Menyoal Kontroversi Tes Keperawanan

Oleh: Nurismawati Machfira (Alumnus Pendidikan Dokter Umum FK Unibraw)

Akhirnya, Menteri Pendidikan dan Ke­budayaan RI Mo­ham­mad Nuh menya­ta­kan tidak setuju ada se­kolah yang memberlakukan tes kepe­rawanan dalam selek­si siswa didik baru. Mendiknas menilai, langkah itu akan sulit dite­rapkan dan akan mem­bawa dampak negatif bagi siswa yang dinyatakan tidak lolos tes. Sebelumnya, Disdik kota Pra­bumulih Sumatera Selatan berencana melakukan tes kepe­rawanan bagi siswi terkait kasus asusila yang dilakoni sejumlah oknum siswa sekolah.

Pada tanggal 14 Agustus, sebanyak 6 siswi sekolah serta seorang pria terpaksa harus digelandang ke Mapolres Pra­bumulih untuk dimintai kete­rangan  terkait dugaan per­dagangan manusia. Diduga keenam gadis tersebut akan dita­warkan kepada pria hi­dung belang dengan harga Rp1 juta per orang. Namun karena tidak cukup bukti, polisi pun akhir­nya membebaskan sang pria.

Ke­esokan harinya, kamera warta­wan menangkap gambar adegan mesum sepa­sang siswa sekolah yang dilakukan di lapangan Pra­bujaya. Kegiatan tersebut dilakukan dilapangan terbuka serta ditonton oleh masyarakat yang lewat. Ke­dua kasus terse­but menjadi tam­paran bagi dunia pendi­dikan Kota Pra­bumulih sehing­ga Kepala Dinas Pendidikan Prabumulih menge­luarkan pernyataan untuk melakukan tes kepe­rawanan untuk menga­tasi makin mera­jalelanya pergau­lan seks bebas di ka­langan pelajar.

Seks bebas remaja dalam angka

Seks bebas, atau hubungan seksual di luar pernikahan bukan hanya persoalan yang dihadapi masyarakat Sumsel namun juga Indonesia secara keseluruhan. Di tahun 2009 Kemenkes merilis hasil pene­litian di empat kota yakni Jakarta Pusat, Medan, Ban­dung, dan Surabaya yang menunjukkan sebanyak 35,9%  remaja punya teman yang sudah pernah melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Bahkan, 6,9% res­ponden telah melakukan hu­bungan seksual sebelum me­nikah. Sebagian dari rema­ja pelaku seks bebas ini berasal dari kelompok eko­nomi mam­pu. Namun pola hidup hedonis, seperti tun­tutan gaya hidup (lifestyle) karena tidak ingin dikatakan kuno dan keting­galan zaman bila tidak mela­kukan seks bebas, keinginan memiliki busana dan aksesori mahal, parfum bermerk, gadget cang­gih, dan uang melimpah, mendorong remaja melakukan hubungan seksual di luar pernikahan

Meski demikian, tidak bisa dipungkiri ada remaja terje­bak melakukan hubungan seks tanpa pernikahan karena himpitan ekonomi, yakni men­jadi korban perdagangan ma­nusia (trafficking). Data dari Koalisi Nasional Peng­hapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA), di tahun 2008 sekurangnya 150.000 anak Indonesia men­ja­di korban pelacuran anak dan pornografi tiap tahun. Angka itu mening­kat 100% lebih dari statistik Unicef (PBB) tahun 1998 yang men­catat sekitar 70.000 anak Indonesia menjadi korban pelacuran dan pornografi. Koordinator ESKA, Ahmad Sofian, menjelaskan, 70% anak yang menjadi korban berusia antara 14-16 tahun. Menu­rutnya, jumlah ini lebih kecil dari kenyataan karena pela­curan anak merupakan feno­mena gunung es. Secara kese­luruhan dapatlah kita katakan bahwa persoalan remaja saat ini bukan hanya permasalahan pergaulan seks bebas, tetapi juga pelacuran remaja, hamil di luar nikah, aborsi, narkoba, juga HIV/AIDS.

Peliknya menyelesaikan persoalan remaja disebabkan karena berbagai pihak meng­upayakan solusi yang tidak terintegrasi, cenderung saling kontradiktif dan pragmatis. Sebagai contoh adalah per­nyataan Eva Kusuma Sundari, anggota DPR RI yang menilai sekolah ditujukan untuk men­cer­daskan para anak didik, dan bukan mengurusi moral. “Sekolah untuk mencerdaskan siswa, moral urusan keluarga dan MUI,” demikian ucap Eva Sundari ketika menolak wa­cana tes keperawanan.

Eva Sundari tidak sendiri. Masih banyak yang berpen­dapat bahwa persoalan moral/akhlak anak dan remaja sema­ta tanggungjawab keluar­ga dan lembaga agama (MUI). Maka persoalan pergaulan bebas di kalangan remaja pun mend­apatkan terapi yang sama, yakni diatasi dengan men­dorong orangtua lebih perhatian pada anak, menja­dikan ke­luarga sebagai tem­pat anak menye­lesaikan ma­sa­lah, me­nguatkan ikatan cinta, mem­bangun komunikasi aktif dua arah antara orang­tua dan anak, serta hal se­misalnya.

Banyak pihak lupa atau tidak menyadari, sebagian keluarga sudah berusaha men­didik anak sebaik-baiknya, memenuhi kebutuhan dan membangun hubungan kasih sayang dengan anak. Namun, lingkungan dan media massa menghancurkan yang dibangun orangtua dalam keluarga. Misalnya melalui pornografi. Sejak dua tahun lalu, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Dr Asrorun Niam Sholeh, M Ag, sudah menyatakan Indonesia sebagai darurat pornografi. Indonesia adalah negara de­ngan predikat pengakses situs porno terbesar ketiga  dunia setelah Cina dan Turki. Mua­tan por­nografi bahkan menyu­sup ke dalam pen­didikan formal melalui LKS siswa yang mema­jang Miyabi dan buku anak SD yang memuat kisah porno.

Akar masalah dan penye­lesaian

Berbagai persoalan remaja di atas muncul sebagai buah dari pemikiran sekulerisme. Sekularisme yang mewarnai sistem pendidikan mendiko­tomi moral dan akhlak hanya menjadi tanggungjawab ke­luar­ga dan lembaga agama seperti MUI. Sekulerisme melum­puhkan agama sehingga hanya menjadi formalitas yang tidak memiliki strategi untuk dipa­hami, dijadikan tuntunan, dan diamalkan.

Diakui, keluarga dan pendi­dikan di rumah berpengaruh besar terhadap pembentukan kepribadian anak dan remaja. Keluarga adalah pembangun karakter, benteng pertahanan akhlak, peneduh jiwa tatkala anak menghadapi berbagai per­soalan di luar rumah. Namun, mesin pendidikan dalam keluarga tidak bisa berjalan sendiri. Perlu ada dukungan yang berjalan di sekolah dan masyarakat. Da­lam hal ini yang paling berpe­ngaruh tentu saja adalah kebijakan negara. Semes­tinyalah negara me­nyiapkan perangkat kebi­jakan yang mendukung terwujudnya re­ma­ja cerdas dan bertakwa. Tidak cukup hanya dengan menye­rahkan kepada keluarga dan MUI, tetapi harus ter­integrasi dengan sistem pen­didikan, juga sejalan dengan sistem sosial yang dibangun oleh negara.

Belajar kepada Islam

Syariah Islam mem­beri­kan perangkat sistem untuk men­ce­gah perilaku seks bebas dan mewujudkan ma­syarakat yang bersih dan mulia. Islam mewajibkan keimanan dija­dikan landasan sistem dan bangunan ma­syarakat. Dalam Islam, ne­gara diharuskan membina keimanan dan ke­tak­waan warganya. Karena inilah filter utama meng­hindarkan diri dari seks bebas, yakni ka­rena dorongan takwa, bukan sekadar malu karena kha­watir tidak lulus tes ke­perawanan atau takut ter­kena penyakit kelamin.

Selanjutnya Islam mence­gah seks bebas dengan mem­bentuk pola pikir dan pola sikap Islami yang diajarkan melalui sistem pendidikan. Melalui pendidikan formal di sekolah dan nonformal dalam keluarga, remaja dididik mengenai karakter mukmin. Salah satunya adalah yang senantiasa menjaga kema­luannya, kecuali hanya kepada yang dibenarkan oleh syariah, misalnya kepada suami/istri­nya. Dalam masyarakat, negara menghapuskan segala hal yang mendorong terjadinya seks tanpa pernikahan. Pe­rem­puan dan laki-laki dipe­rintahkan menutup aurat. Pornografi, pornoaksi, dan erotisme dibersihkan dari kehidupan publik.

Dorongan himpitan eko­nomi diatasi dengan pene­rapan sistem ekonomi Islam yang bisa mendistribusikan harta secara adil dan merata. Islam mewa­jibkan negara membe­rikan jaminan peme­nuhan kebutuhan pokok tiap individu (pangan, papan dan sandang) dan kebu­tuhan dasar masyarakat (kese­hatan, pendidikan, dan ke­amanan). Nabi SAW. bersabda, “Aku lebih utama dibandingkan orang-orang beriman daripada diri mereka sendiri, siapa yang meninggalkan harta maka bagi keluarganya, dan siapa yang meninggalkan hutang atau tanggungan keluarga yang terlantar, maka datanglah kepadaku, dan menjadi kewa­jibanku.”(HR. an-Nasai dan Ibnu Hibban). Dengan kebi­jakan ini, negara menutup pintu kemiskinan yang men­jadi sumber utama trafficking dan bisnis seks komersial.

Bila ada warga yang ter­buk­ti melakukan seks tanpa pernikahan, maka Islam men­ jatuhkan sanksi zina. Pezina yang belum pernah menikah dicambuk 100 kali dan bisa ditambah pengasingan sela­ma setahun. Sedang bagi yang sudah pernah menikah huku­mannya dirajam hingga mati. Pelaksanaan hukuman harus disiarkan dan disaksikan oleh khalayak (QS an-Nur [24]: 2). Sanksi tersebut adalah pene­bus atas dosa pelaku seks bebas di akhirat, seka­ligus mendidik masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam kesa­lahan yang sama. Dengan perangkat sistem aturan seper­ti ini, insya Allah seks bebas bisa diberantas. Ma­­­sya­­­rakat yang bersih, ber­marta­bat, lagi mulia pun tak mus­tahil untuk diwujudkan. Allahu­a’lam. (harianhaluan.com, 26/8/2013)

One comment

  1. ass. sungguh menyedihkan melihat fenomena pergaulan bebas remaja sekarang . Mulai dari hedonisme, budaya permisif hingga yang terkretirea mendekati zina ( naudzubillahi minzalik .. ). Dalam hal ini patutlah kita sebagai umat islam nenunjukkah jati diri sebagai muslim yang sejati dengan menjadikan kepribadian islam sebagai tolak ukur berfikir dan cara bersikap mentaati hukum-hukum Alloh. Sebagai muslimah kita harus merujuk pada QS. An-nur:31. yang mencerminkan diri dengan ketaqwaan yang sebenarnya dihadapan Alloh maupun manusia.mudah-mudahan kita bagian dari golongan yang taat dan yang dinaungi Alloh di yaumil Qiyamah …..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*