Setelah revolusi, Libya diombang-ambing oleh dua kekuatan imperialis, Amerika dan Inggris. Sejak revolusi Libya dibajak tidak lama setelah revolusi meledak, dan kekuatan penjajah negara Besar Barat langsung terlibat segera untuk menjatuhkan Gaddafi. Dan setelah itu, Libya tidak bisa lepas dari guncangan militer, politik dan ekonomi.
Sehingga pemerintah lemah, situasi keamanan yang rapuh dan ekonomi memburuk. Sementara minyak dijarah oleh perusahaan Eropa, khususnya Inggris dan Italia. Sedang para politisinya sebagian besar korup dan sangat setia kepada Inggris, hanya sebagian kecil saja dari mereka yang setia pada Amerika atau Prancis.
Libya seperti ini, bukanlah Libya yang diinginkan oleh para revolusioner mukhlis, yang telah mengorbankan nyawa mereka dalam perjuangan menyingkirkan tiran Gaddafi. Sebab Libya masih dalam genggaman para antek yang diombang-ambing oleh konspirasi negara-negara besar imperialis.
Inggris telah berjanji untuk melatih sepuluh ribu pasukan Libya di luar wilayah Libya agar pemerintah loyalisnya itu dapat menghancurkan milisi bersenjata yang tidak loyal pada Inggris. Hal ini seperti yang diberitakan surat kabar Inggris .
David Cameron, Perdana Menteri Inggris mengakui bahwa Inggris memiliki peran penting dalam penggulingan Gaddafi, dimana ia mengatakan bahwa: “Kami bangga dengan peran Inggris dalam membantu Libya untuk menggulingkan Muammar Qadhafi”. Dan ketika ia bertemu Ali Zaidan (17/9) di kantornya, di London, ia mengatakan: “Libya masih membutuhkan banyak bantuan untuk pemulihan keamanan, dan pembentukan sebuah pemerintahan demokratis yang kuat,” seperti yang diberitakan oleh kantor berita Libya .
Sementara Zaidan mengatakan bahwa Libya tengah merugi sekitar 130 juta dolar per hari karena aksi-aksi protes yang menghambat sektor minyak.
Inggris mensponsori konferensi pers pekan lalu di London untuk menarik pengusaha dan investasi internasional untuk bekerja di Libya. Sehingga ini menunjukkan bahwa Inggris yang diwakili oleh pemerintahnya menganggap Libya, dari segi politik, ekonomi dan khususnya minyak, sebagai negara bonekanya, dan berada di bawah hegemoni dan kendalinya.
Adapun hegemoni Amerika, maka itu berhubungan dengan aspek militer. Sebab pemerintah Libya yang setia kepada Inggris setuju untuk memperpanjang kerja pasukan komando militer khusus di Afrika untuk wilayah Afrika, US Africa Command (Africom), sehubungan dengan pengawasan perbatasan dan kota dengan dalih untuk menjamin keamanan dan pencegahan penyelundupan senjata dari wilayah Libya. Juru bicara Kementerian Pertahanan Libya Abdur Razak al-Syihabi mengatakan kepada kantor berita Anatolia: “Pasukan Africom adalah pasukan AS yang tidak berhubungan dengan PBB, dan ini terjadi setelah setelah perjanjian Libya-Amerika, serta direstui oleh negara-negara sahabat Libya.”
Semua tahu bahwa Kelompok Sahabat Libya, yang didirikan pada Februari 2011, saat berlangsungnya revolusi Libya terdiri dari Inggris, Perancis, Amerika, Jerman, Qatar, Turki dan Uni Emirat Arab.
Dengan demikian, berdsarkan data-data ini, Libya adalah negara boneka Inggris secara politis, dan di dalamnya ada pengaruh militer AS yang kuat. Sehingga rakyat Libya tidak mendapatkan keuntungan dari revolusi mereka, dan mereka tidak terbebaskan dari rezim tirannya, sebab para antek baru di Libya setelah revolusi penggulingan negara berada dalam jeratan Inggris dan Amerika (kantor berita HT, 27/9/2013).