5 Kejanggalan Bailout ke Century Versi Robert Tantular

Robert Tantular mengklaim Bank Century yang pernah dia miliki, sengaja dibuat kolaps pada 2008. Dalam beberapa kesempatan, Robert Tantular meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut lebih jauh pencarian dana talangan (bailout) Rp6,7 triliun ke Bank Century.

Dalam rilis yang diterima VIVAnews, Robert Tantular menyampaikan lima argumentasinya untuk mendukung klaimnya itu. Berikut argumentasi Robert melalui pengacaranya Andi Simangunsong:

Pertama: Bank Century hanya butuh plafon Rp1 triliun, tapi akhirnya malah diberikan Rp6,7 triliun.

Pada 29 Oktober 2008, manajemen Bank Century yang kala itu diwakili Hermanus Hasan Muslim selaku direktur utama, mengajukan permohonan fasilitas repo aset (fasilitas penjaminan dengan berbasis jaminan aset) senilai Rp1 triliun. Namun, permohonan itu tidak direspons Bank Indonesia (BI). Akhirnya, Bank Century diumumkan kalah kliring pada tanggal 13 November
2008. “Fakta kebutuhan Rp1 triliun ini, apabila dibandingkan dengan fakta bahwa akhirnya pemerintah menggelontorkan total Rp 6,7 triliun, jadi menimbulkan misteri,” jelas pengacara Robert, Andi Simangunsong.

Kedua: kubu Robert menilai proses pengumuman kalah kliring itu tidak bijaksana.

Pasalnya, Sebelum BI umumkan Bank Century kalah kliring, imbuh Andi, sudah ada komunikasi antara manajemen Bank Century dengan BI khususnya dengan Heru Kristiyana mengenai 2 hal, yaitu pagi hari itu ada dana sebesar Rp5 miliar yang tengah dalam proses penyetoran dan penghitungan di Bank Century cabang Palembang. “Seandainya BI mencermati hal ini selayaknya Bank Century tidak diumumkan kalah kliring,” tukas Andi.

Selain dana itu, imbuhnya, manajemen Bank Century juga mengajukan permohonan konversi dana dollar sebesar US$1,3 juta yang ada di rekening di BI. “Seandainya ini dicermati dan diperhitungkan BI, makin kuat alasan bahwa selayaknya Bank Century tidak diumumkan kalah kliring,” imbuh Andi.

Alasan ketiga: ada rencana Sinar Mas Grup mengambil alih Bank Century, tapi dikandaskan Pemerintah.

Setelah dinyatakan kalah kliring 13 November 2008, dua hari kemudian Robert Tantular menjalin komunikasi dengan Indra Wijaya, pemilik Sinar Mas Group membahas kemungkinan adanya niat Sinar Mas Grup untuk mengambil alih Bank Century.

Kemudian, Robert Tantular dan pemilik Century lainnya, Rafat Ali Rizfi, bertemu dengan Indra Wijaya pada 16 November 2008 pukul 10 pagi. Dalam pertemuan itu, mereka membahas rencana pengambilalihan Bank Century oleh Sinar Mas Group.

Hari yang sama pukul 2 siang terjadi penandatanganan dokumen Letter of Intent (LOI) antara pihak pemegang saham Bank Century dengan pihak Sinar Mas (dihadiri oleh Indra Wijaya dan Hidajat), dengan disaksikan 2 komisaris dan 2 direksi Bank Century.

Pemegang saham itu adalah First Gulf Asia Holding yang diwakili Rafat dan PT CMI yang diwakili Robert Tantular.

LoI tersebut kemudian dibawa ke BI pada hari yang sama untuk kemudian keesokan harinya diumumkan ke publik melalui media.

“Di saat Sinar Mas sedang dalam proses mengambil alih 70 persen saham Bank Century, tiba-tiba pada tanggal 21 November 2008 KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) mengumumkan Bank Century diambil alih oleh LPS (Lembaga Penjamin Simpanan),” jelas Andi.

Sejak itulah proses penggelontoran total dana bailout Rp6,7 triliun pun mulai berlangsung. Padahal, kata Andi, seandainya pemerintah memberikan kesempatan kepada Sinar Mas untuk mengambil alih Bank Century sebanyak 70 persen saham, Pemerintah tidak perlu menggelontorkan Rp 6,7 triliun.

Alasan keempat: Pemerintah sebenarnya tidak perlu mengeluarkan Rp6,7 triliun seandainya Pemerintah menghormati hak pemegang saham lama untuk ikut menyetor penambahan modal.

Sekalipun sudah diputuskan bahwa Bank Century akan diambil alih oleh pemerintah via LPS, tetap saja ada hak dari pemegang saham lama (termasuk PT CMI dan FGAH) untuk tetap ikut menyetorkan penambahan modal di Bank Century. Ini diakui oleh pihak BI dengan cara pada tanggal 21 November 2008 tersebut menyodorkan Surat Kesediaan Ikut Rekapitalisasi Bank Century ke Robert.

Faktanya pada saat itu, Robert selaku Dirut PT CMI telah menyatakan kesediaannya untuk ikut rekapitalisasi Bank Century, tapi ternyata tidak diizinkan untuk ditindaklanjuti karena Robert ternyata tidak lagi diundang dalam pertemuan-pertemuan LPS selanjutnya yang membahas teknis rekapitalisasi dimaksud.

“Seandainya saja pemerintah melaksanakan komitmennya untuk memberikan hak kepada Robert dan Rafat serta pemegang saham Bank Century lainnya untuk ikut rekapitalisasi, pemerintah tidak sendirian dalam menanggung biaya penyelamatan Bank Century tersebut,” kata Andi.

Seandainya pun ternyata benar dana yang dibutuhkan mencapai Rp6,7 triliun, beban itu ditanggung bersama oleh pemegang saham lama dan pemerintah. “Tidak pemerintah sendirian, dan akibatnya tidak banyak menggunakan uang negara,” imbuhnya.

Alasan kelima: seandainya benar Bank Century membutuhkan Rp6,7 triliun, kenapa sebagian besar dana tersebut, Rp 2,2 triliun, didiamkan di BI dalam bentuk penempatan dan Surat Utang Negara (SUN)?

Tidak dapat dipungkiri bahwa angka Rp6,7 triliun jauh dari perkiraan manajemen lama sebelumnya yaitu sebesar Rp1 triliun saja. “Yang mengherankan adalah penempatan dana hasil bailout tersebut di BI sebesar Rp2,2 triliun,” ujarnya.

Menurut Andi, penempatan uang dalam jumlah besar itu memerlukan penelusuran lebih lanjut, karena dalam perbankan dikenal yang dinamakan dengan pencatatan palsu. “Bisa saja secara buku tercatat ada dana disimpan, tapi faktualnya dana tersebut tidak ada karena mungkin digunakan untuk keperluan lain,” imbuh Andi.

Dengan perkataan sederhana, Robert meminta KPK menelusuri apakah dana Rp2,2 triliun tersebut sejak awal sampai kini benar ada dan tidak dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan pihak tertentu.

Robert sendiri merupakan terpidana 9 tahun dalam kasus praktik perbankan yang tidak sehat. Dia terbukti menggelapkan dana nasabahnya sendiri.

Sebelumnya, mantan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani mengakui Bank Century hanyalah bank kecil. Penyelamatan bank semata-mata karena situasi ekonomi saat itu yang tengah krisis dan dikhawatirkan bisa menimbulkan dampak sistemik.

Dan dalam situasi krisis itu, Presiden memberikan garis kebijakan yang jelas kepadanya sebagai Menteri Keuangan untuk menghadapi krisis yang menerpa Indonesia.

Sri Mulyani juga membantah penetapan dampak sistemik diputuskan dengan terburu-buru. Ada sejumlah alasan kenapa keputusan itu dikeluarkan. (viva.co.id, 24/9/2013)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*