(Al-Arba’un an-Nawawiyah, Hadis ke-41)
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (HR al-Hakim, al-Khathib, Ibn Abi ‘Ashim dan al-Hasan bin Sufyan).
Imam an-Nawawi dalam Al-Arba’un mengatakan, “Hadis ini hasan shahih. Kami telah meriwayatkan hadis ini dalam kitab Al-Hujjah dengan sanad sahih.”
Ibn Rajab menjelaskan, yang dimaksudkan adalah kitab, Al-Hujjah ‘alâ Târik al-Mahajjah, oleh Syaikh Abu al-Fatah Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi asy-Syafi’i al-Faqih az-Zahid. Hadis ini juga dikeluarkan oleh Al-Hafizh Ibn Abi ‘Ashim al-Ashbahani dalam As-Sunnah li Ibn Abi ‘Ashim; al-Hasan bin Sufyan Abu al-‘Abbas an-Nasawi (w. 303 H) dalam kitabnya, Al-Arba’un li an-Nasawi; Ibn Baththah dalam Al-Ibânah al-Kubrâ; al-Khathib al-Baghdadi dalam Târîkh Baghdad; al-Baihaqi dalam Al-Madkhal; dan al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah.
Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Ashqalani dalam Fath al-Bârî mengatakan tentang hadis ini:
Al-Baihaqi telah mengeluarkan di dalam Al-Madkhal dan Ibn ‘Abd al-Barr dalam Bayân al-‘Ilmi dari jamaah tabi’in seperti al-Hasan, Ibn Sirin, Syuraih, asy-Sya’bi dan an-Nakha’i dengan sanad-sanad baik; tentang celaan terhadap perkataan semata menurut ra’yu (pikiran). Semua itu dihimpun oleh hadis penuturan Abu Hurairah ra., “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” Hadis ini dikeluarkan oleh Al-Hasan bin Sufyan dan lainnya. Para perawinya tsiqah dan an-Nawawi telah mensahihkan hadis ini di akhir Al-Arba’un.
Dalam hadis ini Rasulullah saw. menjelaskan bagaimana seharusnya seseorang memperlakukan al-hawâ supaya imannya sempurna. Menurut Ibn Manzhur dalam Lisân al-‘Arab, hawâ an-nafsi adalah keinginan jiwa. Para ahli bahasa mengatakan, al-hawâ adalah kecintaan manusia terhadap sesuatu dan dominannya kecintaan itu atas dirinya. Abu al-‘Abbas al-Fayyumi dalam Mishbah al-Munir menjelaskan, al-hawâ adalah jika kamu menyukai sesuatu dan terkait dengannya. Kemudian kata al-hawâ digunakan untuk menyebut kecenderungan jiwa dan penyimpangannya ke arah sesuatu, lalu digunakan untuk menyebut kecenderungan yang tercela.
Di dalam At-Ta’rifât, al-Jurjani menjelaskan bahwa al-hawâ adalah kecenderungan jiwa (mayl an-nafsi) pada syahwat yang menyenangkannya tanpa alasan syariah. Muhammad Rawas Qal’ah Ji di dalam Mu’jam Lughah al-Fuqaha’ juga menjelaskan, al-hawâ adalah kecenderungan jiwa pada apa yang disukai tanpa memperhatikan hukum syariah dalam hal itu.
Jadi, secara bahasa al-hawâ adalah kecenderungan, keinginan atau kecintaan secara mutlak. Namun, dalam penggunaannya, kata al-hawâ itu jika disebutkan secara mutlak maka yang dimaksudkan adalah kecenderungan pada apa yang menyalahi kebenaran.
Sementara itu, makna “lâ yu`minu ahadukum” adalah iman yang paripurna, bukan menafikan iman. Sebab, orang yang hawa nafsunya tidak mengikuti syariah sehingga ia bermaksiat, secara umum kemaksiatan itu tidak menjadikan dirinya kafir.
Dengan demikian hadis ini bermakna: seseorang tidak akan mencapai derajat Mukmin yang paripurna imannya sampai seluruh keinginan, kecenderungan dan kecintaannya mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul saw.; baik perintah, larangan ataupun yang lainnya. Dengan itu ia menyukai apa yang diperintahkan dan tidak menyukai apa yang dilarang.
Ibn Rajab al-Hanbali dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam mengatakan:
Jadi yang wajib bagi setiap Mukmin adalah mencintai apa yang dicintai Allah SWT dengan kecintaan yang mengantarkan dirinya melakukan apa yang diwajibkan. Jika kecintaan itu bertambah sehingga ia melakukan apa yang disunnahkan maka itu adalah keutamaan. Setiap Muslim juga hendaknya tidak menyukai apa yang tidak disukai oleh Allah SWT dengan ketidaksukaan yang mengantarkan dirinya menahan diri dari apa yang Allah haramkan atas dirinya. Jika ketidaksukaan itu bertambah sehingga mengantarkan dirinya menahan diri dari apa yang dimakruhkan Allah, maka itu merupakan keutamaan.
Hadis ini juga bermakna bahwa seseorang haruslah menjadikan keinginan Nabi saw. lebih dia kedepankan dari keinginannya, dan syariah yang dibawa Nabi saw. lebih dia kedepankan daripada hawâ-nya; daripada kecenderungan atau kecintaannya. Jika keinginannya bertabrakan dengan apa yang Nabi saw. bawa maka ia mengalahkan keinginannya dan memenangkan apa yang Nabi saw. bawa. Sebab, al-hawâ menjadi tâbi’ (yang mengikuti), sementara apa yang Rasul saw. bawa, yaitu Islam dan syariahnya, adalah yang diikuti (al-matbû’). Semua kemaksiatan itu muncul karena hawa nafsu lebih didahulukan daripada kecintaan kepada Allah SWT dan Rasul saw.
Allah SWT menyifati orang-orang musyrik dalam banyak ayat, bahwa mereka mengikuti hawa nafsu (Lihat, misalnya: QS al-Qashshash [28]: 50. Karena itu Allah SWT melarang kita untuk mengikuti hawa nafsu (QS an-Nisa’ [4]: 135).
Untuk itu, Islam dan syariahnya harus kita jadikan standar dan pedoman. Semua keinginan, kecenderungan dan kesukaan dan tidaknya harus kita tundukkan pada ketentuan Islam dan syariahnya. Untuk mewujudkan itu kita harus bersungguh-sungguh mengerahkan segala daya upaya menundukkan hawa nafsu. Allah SWT menyediakan pahala yang besar dan surga bagi siapa saja yang bisa merealisasikan ini (QS an-Nazi’at [79]: 40-41).
Allâhumma waffiqnâ ilâ thâ’atik. [Yahya Abdurrahman]