan pilar agama ini ada tiga. Siapa saja yang meninggalkan salah satu dari ketiganya maka ia telah kafir dan halal darahnya. Ketiga hal itu adalah kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah SWT, shalat lima waktu dan puasa di bulan Ramadhan” (HR. ad-Dailamiy). Pelaksanaan hadits ini tentu merupakan hak negara. Demikianlah negara menjamin terwujudnya ketaatan tadi pada hukum-hukum syariat lainnya.
Keempat: meningkatkan aktivitas penyebaran Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan Jihad. Puasa tentu bukanlah alasan untuk bermalas-malasan. Justru puasa adalah latihan dan persiapan bagi kaum muslimin agar ia mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban terberat seperti jihad fisabilillah. Siapa saja yang mengaku bahwa ketakwaannya meningkat dengan pelaksanaan puasa Ramadhan, hendaklah ia buktikan ketakwaannya itu dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang tidak disukainya. Tak heran apabila pada masa lalu banyak ekspedisi dakwah dan jihad fisabillah dilakukan oleh Daulah Islam di bulan Ramadhan. Berikut ini di antara peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi di bulan Ramadhan: Perang Badar al-Qubro (2 H), persiapan perang Khandaq (5H), Fathul Makkah (8 H), perang Tabuk (9H), pengiriman surat dan delegasi ke luar Jazirah (10H), perang Qadisiyah untuk mengalahkan kekuatan Persia (15H), Fathu Jaziroh Ruds (53H), Fathu andalus (91H), kekalahan pasukan salibis di Bilath Syuhada (114H), Fathu ‘Amuriyah oleh al-Mu’tashim (223H), serangan pertama sholahuddin terhadap pasukan salibis di Suriah (584H), kekalahan pasukan Tartar di ‘Ain Jalut (658H), dsb.
Inilah di antara cara daulah Islam dalam menumbuhsuburkan ketakwaan di bulan Ramadhan. Al-hasil, ketakwaan itu harus diwujudkan secara kolektif melibatkan komitmen individu, kontrol masyarakat dan negara-negara yang menerapkan Islam dan menyebarkannya ke seluruh alam. Hanya dengan cara-cara inilah pelaksanaan puasa Ramadhan akan memberi bekas pada kehidupan umat Islam. Wallahu A’lam[]