Tokoh Muslimah Jember Kritisi Miss World dan JFC

HTI Press. Jember – Diskusi seputar persoalan anak, selalu hangat di bulan Juli. Persoalan anak ini pula yang diangkat Muslimah Hizbut Tahrir DPD Jember dalam Dialog Tokoh Muslimah Jember pada Ahad (21/07) di Aula KKB Jember. Sekitar 50 tokoh dari kalangan birokrat, ormas di antaranya Aisyiyah, Al Irsyad dan BKMT, dari kalangan pengusaha, praktisi pendidikan dan kesehatan bahkan tak ketinggalan perwakilan pesantren dan Nyai turut hadir dan memanaskan diskusi.  Dialog dengan tema “Lindungi Anak Negeri dari Arus Kapitalisasi dan Liberalisasi dengan Islam dan Khilafah” ini menjadi semakin istimewa dengan kehadiran Evi Lestari, wakil ketua komisi A DPRD Kab Jember.

Amrina, psikolog yang aktif mengasuh rubric keluarga sakinah di salah satu radio swasta memaparkan bahwa demokrasi ditegakkan di atas empat pilar kebebasan. Kebebasan beragama, bertingkah laku, berpendapat dan kepemilikan. “Demokrasi ibarat wadah kotor. Maka yang ada di dalamnya akan menjadi kotor,” tandas Amrina. Maka tak heran, dalam demokrasi menjamur bisnis maksiyat yang menyuburkan kerusakan moral anak dan remaja. Pernyataan ini diamini Ida Kurnia Wati, salah seorang pengusaha restoran. “Pemerintah mestinya menyaring perijinan usaha. Warnet, hotel, tempat hiburan…” imbuhnya.

Dialog tersebut juga mengkritisi kebijakan pemerintah yang mengijinkan kontes-kontes semacam Miss World dan JFC yang menyuburkan gaya hidup bebas di kalangan remaja. Bahkan meskipun dengan alasan meningkatkan ekonomi, kegiatan semacam itu tetap harus ditolak. Apalagi terbukti, meski telah lebih satu decade Jember menyelenggarakan JFC, hingga saat ini Jember masih menyandang predikat kabupaten termiskin. Selain kabupaten termiskin, Jember juga termasuk daerah garis merah HIV/AIDS. Gaya hidup transgender pun makin meningkat dan terang-terangan menunjukkan eksistensi dirinya. “Peningkatan ekonomi tak boleh mengorbankan generasi,” tandas Santi, tokoh dari Muslimah HTI. Kenyataan miris itu diperkuat dengan pengakuan, Muthi’ah, seorang guru yang menceritakan kerusakan moral anak didiknya yang aktif mengikuti JFC bahkan hingga ke Jakarta. “Semakin rusak dan brutal. Minum minuman keras dan foya-foya…,” keluhnya. Fatmawati, tokoh Aisyiyah, menggarisbawahi bahwa kontes semacam itu adalah penghancuran Islam secara perlahan melalui generasi muda dengan bermacam kemaksiyatan.

Geram dengan kondisi itu, Hj. Titik Utari, bidan sekaligus penasehat Ikatan Persaudaraan Haji Seksi Wanita kec.Kalisat, dengan sangat prihatin sambil menahan kemarahan menyeru tokoh muslimah untuk merapatkan barisan, maju bersama menolak kebijakan-kebijakan liberal. “Jember sudah darurat!” pungkasnya.

Evi Lestari pun angkat bicara, menurutnya Jember memang tidak memiliki masterplan. “Hotel, retail, dll tidak diatur. Penderita HIV/AIDS no.1 tapi Perda HIV/AIDS belum ada, “ ungkap Evi. Menurutnya, anggaran Jember lamban dalam merespon persoalan. Evi pun tak sepakat dengan kontes-kontes yang mengeksploitasi fisik perempuan.

Di akhir sesi, peserta dialog sepakat anak negeri akan terlindungi dengan penerapan sistem Islam. Mereka sepakat mengganti wadah demokrasi dengan Khilafah. “Jangan takut menegakkan kebenaran. Pemerintah kita sekarang masih takut menegakkan Khilafah. Masih belum taqwa pada Allah. Selama begitu, Indonesia akan terus ditimpa musibah,” tegas Nyai Atiqoh dari keluarga besar PP Al Qodiri.[iq/mhti]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*