Ramadhan Dan Kesatuan Umat
Oleh: Najmah Saiidah
Sudah beberapa tahun ini, termasuk tahun ini, umat Islam memulai puasa tidak bersamaan, demikian pula mengakhirinya (Idul Fitri). Dan kondisi ini pada saat sekarang sudah tidak menjadi masalah lagi, sepertinya masyarakat sudah terbiasa dengan perbedaan ini, masing-masing mencoba untuk memahami dan menghormati perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Padahal Jika kita berkaca kepada apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan shahabat, maka sebenarnya mengawali shaum Ramadhan dan mengakhirinya bersamaan. Dari fenomena alam dan kondisi alam pun sesungguhnya menguatkan hal tersebut. Dimana jarak terjauh tidak akan membedakan hari. rentang waktu terlama di belahan dunia ini adalah 12 jam. Tidak sampai melebihi satu hari 24 jam. Terlebih lagi, bulan itu cuma satu ! Tentu saja awal bulan dan akhir bulan pun seharusnya satu atau sama.
Sesungguhnya Allah dan Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada kita untuk mengawali Ramadhan dan mengakhirinya dengan rukyatul hilal atau melihat awal terbitnya bulan Ramadhan. Dan saat ini pun sesungguhnya umat Islam di seluruh dunia bisa mengawali bulan ramadhan pada hari yang sama dan mengakhirinya pada hari yang sama.Tentu saja hal ini hanya bisa terjadi ketika umat Islam disatukan dalam satu kepemimpinan dunia dan disatukan oleh satu komando. Kepemimpinan dan komando yang satu itu tidak lain adalah kekhilafahan Islam yang telah disyariatkan Islam dan telah terbukti selama belasan abad mampu menyatukan umat Islam di seluruh dunia.
Kaidah syara menyatakan bahwa ‘Amrul Imaan yarfaul khilaf’, perintah seorang imam/ pemimpin akan menghilangkan perbedaan/perselisihan. Sehingga perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri bulan Ramadhan bisa diatasi ketika umat Islam memiliki satu kepemimpinan. Terlebih Allah memang telah menjadikan bulan Ramadhan, idul fitri dan idul Adha sebagai symbol kesatuan umat Islam. Dimana umat Islam di selueuh dunia dipersatukan dengan melaksanakan shaum Ramadhan, kemudian dipersatukan dengan menjalankan shalat Idul Fitri, kemudian di bulan Dzulhijjah, beberapa umat Islam dari seluruh dunia berkumpul di Mekkah dan sekitarnya untuk menjalankan haji dan sedangkan kaum muslim yang lain berpuasa Arafah di tanggal 9 Dzulhijjah dan menjalankan sholat Idul Adha pada keesokan harinya. Demikian pula dilanjutkan di 3 hari tasyrik dengan menyembelih hewan qurban. Seharusnya seluruh aktivitas ini dijalankan secara bersamaan oleh seluruh kaum muslimin di seluruh dunia, tanpa kecuali.
Banyak sekali hadits Rasul yang memerintahkan kita, kaum muslimin untuk memulai Ramadhan ataupun berbuka (idul fitri) secara serentak di seluruh belahan dunia manapun.
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِين
“Shaumlah kalian dengan melihatnya (bulan) dan berbukalah kalian dengan melihatnya (bulan), maka bila tertutup mendung sempurnakanlah Sya’ban menjadi tiga puluh hari”. (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ
Artinya: “Janganlah kalian shaum hingga melihat hilal dan janganlah berbuka (idul fitri) hingga melihatnya (hilal), (H.R. Bukhari dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu).
Imam Ahmad mengatakan :
يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ
Artinya : “Berpuasalah bersama Imaam bersama Jama’ah Muslimin, baik dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.”
Hadits-hadits ini memerintahkan seluruh umat Islam (dhamirnya jamak) dalam memulai dan mengakhiri shaum Ramadhan, siapapun umat Islam dari seluruh dunia bisa melihatnya. Manusia tidak bisa memutlakkan bulan itu harus tampak di Indonesia atau di tempat tertentu setiap tahun, karena bulan, bumi dan benda-benda langit terus bergerak. Wewenang Allah dengan segala ke-Mahakuasaannya menampakkan bulan itu di ujung belantara Afrika, di padang Saudi Arabia, di Samudera Antartika, atau di sudut ufuk manapun di belahan dunia ini. Sesuai kehendak-Nya. Dan jika ada seorang muslim yang menyaksikan hadirnya bulan baru, kemudian diambil sumpahnya dan orang tersebut menyanggupinya untuk bersumpah, maka kaum muslimin yang lain harus mengikutinya. Di sinilah berlaku rukyat global, sebagaimana pendapat dari jumhur ulama.
Pada masa Rasulullah, pelaksanaannya secara terpimpin oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, lalu dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyyin, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, hingga Ali bin Abi Thalib. Dan khalifah selanjutnya sentral pengambilan keputusan Ru’yatul Hilal oleh pimpinan umat Islam (khalifah) tetap terjaga. Dan memang penentuan awal Ramadhan merupakan hak dan wewenang Imaam / Khalifah. Nampak jelas di dini bagaimana akhirnya seorang Khalifah memiliki peran yang sangat penting untuk mempersatukan umat Islam dalam satu komando.
Selanjutnya, jika kita telusuri lebih dalam tentang Ramadhan ini, maka sesungguhnya pemeliharaan persatuan ini juga bisa diwujudkan di bulan Ramadhan ini. Betapa tidak, sebelum Ramadhan datang, salah satu kebiasaan yang lazim dilakukan dan sangat dianjurkan adalah bermaaf-maaf. Dengan bermaaf-maaf, seluruh persoalan yang ada serta komunikasi yang selama ini tersendat menjadi terjalin kembali. Bermaaf–maafan juga mengokohkan ikatan hati di antara sesama kaum muslimin. Benih-benih perpecahan dan perbedaan pendapat menjadi pupus setelah semuanya saling memaafkan. Ikatan persaudaraan menjadi tumbuh kian kuat. Hal itu juga merupakan upaya membersihkan hati atas segala penyakit, sehingga saat memasuki Ramadhan kita berada dalam kondisi yang suci.
Kemudian, ibadah puasa yang dijalani merupakan upaya menumbuhkan kepedulian terhadap sesama. Kepedulian bahwa kita harus berbagi dan merasakan kondisi yang dialami saudara kita yang mengalami keterbatasan hidup. Semangat kebersamaan menjadi menguat, karena puasa menumbuhkan empati dan semangat berbagi. Selain itu dalam bulan Ramadhan kita sangat dianjurkan untuk melaksanakan ibadah shalat berjamaah. Jangankan ibadah wajib, yang sunat seperti Shalat Tarawih dan Witir juga dikerjakan berjamaah. Hal itu akan menguatkan semangat kebersamaan yang sebelumnya telah ada melalui momen tersebut. Seluruh persoalan yang ada dapat dituntaskan secara bersama-sama, ketika semua pihak mengedepankan pentingnya semangat kesatuan. Tak hanya itu, di akhir Ramadhan salah satu ibadah yang wajib ditunaikan agar puasa sempurna adalah kewajiban membayar zakat fitrah. Hal itu juga mengajarkan kepada kita tentang kepedulian sosial dan menguatkan rasa saling berbagi kepada yang lebih membutuhkan.
Semua itu diperkuat oleh pelaksanaan Shalat Idul Fitri yang dianjurkan untuk dilaksanakan di tanah lapang. Ini merupakan sarana untuk menyempurnakan semangat kebersamaan yang telah dipupuk saat Ramadhan. Semua kalangan ikut serta menuju tanah lapang untuk melaksanakan Shalat Idul Fitri. Dewasa, anak-anak, remaja bahkan wanita yang sedang berhalangan juga dianjurkan hadir mendengarkan ceramah.
Dari semua paparan di atas, kita melihat bagaimana Allah telah mendesain Ramadhan dan Idul Fitri sebagai upaya sistematis untuk mewujudkan kesatuan sekaligus memperkuat kesatuan umat dan kebersamaan di kalangan kaum muslimin. Salah satu hikmah ibadah puasa yang telah diciptakan Allah SWT agar umat Islam bersatu. Hanya saja kesatuan umat ini secara hakiki hanya akan terwujud ketika umat Islam berada dalam komando seorang pemimpin, yaitu Khalifah yang menerapkan syariat Islam secara kaaffah kepada seluruh umat dan menjalankan dakwah secara nyata. Dan ketika saat ini kepemimpinan yang satu tersebut belum terwujud, maka langkah kongkrit yang harus kita lakukan adalah berjuang maksimal untuk menegakkan khilafah di muka bumi ini dengan melakukan proses pencerdasan dan penyadaran ke tengah-tengah umat akan pentingnya institusi khilafah.. sehingga umat akhirnya akan rindu untuk diterapkan ayariat Islam di muka bumi ini. Selanjutnya mereka pun akan berperan aktif berjuang untuk tegaknya syariah dan khilafah. Wallahu a’lam []