Memaknai Esensi Hari Kemerdekaan

Tiba waktu negeri ini kembali memperingati hari kemerdekaan. Enam puluh delapan tahun sudah kemerdekaan bangsa ini diproklamirkan. Sungguh usia yang tak muda lagi bagi Indonesia. Menuju cita-cita menjadi bangsa maju, adil, dan makmur sejahtera lahir dan batin.

Bendera merah putih dipajang di depan rumah dan di jalan-jalan, aneka lomba dengan apik coba ditampilkan, tak ketinggalan upacara seremonial yang selalu diselenggarakan. Semua ini terangkum dalam spirit yang sama; mengisi ulang tahun hari kemerdekaan, untuk menghargai jasa-jasa para pahlawan dalam mengusir penjajahan.

Para pahlawan telah mewariskan semangat pada generasi berikutnya, bahwa kita tidak boleh menjadi bangsa jongos. Yakni bangsa yang tunduk dalam ketiak bangsa asing. Mereka punya semboyan yang begitu masyhur; merdeka atau mati (syahid). Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, Indonesia berhasil mengusir penjajah. Patut kita syukuri ini.

Masih dijajah

Namun pekerjaan besar masih harus dipikul oleh generasi berikutnya. Karena sejatinya Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Penjajah Barat memang telah berhasil dipaksa angkat kaki dari negri ini, tapi ternyata sistem ala Barat masih terus diterapkan.

Sebagai contoh, KUHP pidana dan perdata Indonesia masih menerapkan hukum warisan belanda. Bahkan mencoba kaffah, karena sampai meniru model pakaian aparat penegak hukumnya. Bisa dilihat bagaimana seragam pengacara, jaksa maupun hakim yang sangat begitu Menir. Implikasinya, sistem ini tak mampu menjawab tantangan atas maraknya kriminalitas, jual beli hukum, dst.

Sistem politik Indonesia juga begitu kental dengan corak sistem politik Eropa dan Amerika. Trias Politica “sunnah” dari B. Mostequieu & John Luke sampai kini terus diamalkan. Muncul lah kemudian praktik politik yang opurtunistik. Sistem ekonomi kita mengadopsi sistem ekonomi kapitalisme-liberal. Dimana pemilik modal asing maupun swasta bebas mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan meminimalisir intervensi dari pemerintah. Pun sistem ekonomi ini lebih fokus ke sektor non real daripada sektor real, sehingga identik dengan aktivitas riba dan perjudian. Alhasil, kekayaan alam negeri ini terus dikuras oleh bangsa asing.

Demikian halnya bidang sosial dan budaya, saat ini cenderung berkiblat kepada barat. Sebagai contoh bagaimana kaum muslim masih begitu gandrung dengan sistem social dan budaya corak barat, seperti dalam hal pergaulan maupun berpakaian. Budaya Islam teramat kental hanya di saat Ramadhan saja. Kesimpulannya adalah Indonesia masih terjajah.

Berbagai cara diupayakan. Bermacam strategi telah coba diuji. Mulai dari pergantian sistem kenegaraan, menggilir sosok pemimpin, hingga seleksi wakil rakyat di Senayan. Hasilnya masih nihil. Sehingga apa yang semestinya dilakukan?

Negeri berpenduduk mayoritas muslim ini sejatinya memiliki khazanah yang agung guna menjadikan Indonesia merdeka seutuhnya. Caranya ialah kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Kembali pada Islam rahmatan lil ‘alamin. Sebagaimana spirit Piagam Jakarta yang di saat massa proklamasi kemerdekaan nyaris diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebelum ada manuver tidak sehat dari segelintir pihak.

Saat ini, Islam belumlah dipakai secara menyeluruh. Islam dipandang hanya sebatas agama yang mengatur ibada ritual dan spiritual sebagaimana agama-agama lain. Meminjam istilah Arief Iskandar, redaktur majalah Alwaie, bahwa Islam saat ini digunakan untuk mengatur (acara) kematian, tapi tidak digunakan untuk mengatur kehidupan.

Padalah Islam adalah agama yang sempurna, mengatur urusan pribadi, keluarga maupun Negara. Allah Swt berfirman: ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Kusempurnakan nikmatKu kepadamu serta telah Kuridhai Islam sebagai agamamu”. (QS. Al- Maa’idah: 3)

Abdurrahman Muhammad mengatakan: “Dalam ayat yang mulia di atas, Allah SWT mengabarkan bahwa agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW kepada seluruh manusia adalah agama yang sempurna, mencakup seluruh perkara yang cocok diterapkan di setiap zaman, setiap tempat dan setiap umat. Islam adalah agama yang sarat dengan ilmu, kemudahan, keadilan dan kebaikan. Islam adalah pedoman hidup yang jelas, sempurna dan lurus untuk seluruh bidang kehidupan. Islam adalah agama dan negara (daulah), di dalamnya terdapat manhaj yang haq dalam bidang hukum, pengadilan, politik, kemasyarakatan dan perekonomian serta segala perkara yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupan dunia mereka, dan dengan Islam nantinya mereka akan bahagia di kehidupan akhirat. (Dinul Haq, Abdurrahman bin Hammad Alu Muhammad)

Taqiyuddin An-Nabhani juga menjelaskan, Islam mengatur kehidupan dengan sempurna. Pertama: Mengatur segenap perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Khaliq-nya. Tercermin dalam aqidah dan ibadah ritual dan spiritual. Seperti: Aqidah, sholat, zakat, puasa, serta ibadah yang lain. Kedua: Mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Yang diwujudkan berupa akhlak, pakaian, dan makanan. Ketiga: Mengatur manusia dengan sesama (muamalah). Tercermin dalam sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, dsb. (Nidhomul Islam, An-Nabhani Taqiyuddin).

Aspek Kemerdekaan

Karena itu, negeri ini bisa merdeka sepenuhnya apabila mau menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah. Karena kemerdekaan itu harus terwujud dalam dua aspek. Pertama: Merdeka secara lahir. Artinya, Bangsa ini harus terbebas segala bentuk penjajahan. Baik secara fisik maupun non fisik. Kedua: Merdeka secara batin. Diejawantahkan dalam bentuk kemerdekaan dari penghambaan terhadap selain-Nya. Bagi umat Islam, hal ini adalah harga mati. Allah adalah satu-satunya Tuhan yang layak disembah, dan Dia satu-satunya yang berhak menetapkan hukum.

Katakanlah: “Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al-Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik”. (QS. Al-An’am: 57)

Bagi umat non Muslim, mereka berhak menganut agama dan kepercayaan masing-masing dengan tanpa paksaan. “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. Al Kafirun: 6)

Oleh karenanya, apresiasi kemerdekaan selayaknya tak diarahkan hanya sebatas pada acara-acara seremonial belaka, melainkan harus menyentuh pada esensinya. Sehingga yang disebut cinta negara itu bukan pihak yang suka mencium “merah putih” dengan khidmat, tapi diam atau malah justru mempersilakan ketika penjajahan terus berlangsung. Atau fasih mendendangkan lagu Indonesia Raya, tapi ketika negeri ini dijajah hanya diam seribu bahasa.

Jika ingin melanjutkan perjuangan para pahlawan. Bergabunglah dalam proyek besar perjuangan penegakan khilafah. Untuk Indonesia dan seluruh umat yang benar-benar merdeka. Kemerdekaan itu harus dirasakan oeh seluruh umat, karena Islam tak mengenal batas-batas teritorial alam persaudaraan. Inilah esensi dalam memaknai hari kemerdekaan ini. Walahu a’lam.

 
Ali Mustofa Akbar, Maktab I’lamiy HTI Soloraya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*