Dalam sebuah pemberitaan terbaru, Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyatakan ada banyak kebijakan yang tertuang dalam bentuk peraturan-peraturan daerah (perda) syariah yang mengandung unsur-unsur diskriminatif bahkan mendorong terciptanya kekerasan di wilayah publik.
Haidar pun menyatakan perlu diwaspadai tumbuhnya gerakan Islam Syariat, yakni faksi yang mengusung semangat anti-nasionalisme, anti-demokrasi, dan menolak konsep negara-bangsa yang secara utopia mencoba menghidupkan kembali isu Negara Islam atas dasar sistem Khilafah Islam.
Faksi Islam Syariat ini, menurutnya juga mengidap apa yang disebut sebagai hypocracy in democracy, kemunafikan terhadap demokrasi. Di satu sisi secara tegas menolak demorkasi tetapi menikmati kehidupan di bawah alam demokrasi.
Untuk membincangkan masalah tersebut, wartawan mediaumat.com Joko Prasetyo mewawancarai Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto. Berikut petikannya.
Apakah benar perda syariah mengandung unsur dikriminatif bahkan mendorong kekerasan?
Bukan kali ini saja dilontarkan pernyataan seperti itu di seputar perda-perda yang disebut sebagai perda syariah. Tapi, sama dengan pernyataan sebelum-sebelumnya, pihak-pihak itu tidak pernah bisa membuktikan mana perda yang diskriminatif itu, dan mana pula perda yang mendorong kekerasan.
Juga mana itu perda yang disebut perda syariah, karena faktanya memang tidak ada yang disebut perda syariah.
Lantas?
Itu hanyalah istilah yang dibuat oleh kelompok-kelompok atau orang sekuler di Jakarta. Mereka selalu meributkan perda-perda ini, sementara di daerah, di tempat perda-perda itu ada dan diterapkan orang-orangnya tidak pernah ribut. Mereka malah menikmati adanya perda-perda itu.
Contohnya?
Di Kabupaten Bulukumba, misalnya. Masyarakat di sana senang sekali dengan Perda Anti Miras— itu kalau perda ini yang dianggap sebagai perda syariah— karena berhasil menurunkan kriminalitas di sana hingga 80%. Juga Perda Zakat berhasil meningkatkan PAD Kabupaten Bulukumba dari semula hanya sekitar Rp 9 miliar menjadi lebih dari Rp 90 miliar.
Jadi sungguh tidak layak seorang Muslim, apalagi tokoh ormas besar, melontarkan pernyataan seperti itu. Yang diperlukan darinya adalah justru seruan untuk penerapan syariah secara kaffah di negeri ini untuk tercapainya kemaslahatan rakyat, bukan justru menimbulkan stigma negatif terhadap semua yang berbau syariah.
Bagaimana dengan tudingan faksi Islam Syariat mengidap hipocracy in democracy, menolak demokrasi tetapi menikmati demokrasi?
Harus diperjelas, siapa faksi atau kelompok yang dimaksud itu. Kalau yang dimaksud adalah Hizbut Tahrir (HT), maka HT memang dengan tegas menolak demokrasi.
Alasannya?
Demokrasi yang mengajarkan prinsip kedaulatan atau hak membuat hukum (menentukan benar – salah, boleh – tidak boleh) di tangan rakyat itu bertentangan dengan aqidah Islam yang mewajibkan kita untuk meyakini bahwa hak membuat hukum itu ada di tangan Allah SWT semata.
Apa yang salah dengan pendapat ini?
Bukankah kita sebagai Muslim memang harus mendasarkan seluruh pendapat kita pada aqidah Islam?
Kalau HT disebut sebagai termasuk kelompok Islam Syariat, memang ada Islam tanpa Syariat? Islam model apa itu?
Kemudian harus diperjelas juga apa yang dimaksud dengan menikmati demokrasi. Kita semua, rakyat Indonesia tanpa kecuali, termasuk HT dan kelompok Islam lain, memang hidup di negara ini, negara yang menerapkan sistem demokrasi. Tapi itu tidak berarti kita semua menikmati dengan senang sistem busuk ini.
Silakan tanya kepada rakyat, siapa yang senang dengan sistem seperti ini, yang telah membuat makin kokohnya sistem sekularisme dan kapitalisme, yang telah membuat hidup makin susah, harga apa-apa mahal, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, korupsi dan kerusakan moral merajalela di mana-mana, sementara intervensi asing makin menjadi-jadi dan bentuk kerusakan lainnya?
Saya sangat yakin, andai disuruh milih antara hidup di bawah sistem demokrasi dengan hidup di bawah sistem Islam, pasti mayoritas rakyat yang di negeri ini akan lebih baik hidup di bawah sistem Islam.
Itu artinya, sistem demokrasi di negeri ini bisa berjalan karena dipaksakan, bukan atas dasar kerelaan. Lalu, secara semena-mena memaksa juga syariat tidak boleh diberlakukan.
Lihatlah, baru satu dua perda yang tampak “bernuansa syariah” saja sudah dikecam kiri kanan. Katanya demokrasi, katanya kedaulatan rakyat, lalu mengapa ketika rakyat menginginkan syariah tidak boleh? Inilah hipocracy democracy yang sesungguhnya. Demokrasi yang hipokrit (munafik, red)!
Pada sisi lain, saya ingin mengatakan, bukan hipocracy democracy, yang lebih mengkhawatirkan adalah hipocracy Muslim. Yaitu, satu sisi ia menikmati diri sebagai seorang Muslim, tapi menolak syariat. Satu sisi menikmati diri sebagai hamba Allah, menikmati semua rizki dan karunia Allah, ketika mati nanti juga minta ampunan dan surganya Allah, tapi menolak kedaulatan Allah. Inilah Muslim hipokrit!
Bagaimana Hizbut Tahrir memposisikan nasionalisme?
Tergantung apa yang dimaksud dengan nasionalisme dan nilai-nilai kebangsaan di situ. Bila yang dimaksud adalah komitmen kepada keutuhan wilayah, HTI berulang menegaskan penentangannya terhadap gerakan separatisme dan segala upaya yang akan memecah belah wilayah Indonesia.
Menjelang jajak pendapat Timor Timur beberapa tahun lalu misalnya, HTI menentang keras karena itu akan menjadi jalan bagi Tim Tim lepas. Dan benar saja, akhirnya terbukti Timor Timur setelah jajak pendapat yang penuh rekayasa itu benar-benar lepas dari Indonesia.
Bila nasionalisme dan nilai-nilai kebangsaan artinya adalah pembelaan terhadap kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia, HTI berulang juga dengan lantang menentang sejumlah kebijakan yang jelas-jelas bakal merugikan rakyat Indonesia.
Contohnya?
Seperti protes terhadap pengelolaan SDA yang lebih banyak dilakukan oleh perusahaan asing; atau penolakan terhadap sejumlah UU seperti UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal dan sebagainya yang sarat dengan kepentingan pemilik modal.
Karena itu, salah besar bila menuduh HTI dengan seruan syariah dan khilafahnya itu tidak peduli kepada nasionalisme dan nilai-nilai kebangsaan.
Tapi bila nasionalisme dan nilai-nilai kebangsaan diartikan sebagai kesetiaan kepada sekularisme, maka dengan tegas HTI menolak karena justru sekularisme inilah yang telah terbukti mempurukkan Indonesia seperti sekarang ini. Maka, benar sekali fatwa MUI tahun 2005 yang mengharamkan sekularisme.
Kelompok liberal sering menganggap Hizbut Tahrir sebagai ancaman bagi moderasi, kenapa?
Tergantung apa yang dimaksud dengan moderasi di sini. Kalau yang dimaksud moderasi adalah sikap toleransi, mengedepankan dialog, menghargai pendapat dan keyakinan bahkan agama orang lain, juga sikap non kekerasan, saya tegaskan bahwa HT adalah gerakan yang sangat menghargai pendapat orang lain, selalu mengedepankan dialog dan non kekerasan.
Tapi bila moderasi itu diartikan sebagai sikap menjauh dari Islam yang kaffah, jelas HT menolak keras, karena sebagai Muslim, sesungguhnya tidak ada pilihan lain kecuali ya memang harus menjadi Muslim yang sebenarnya atau Muslim yang kaffah.
Menjauh dari Muslim kaffah itu artinya memberi ruang kepada sekularisme. Masak iya, kita mau jadi Muslim sekuler?
Jadi yang harus kita khawatirkan bukanlah ancaman terhadap moderasi, tapi ancaman riil terhadap negeri ini.
Apa ancaman riil tersebut?
Sekularisme yang makin memurukkan negeri ini dan neo imperialisme atau penjajahan model baru yang dilakukan oleh negara adikuasa.
Tolong jelaskan masing-masing ancaman tersebut…
Semenjak Indonesia merdeka, telah lebih dari 60 tahun negeri ini diatur oleh sistem sekuler, baik bercorak sosialistik di masa orde lama maupun kapitalistik di masa orde baru dan neo liberal di masa reformasi.
Dalam sistem sekuler, aturan-aturan Islam atau syariah memang tidak pernah secara sengaja selalu digunakan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja, misalnya pada saat shalat, puasa, zakat, haji, kelahiran, pernikahan dan kematian.
Sementara dalam urusan sosial kemasyarakatan, agama (Islam) ditinggalkan. Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik dan machiavellistik, budaya hedonistik yang amoralistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta sistem pendidikan yang materialistik.
Maka, bukan kebaikan yang diperoleh oleh rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim itu, melainkan berbagai problem berkepanjangan yang datang secara bertubi-tubi.
Lihatlah, meski Indonesia adalah negeri yang amat kaya dan sudah lebih dari 60 tahun merdeka, tapi sekarang ada lebih dari 100 juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan.
Puluhan juta angkatan kerja menganggur.. Sementara, jutaan anak putus sekolah. Jutaan lagi mengalami malnutrisi. Hidup semakin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari sesuap nasi. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga yang terus menerus terjadi.
Ajaib, ini negeri penghasil minyak, tapi untuk mendapatkan minyak tanah rakyat harus mengantri berjam-jam.
Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorongnya untuk melakukan tindak kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas mulai dari pencopetan, perampokan maupun pencurian dengan pemberatan serta pembunuhan dan tindak asusila, budaya permisif, pornografi dengan dalih kebutuhan ekonomi terasa semakin meningkat tajam.
Tak mengherankan bila oleh AFP, Indonesia dinobatkan sebagai negara paling liberal setelah Rusia. Sepanjang krisis, kriminalitas dilaporkan meningkat 1000%, angka perceraian meningkat 400%, sementara penghuni rumah sakit jiwa meningkat 300%. Wajar bila lantas orang bertanya, sudah 60 tahun merdeka, hidup koq makin susah.
Bagaimana dengan ancaman neo imperialisme?
Indonesia memang telah merdeka. Tapi penjajahan ternyata tidaklah berakhir begitu saja. Nafsu negara adikuasa untuk tetap melanggengkan dominasi mereka atas dunia Islam, termasuk terhadap Indonesia, demi kepentingan ekonomi dan politik mereka tetap bergelora.
Neo imperialisme dilakukan untuk mengontrol politik pemerintahan dan menghisap sumberdaya ekonomi negara lain. Melalui instrumen utang dan kebijakan global, lembaga-lembaga dunia seperti IMF, World Bank dan WTO dibuat tidak untuk sungguh-sungguh membantu negara berkembang, tapi sebagai cara untuk melegitimasi langkah-langkah imperialistik mereka.
Akibatnya, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia tidak lagi merdeka secara politik. Penentuan pejabat misalnya, khususnya di bidang ekonomi, harus memperturutkan apa mau mereka. Wajar bila kemudian para pejabat itu bekerja tidak sepenuhnya untuk rakyat, tapi untuk kepentingan “tuan-tuan’ mereka.
Demi memenuhi kemauan “tuan-tuan” itu, tidak segan mereka merancang aturan (lihatlah UU Kelistrikan yang telah dianulir oleh Mahakamah Konstitusi, juga UU Migas dan UU Penamanan Modal yang penuh dengan kontroversi) dan membuat kebijakan yang merugikan negara.
Lihatlah penyerahan blok kaya minyak Cepu kepada Exxon Mobil, juga pembiaran terhadap Exxon yang terus mengangkangi 80 triliun kaki kubik gas di Natuna meski sudah 25 tahun tidak diproduksi dan kontrak sudah berakhir Januari 2007 lalu.
Tak pelak lagi, rakyatlah yang akhirnya menjadi korban, seperti yang kita saksikan sekarang.
Kenapa Hizbut Tahrir percaya khilafah adalah sistem yang akan memberikan kebaikan bagi Indonesia?
Karena itu, dalam konteks Indonesia, ide khilafah yang substansinya adalah syariah dan ukhuwah, sesungguhnya merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajahan baru (neo-imperialisme) yang nyata-nyata sekarang tengah mencengkeram negeri ini yang dilakukan oleh negara adikuasa.
Hanya melalui kekuatan global, penjajahan global bisa dihadapi secara sepadan. Sementara, syariah nantinya akan menggantikan sekularisme yang telah terbukti memurukkan negeri ini.
Karena itu pula, perjuangan HTI dengan segala bentuk aktifitasnya itu, harus dibaca sebagai bentuk kepedulian yang amat nyata dari HTI dalam berusaha mewujudkan Indonesia lebih baik di masa datang, termasuk guna meraih kemerdekaan hakiki negeri ini atas berbagai bentuk penjajahan yang ada.
Bisakah dikatakan bahwa semua itu adalah wujud dari kecintaan HTI terhadap negeri ini?
Betul sekali. Dakwah HTI dilakukan tidak lain adalah demi Indonesia ke depan yang lebih baik. Bila hancurnya khilafah disebut sebagai ummul jaraaim, maka diyakini bahwa tegaknya kembali syariah dan khilafah akan menjadi pangkal segala kebaikan, kerahmatan dan kemashlahatan, termasuk bagi Indonesia. (Mediaumat.com, 21/7)
DemoKERAsi hanya menghasilkan kebodohan ! Apalagi bila orang-orang bodoh bicara agama, Ngawur jadinya !
Sungguh sangat memprihatinkan & menyedihkan jika ada orang mengaku Islam, namun menolak diterapkannya syariat Islam, tentu patut dipertanyakan keislamannya. Lebih-lebih sebagai tokoh agama atau pengurus lembaga islam, seharusnya mereka mendorong & mengajak umat untuk kembali kpd syariat, bukan sebaliknya. Semoga ALLAh SWT memberi petunjuk kpdmereka yang masih enggan untuk memperjuangkan penerapan syariat Islam secara kaffah dan menyadarkan mereka bahwa hanya dg syariat Islam umat Islam akan sejahtera, dan mencampakkan demokarasi.
indonesia butuh Khilafah..
Setelah ana tafakuri, oh…pantas banyak kaum muslim menolak syariah islam karena selama 350 tahun pemikirannya di cekoki oleh penjajah dengan nilai-nilai yg rusak, bahkan sampai saat ini puuuuuun masih bercokol pemikiran tersebut.
yah …kalau kata kakek bilang, “JIWA INLANDER NYA MASIH KUAT”
Artinya jiwa setia, manut, patuh pada penjajah nya masih bercokol.
pantes gak bangkit-bangkit, dan ini kebanyakan mengidap di para pejabat dan aparat, terutama para penguasa negri ini.
maaf bukan fitnah, ini fakta selama mereka mengadopsi Demokrasi, selama itulah jiwa inlandernya tertanam kokoh.
kasihan ya rakyat!!!!!