Bersikap Wara’: Cermin Taqwa
Oleh: Arini Retnaningsih
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS.Al Baqarah : 183).
Jumhur ulama mendefinisikan taqwa sebagai menjalankan semua perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya. Berdasar ayat di atas, maka tujuan dari puasa adalah meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah, yakni dengan memperkuat keterikatan kita terhadap hukum-hukum Allah.
Namun, perkembangan kehidupan saat ini melahirkan begitu banyak hal dan persoalan yang tidak pernah kita temukan pada masa awal Islam diturunkan kepada Rasulullah saw. Teknologi pangan misalnya, telah menghasilkan berbagai macam produk makanan yang menggunakan bahan tambahan atau bahan penolong yang merupakan turunan dari alkohol, babi, darah, dan sebagainya. Atau munculnya berbagai produk ekonomi yang mengklaim diri sebagai produk syari’ah seperti bank syari’ah, asuransi syari’ah, pegadaian syari’ah dan lain-lain.
Terkadang, berbagai perkembangan tersebut membuat kita ragu dari segi hukum syara’nya. Bisa karena kita tidak memahami faktanya, bisa karena kita tidak memahami hukumnya, atau dari perbedaan pendapat para ulama tentangnya. Hal ini jadi menyulitkan kita saat hendak mengikatkan diri sepenuhnya kepada hukum-hukum Allah dalam menggapai taqwa.
Pada saat demikian, kita harus kembali mengacu pada tuntunan Rasulullah saw. Rasulullah saw telah memberikan kita petunjuk dalam menghadapi kesamaran dalam hukum melalui sabda beliau:
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ
“Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat -yang masih samar- yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan dikhawatirkan ia akan terjerumus ke dalamnya. Ketahuilah, setiap penguasa memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599).
Melalui hadist ini, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk menghindarkan diri dari perkara yang syubhat untuk menyelamatkan agama dan kehormatan kita. Sebaliknya, Rasulullah saw melarang dari perkara syubhat, karena takut terjerumus dalam perkara yang haram.
Apa yang dituntunkan oleh Rasulullah saw ini tidak lain adalah bersikap wara’. Wara’ menurut para ulama adalah sikap kehati-hatian dalam agama dengan meninggalkan syubhat (sesuatu yang meragukan) dan meninggalkan sesuatu yang tidak berguna.
Dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda, “Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu kepada perkara yang tidak meragukan.” (Riwayat at-Tirmidzi dan dia berkata, hadits hasan shahih).
Dalam kitab An-Nizham al- Ijtima’iy fil Islam, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani menjelaskan bahwa perkara syubhat bisa terjadi dalam tiga keadaan.
Pertama, syubhat (kesamaran) yang ada pada suatu benda apakah hukumnya halal atau haram; atau syubhat pada suatu perbuatan apakah hukumnya wajib, haram, makruh, mandub atau mubah.
Jika syubhat pada benda, maka harus dicek fakta benda tersebut apakah mengandung sesuatu yang diharamkan atau tidak. Jika terbukti tidak, benda tersebut dapat dimanfaatkan. Ini berdasar kaidah ushul fiqh al ashlu fi al- asyaa’i ibahah , hukum asal dari suatu benda adalah mubah.
Jika syubhat terjadi pada perbuatan, maka tidak boleh mengambil perbuatan tersebut sampai jelas hukumnya, baik dengan melakukan ijtihad jika dia seorang mujtahid, atau bertanya pada orang yang memiliki ilmu dan ketaqwaan yang dapat dipercaya bila dia orang awam. Ini karena berbeda dengan benda yang hukum asalnya mubah, hukum asal dari suatu perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’, sesuai kaidah al ashlu fi al-af’ali taqayyudi bi al-hukmi syar’i.
Kedua, syubhat karena dekatnya suatu perbuatan mubah pada yang haram atau diduga dapat menghantarkan pada yang haram. Sebagai contoh seseorang yang menyimpan hartanya di bank yang melakukan aktivitas riba, atau orang yang menjual anggur pada pemilik pabrik khamr, dsb. Dalam hal ini yang lebih utama adalah bersikap wara’, yaitu meninggalkan perbuatan tersebut dalam rangka memelihara diri dan agamanya.
Ketiga, syubhat yang muncul karena pandangan masyarakat yang menyangka suatu perbuatan halal sebagai perbuatan haram. Dalam hal ini jika yang dirancukan masyarakat sebagai sesuatu yang haram memang faktanya haram, maka harus dijauhi atau diberikan klarifikasi. Contohnya seorang perempuan berduaan dengan kakak laki-lakinya yang belum dikenal masyarakat tempat perempuan tersebut tinggal, sehingga masyarakat menyangkanya berkhalwat dengan laki-laki asing. Maka perempuan tersebut harus menjelaskan jika tidak bisa menghindarinya.
Jika yang dirancukan masyarakat sebagai yang haram hukum sebenarnya adalah halal, maka perlu dijelaskan kepada masyarakat hukum tentang perbuatan tersebut, tidak perlu mengikuti sangkaan mereka. Contohnya kebolehan menikahi mantan istri dari anak angkat.
Inilah hal yang harus kita lakukan saat menemui suatu syubhat dalam aktivitas kehidupan kita. Dengan menjaga diri dari yang syubhat, kita dapat menjaga diri agar tidak terjerumus pada keharaman yang dilarang Allah.
Bersikap wara’ seperti ini adalah salah satu cerminan ketaqwaan kita kepada Allah yang kita bentuk di bulan Ramadhan. Tatkala seorang muslim telah memiliki sifat taqwa, pasti ia akan takut terhadap azab Allah, mendambakan surga-Nya sekaligus ingin meraih keridhaan-Nya. Ketaqwaan akan memalingkan seorang muslim dari perbuatan munkar dan maksiat kepada Allah. Ia tidak akan berani untuk menyepelekan dan melanggar perintah-perintah Allah, tetapi ia akan berjuang sekuat tenaga untuk melaksanakannya. Ia akan menjadi motor penggerak umat, untuk bersama-sama menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi.