Eksploitasi Anak: Buah Kapitalisme
Oleh: dr. Estyningtias P (Lajnah Siyasiyah DPP MHTI)
Saat ini pemanfaatan anak-anak sebagai pekerja sangat marak terjadi. Dan bentuk-bentuk kejahatan yang memanfaatkan anak sangat beragam, mulai dari yang ringan seperti pencopetan, pencurian hingga kejahatan yang kompleks seperti menerjunkan anak menjadi mucikari dan pengedar narkoba. Dalam survey pekerja anak tahun 2009 yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dengan International Labour Organization (ILO), jumlah pekerja anak di Indonesia mencapai 4.1 juta juta anak atau 6,9 persen dari total 58,7 juta anak Indonesia yang berusia 5 – 17 tahun dan dari jumlah 4,1 juta anak tersebut, 1,7 juta anak berada dalam bentuk pekerjaan terburuk seperti perbudakan, eksploitasi social, kegiatan illegal dan pekerjaan yang membahayakan bagi kesehatan, keselamatan dan moral mereka. (http://edukasi.kompasiana.com/2012/09/08/sebuah-catatan-persoalan-pekerja-anak-485273.html). Dengan demikian eksploitasi anak adalah kata yang tepat untuk mewakili kondisi ini.
Kondisi yang sangat memprihatinkan sekaligus menimbulkan pertanyaan besar, sebab meskipun berbagai upaya sudah dilakukan namun angka eksploitasi anak ini terus meroket setiap tahunnya. Artinya, ini harus menjadi bahan pengkajian yang lebih mendalam bahwa ternyata upaya yang dilakukan selama ini masih belum menyentuh akar persoalan sehingga persoalan itu tak pernah tuntas. Karena itu perlu pemikiran jernih untuk mencerna dan menelusuri penyebab utama maraknya eksploitasi anak ini.
Kapitalisme Penyebab Utama
Pembahasan tentang eksploitasi anak lebih sering terjebak pada pembahasan pekerja anak dengan latar belakang golongan ekonomi lemah. Anak terpaksa bekerja lantaran kebutuhan untuk mencari sesuap nasi. Bahkan seringkali pula kemiskinan yang dituduh sebagai pangkal persoalan. Padahal persoalan eksploitasi anak tidak hanya dilakukan oleh orang tua yang memiliki latar belakang ekonomi lemah, tetapi juga mereka yang ekonominya termasuk kelas menengah ke atas. Anak-anak yang membintangi sinetron, iklan, dan mengikuti audisi-audisi pencari bakat baik olah vokal atau menyanyi, menari, berceramah (da’i cilik), dan lainnya adalah contohnya. Sebenarnya ajang pencarian bakat anak yang marak digelar stasiun-stasiun TV sangatlah positif, karena bisa menjadi media bagi anak untuk menyalurkan dan mengembangkan bakatnya. Namun disadari atau tidak, ajang tersebut justru menjadi ajang eksploitasi anak yang cenderung bertujuan untuk ‘melahirkan’ artis cilik dan menaikkan rating stasiun TV.
Jika dari golongan ekonomi lemah pekerja anak sangat diminati karena mereka bisa bekerja secara produktif seperti orang dewasa umumnya, tetapi mereka tidak banyak ulah dan bisa diupah dengan murah. Intinya, dalam hubungan kerja, pekerja anak tersebut bisa dieksploitasi tanpa ada perlawanan. Disisi lain pekerja anak juga memiliki jam kerja yang panjang, resiko kecelakaan, gangguan kesehatan, dan menjadi obyek pelecehan dan kesewenang-wenangan orang dewasa. Kenyataan di lapangan, pekerja anak sebagian besar berusia 13-14 tahun yang bekerja rata-rata selama 6-7 jam per hari. Bahkan banyak anak-anak tersebut bekerja di sektor berbahaya dan tidak manusiawi untuk dilakukan oleh anak-anak. Akibatnya pekerja anak tersebut kehilangan kesempatan untuk tumbuh berkembang secara wajar dalam hal fisik, psikologis, sosial, dan pendidikan. Mereka kehilangan masa di mana mereka seharusnya menikmati masa bermain, belajar, bergembira, dan mendapatkan kedamaian.
Begitu pula dengan anak-anak yang menjadi artis cilik, penyanyi, atau yang lainnya, anak-anak justru menyanyikan lagu-lagu orang dewasa dan tampil dengan segala macam atribut mulai dari kostum hingga riasan yang tampak layaknya orang dewasa untuk memukau para juri. Ditambah lagi, juri sering kali memberikan komentar seolah sedang menilai dan mengomentari penampilan orang dewasa baik itu penghayatan lagu, gaya di panggung, kualitas vokal, dan lain sebagainya. Seharusnya justru sifat dan gaya natural anak yang dinilai. Sementara anak-anak yang terlibat dalam sinetron tidak jarang harus syuting hingga dini hari. Menjadi anak yang super sibuk entah atas keinginan sendiri ataupun dorongan orang tua akan mengakibatkan anak kehilangan waktu untuk belajar, bermain, berekreasi, dan bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya. Celakanya, anak justru akan tumbuh dewasa sebelum waktunya. Anak-anak tersebut umumnya berasal dari keluarga yang cukup mampu, tetapi harus ‘bekerja’ untuk memperoleh sejumlah uang.
Dari fakta diatas jelaslah bahwa sebenarnya persoalan utama yang menyebabkan maraknya pemanfaatan anak sebagai mesin uang adalah gaya hidup materialisme yang bersumber pada ideologi Kapitalis. Ideologi Kapitalis telah membuat penganutnya memandang dunia ini hanya dari sudut pandang materi. Kebahagiaan tertinggi adalah ketika manusia mendapatkan materi sebanyak-banyaknya. Akibatnya dibuatlah aturan yang memberikan kebebasan untuk memiliki apa saja tanpa ada standar halal haram. Kebebasan kepemilikan inilah yang membuat manusia menjadi rakus dan tidak peduli dengan yang lain. Yang kaya semakin kaya tanpa peduli dengan yang miskin, sementara si miskin akan berusaha dengan berbagai cara untuk sekedar bisa bertahan hidup bahkan tanpa mempedulikan kehormatan sekalipun.
Islam Solusinya
Berbeda dengan ideologi Islam yang memandang hidup dari aspek halal haram. Semua aktivitas di dunia selalu dikembalikan pada aturan Islam. Islam memandang bahwa anak adalah aset generasi yang akan melanjutkan estafet pembangunan sehingga harus dijaga kualitasnya. Maka Islam memperlakukan anak sesuai dengan fitrahnya.
Dalam sistem Islam pun kemiskinan takkan jadi penyebab munculnya pekerja anak karena negaralah yang akan menjamin kebutuhan pokok tiap individu orang per orang. Apalagi sekolah akan dijamin gratis oleh negara sehingga setiap warga negara berhak untuk mendapat pendidikan tanpa terhambat dengan kemiskinan.