Kekuatan Kudeta di Mesir Berusaha Hapus Agama dari Politik.
Surat kabar Inggris “The Independent” mengungkapkan bahwa kekuatan kaum sekuleris di Mesir yang baru, berusaha untuk menyingkirkan kelompok Islamis pada umumnya, dan Ikhwanul Muslimin khususnya dari panggung politik berikutnya, dengan menyusun teks konstitusi baru yang melarang pembentukan partai politik berdasarkan agama, dan melarang partisipasi agama dalam politik.
Surat kabar itu mengatakan: “Kampanye melawan Islam politik di Mesir meningkat secara dramatis, terutama dengan adanya upaya kekuatan pendukung kudeta untuk menyetujui teks konstitusi baru yang melarang partai politik berdasarkan agama.” Dikatakan bahwa kampanye tersebut didorong oleh bangkitnya kecenderungan nasionalisme yang muncul sejak kudeta militer terhadap Presiden Muhammad Mursi awal bulan ini, dan saat penangkapan ratusan pendukung Ikhwanul Muslimin, sehingga banyak faksi-faksi liberal dan sekuler yang berusaha untuk menghapus agama dari ranah politik.
Surat kabar itu memperingatkan bahwa tuntutan ini akan menyebabkan keretakan di tengah aliansi rapuh antara kaum liberal dan Partai Nur (Salafi). Begitu juga akan meningkatkan murka kelompok “Ikhwanul Muslimin” yang tengah mengalami marjinalisasi setelah penggulingan pemimpinnya dari kursi presiden.
Surat kabar itu mengutip dari Ahmad Hawari—anggota pendiri Partai Konstitusi Liberal—yang mengatakan: “Kami memiliki masalah besar dengan partai politik manapun yang didasarkan atas dasar agama. Saya meyakini bahwa ide adanya partai-partai tersebut tidak akan pernah diterima.”
Ia menjelaskan bahwa perkembangan ini datang pada saat ia bertemu para anggota komite yang bertugas mengamandemen konstitusi di Mesir untuk pertama kalinya, pada hari Jum’at (19/7). Dikatakan bahwa beberapa kekuatan revolusioner yang mendukung penggulingan Presiden Muhammad Mursi berharap untuk mencapai tuntutan mereka, yaitu menyingkirkan Islam politik dalam revisi konstitusi.
Surat kabar itu melihat bahwa salah satu alasan mereka yang mendesak untuk membuat ketentuan itu adalah karena keinginan kuat mereka untuk menjauhkan politik dari agama, di samping beberapa alasan lain, termasuk keyakinan bahwa terus bertambahnya kekuatan kelompok Islamis selama dua tahun terakhir adalah hasil dari kemampuannya untuk memobilisasi masyarakat atas dasar agama.
Surat kabar mengutip dari Syadi Ghazali Harb, yang mengatakan: “Ini telah menjadi model yang berlaku sejak revolusi Januari 2011. Dan itu benar-benar telah menjadi sumber keprihatinan besar bagi kita semua.” (islammemo.cc, 23/7/2013).